Andong, Pocong, dan Prinsip Bodong
Matahari belum sempurna terbit, tapi saya sudah rapi. Duduk di depan laptop sambil menikmati biskuit roma dan secangkir air putih hangat. Pagi ini, saya akan mengajak jemari saya untuk menari kembali, merangkai kata-kata sembari bernostalgia.
Bismillah.
Pagi yang syahdu ini, mari kita menuju ke tanggal 6 Juni 1901, ketika seorang macan podium lahir kedunia. Waktu itu, beliau pernah berkata, “Berikan aku 1000 orang tua, akan kucabut Gunung Semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan aku guncangkan dunia”.
Saya tidak akan membahas alasan mengapa Sang Orator mengutarakan hal diatas, namun saya men-capture sebuah penggalan, “Kucabut Semeru dari akarnya”.
Semeru, puncak tertinggi di Pulau Jawa.
Mengapa Si Bapak me-mention “sebuah gunung”? Ada apa dengan gunung? Apakah beliau hanya random menyebutkan nama sebuah gunung? Tentu tidak. Pasti ada sesuatu dengan gunung.
Di tulisan ini, saya tidak akan membahas Gunung Semeru, selain karena saya tidak berkapasitas, saya juga belum pernah kesana. (Do’ain ya semoga segera kesana Aamiin)
Saya akan menceritakan perjalanan kami ke Gunung Andong, sesuai judul.
Pendakian ini dijadwalkan tanggal 14-15 Maret 2020.
Jumlah peserta awalnya sebanyak 8 orang. Namun karena suatu hal dan lainnya, yang tersisa menjadi 3 orang.
Saya, Mas Ahsan dan Ririz.
Kami janjian kumpul di asrama saya, lantas berangkat pukul 17.00 WIB dengan formasi saya berboncengan dengan Ririz, dan Mas Ahsan sendirian mengikut di belakang.
Kami berhenti tiga kali selama perjalanan, pertama mengisi bahan bakar, kedua solat magrib, dan ketiga makan malam.
Perjalanan dari Jogja ke Gunung Andong memakan waktu kurang lebih 2 jam. Jalanan dari arah Magelang-Temanggung ke wilayah desa relatif ramai dengan kendaraan, memasuki wilayah yang semakin tinggi, jalanan mulai berkelok, menanjak, gelap, dan licin.
Dipinggiran jalan terpasang papan peringatan, “Rawan Kecelakaan”.
Maka malam itu, merapalkan bait-bait do’a adalah hal yang tak bisa diungkapkan, namun menjadi pilihan paling masuk akal.
Kami sampai pukul 20.13 WIB, kemudian mencari Base Camp yang nyaman dan mulai packing ulang.
Kalau saya boleh jujur, sudah banyak yang berubah terhitung sejak terakhir kali saya naik gunung ini tahun 2016. Dulu, jalanan setapak dengan vegetasi yang rapat, Base Camp adalah rumah warga ala kadarnya, simaksi berupa bangunan reot dipinggir jalan yang kalau diseruduk sapi senewen ingin kawin, sudah hancur berantakan.
Lihatlah sekarang, basecamp sudah bagus, parkiran tertata rapi, bangunan simaksi kece badai, jalan menuju gunung tampak bersih, bahkan treknya sudah dirapikan dengan bebatuan yang membentuk tangga, kurang enak apalagi coba?
Gas lah jadi lokasi Pasca Wedding
Sewaktu packing, kami bersepakat untuk istirahat hingga pukul 01.30 WIB dan mulai mendaki pukul 02.00 WIB.Saya, Mas Ahsan, dan Ririz membongkar isi tas. Sebagian barang ditinggal, sebagian dimasukkan carrier untuk dibawa selama pendakian.
Kalau pembaca mau tahu kondisi kami saat itu, Ririz hanya membawa mukena, tab, hape, dompet, jas hujan dan air minum seadanya. Maklum, doi sudah 4 kali naik Andong, jadi shantuyyyy.
Sementara saya dan Mas Ahsan membawa peralatan pendakian versi lengkap, carrier, sleping bag, senter, kompor, gas, jas hujan, kaos ganti, makanan, dan lainnya.
Maklum juga, Mas Ahsan baru pertama kali naik gunung ini. (Bukan kelasnya dia sih wkwk)
Eh tapi, kemanapun kita pergi, segala kemungkinan terburuk tetap harus dipikirkan, dipertimbangkan matang-matang, safety adalah yang utama.
Di Base Camp, saya dan Ririz solat isya lalu mulai beranjak menutup mata. Kira-kira pukul 00.01 WIB, saya masih belum bisa tidur, sementara Ririz sudah nyenyak.
Sayup-sayup, saya mendengar para pendaki lain di luar Base Camp yang sedang duduk ngopi-ngopi di depan BC. Parahnya, mereka merokok dan asapnya masuk ke dalam BC.
Saya lantas menghela nafas, penyebab saya tidak bisa tidur adalah asap rokok dan perut yang keroncongan.
Yassalaaammm…
Yaudah makan dulu.Perlu saya beri tahu, biaya simaksi Gunung Andong sebesar Rp.15.000 parkir Rp.1000, air putih hangat Rp.2000, nasi telur dadar pake pecel, tahu dan sayur Rp.7000.
Murah ga tuh?
Pukul 02.50 WIB kami mulai berjalan. Sejujurnya malam itu saya benar-benar tidak bisa tidur. Entahlah mengapa tidur nyenyak menjadi “barang mewah” untuk seseorang yang seringkali pelor (nempel molor). Tapi mau gimana lagi, yang namanya mendaki harus tetap tau diri.
Dan… Kami berangkaaattt…..
Perjalanan dimulai dengan menapaki tangga yang tertata rapi hingga kurang lebih 50 meter pertama. Selanjutnya adalah tangga-tangga berbatu yang membuat nafas tersengal tak karuan.
Posisi saya di depan, Ririz kedua, dan Mas Ahsan di belakang membawa carrier.
Perjalanan menuju Pos 1 cukup melelahkan, kira-kira 15 menit pertama, kami sudah berkeringat luar biasa. Beberapa pendaki duduk di pinggiran jalur, mungkin lelah.
“Re, berhenti bentar Re”
Saya berhenti, dan kerap bertanya, “Next?”
(Tapi bukan, thank you next,,, thank you next…. #nyanyi)
Pos 1 Via BC Sawit disebut Kemuning, warnanya sama sekali tidak kuning, apalagi hijau, dilangit yang biru.
Terdapat sebuah shelter di kiri jalan, dan toilet tak jauh dari sana. Sudut lain Pos 1 menghadirkan seorang Bapak yang menjadi “makhluk penunggu” rupiah di kotak bertuliskan, “Buang Air 3000” (Udah kayak I love you 3000~)
Oh ya, jalur pendakian Gunung Andong bisa melewati Desa Sawit, Pendem, dan …… #lupa
Kami memilih lewat Sawit karena kami tidak tahu caranya lewat Strawberry. #apasih
Back to topic.
Perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 ditemani dengan pinus-pinus. Saya jadi ingat Sajak Hutan Pinus yang saya tulis sewaktu di Gunung Lawu. Jarak dari Pos 1 ke Pos 2 tidak begitu jauh, dengan kecepatan sedang, kira-kira bisa ditempuh dengan waktu 20 menit saja. Jalur Pos 2 menuju Pos 3 tidak begitu sulit dilalui, tangga bebatuan sudah sangat membantu langkah untuk tidak tergelincir.
Lebih baik tergelincir di gunung daripada tergelincir dalam kemaksiatan. Astagfirullah. #TamparanKetaqwaan
Pos 2 bernama Dewa Ndaru. Apakah disana ada Dewa bernama Ndaru? Saya tidak tahu. Apakah yang memberikan nama Pos 2 ini adalah fans berat Dewa 19? Saya juga tidak tahu.
Tapi mungkin kita sama-sama tahu lagu ini, “Kuterima suratmu, telah kubaca, dan aku mengerti, betapa merindunya dirimu, akan hadirnya diriku…. “
Selama perjalanan, Ririz agak tertatih. Dia bilang ke saya kalau kakinya bengkak karena keseleo, jatuh dari tangga. Untung bukan jatuh ke dalam pelukannya.
“Aku sebenernya ga enak Re, kalo semisal aku ga jadi ikut, kamu ntar berangkatnya gimana, kemarin Bapakku juga mau dateng, tapi ya aku ga enak cancel ke kamu”.
Saya ngangguk. Respect!
Orang yang tidak seenaknya membatalkan janji memang harus diapresiasi. Toh dengan kondisi Ririz yang “lemah” kakinya, nyatanya dia sampai puncak, dia berhasil mengalahkan egonya.
Imma proud friend, Riz.
“Kalian duluan aja gapapa, aku nanti nyusul di belakang”. Ririz mulai tidak enak karena merasa berjalan pelan.“Gapapa Mbak, santai aja. Saya ama Rere ndak keburu-buru kok”. Mas Ahsan menimpali.
Barangkali sudah tujuh belas kali Ririz berkata demikian, meminta kami untuk berjalan lebih dulu, dan dia menyusul. Maka sudah bisa dipastikan kalimat-kalimat ini mendapat penolakan yang sama dari kami berdua.
Abraham Lincoln pernah bilang, “Saya memang pejalan yang lambat, tapi saya tidak pernah berjalan mundur”.
Quotes buat kamu tuh Riz.
Menuju Pos 3, vegetasi sudah mulai sedikit, yang ada hanya tanaman-tanaman kecil dipinggiran jalur, lengkap dengan pipa-pipa mata air.
Udara dingin, tapi badan berkeringat. Untungnya, udara yang dingin tak sedingin sikap dia. #mehngopo
Pos 3 sudah tinggal sedikit lagi. Pendaki lain sudah mulai ramai. Sebagian berjalan santai, sebagian berjalan kencang. Kita tidak perlu mengejar, karena masing-masing dari kita tak pernah berlomba di gunung, cepat bukan tujuan, kebersamaan adalah yang harus diprioritaskan.
Okeh, Next.
Pos 3 disebut juga Watu Wayang, dan jaraknya tidak begitu jauh dari Puncak Makam. Yapzzz, di Gunung Andong memang ada makam, dan disana ada sebuah tumpukan karung putih yang awalnya saya kira pocong.
Ciyee kena plot twist.
Puncak Makam memiliki keunikan tersendiri, bangunannya berada di bagian ujung dengan arsitektur dan nuansa yang khas, membuatnya tampil eksotis dan mistis dikalangan pendaki.
Sisi kanan adalah Puncak Jiwa, ini adalah puncak tertinggi. Sedangkan puncak satunya adalah puncak alap-alap.
Kondisi puncak gunung penuh dengan tenda-tenda pendaki, padat, dan jaraknya cukup rapat, sisi kiri adalah warung-warung dan beberapa toilet.
Sungguh ramai dan lumayan sempit untuk mencari spot istirahat.
Saya tidak berani membayangkan kondisi gunung ini 4 sampai 5 tahun kedepan. Entah akan jadi seperti apa.
Baiklah, total perjalanan kami sampai puncak yaitu 70 menit. Masyaa Allah banget ya.
Kami kemudian mencari lahan agak datar untuk menggelar matras dan memasak. Selanjutnya, menunaikan solat subuh.
Tim kami memang memutuskan untuk masak di puncak, hitung-hitung sebagai upaya jaga-jaga. Kalau bahan makanannya lebih, ya itu resiko.

Saya dan Ririz merebus air untuk membuat kopi, memasak nasi, dan menggoreng nugget.
Kesalahan pertama saya ada disini, saya tidak membawa nesting, kopi, teh, dan gula. Meskipun saya sendiri tidak mengkonsumsi, tetapi rekan se-tim saya membutuhkannya, maka dari itu, ini pelajaran penting bahwa saya tidak bisa menyamakan standar makanan saya ke orang lain.
Selepas subuh, kabut mulai datang semaunya. Menusuk tulang dan membuat gigi gemeretak. Angin bertiup kencang, sementara pendaki lain sudah mulai duduk dan bersiap dengan gawai masing-masing
Apa yang ditunggu? Sunrise!
“Kamu itu seperti sunrise, layak untuk ditunggu”
(Adalah sebuah gombalan yang bisa kalian gunakan suatu saat nanti)
Faktanya, cuaca memang berbaik hati untuk tidak menurunkan butir-butir air ke permukaan bumi, namun partikel-partikel gas bernama kabut membuat hati jadi cenat-cenut.

“Ngapain naik gunung? Dingin”. Kata seseorang.
Barangkali dia belum tau betapa hangatnya persahabatan di gunung.
Kalau katanya Mas-Mas pendaki gunung yang lagi ngebuat ekspedisi #AtapNegeri
“Jika ada yang bilang kalau gunung itu berbahaya, mungkin dia belum tahu betapa bahayanya terpenjara dalam kota”
Ketika menunggu nasi matang, kami mulai berdiskusi.
“Setidaknya ada 9 hikmah yang bisa dipetik ketika mendaki” Mas Ahsan memulai.
Mata saya bulat membinar.
This is my favourite part.
“Pertama, bahwa manusia itu kecil di Mata Tuhan”. Mas Ahsan diam sejenak. Saya dan Ririz mendengarkan.“Sejauh apapun kita melangkah, menemukan betapa indah ciptaan-Nya, tetap saja kita adalah makluk kecil yang tidak ada apa-apanya”.
Kami mengangguk.
“Kedua, bahwa tujuan pergi adalah pulang, keluarga adalah yang terpenting”.
Mas Ahsan memalingkan wajah. Ririz tampak berpikir.
“Ketiga, Hidup itu perlu untuk menetapkan tujuan, bahagia, kekaguman akan sesuatu, dan lainnya”.
Kali ini saya menghela nafas, hidup untuk apa, Re?
“Keempat, manusia punya intuisi. Kalian pernah nyebrang di diperempatan? Terus kalian disamping mobil ngikutin si mobil, selain karena kalian merasa aman, jelek-jeleknya kalau ada tabrakan, mobil itu yang tertabrak duluan, itu namanya kemampuan membaca situasi”.
Dan di alam, intuisi kerap diuji.
“Kelima, untuk mendapatkan sesuatu yang mengagumkan, kita perlu keluar dari zona nyaman, kita harus berjuang dengan susah payah, kedinginan, lelah”.
Saya mengambil hape, mengetik perlahan.
“Keenam, Terbiasa bermain sebagai tim, hidup itu menerima sudut pandang bersama”.
Mas Ahsan mengernyitkan dahi.
“Walaupun kita tidak pakai gula putih, bukan berarti kita harus meninggalkannya, rekan kita kan butuh gulanya. Terlepas dari bahan makanan akan berlebih, ya itu resiko”.
Kami berdua diam, jleb rasanya.
“Ketujuh, persahabatan di uji ketika di gunung”.
Ririz mengangguk. Dia pasti ingat betul dengan rekan-rekannya yang meninggalkan dan berpencar ketika mereka di pendakian.
“Kedelapan, Gunung itu halaman semua makhluk”.
Mas Ahsan menoleh, dia lupa nomor terakhir.
“Kesembilan, hidup itu seperti perjalanan susur track, tubuh bukan mesin, istirahatlah”.
Materi tentang 'pegunungan' kemudian ditutup dengan kalimat, “Setidaknya, manusia itu perlu mendaki sekali seumur hidup”.
Udah kayak solat sunnah tasbih ya :)
Saya terdiam sejenak, sekelebat memori mampir tanpa permisi.Saya setuju dengan hikmah-hikmah kehidupan yang memang harus dicecap, dimaknai secara mendalam. Gunung bukan tempat menunjukkan kepongahan diri, justru disanalah kita menjadi selemah-lemahnya makhluk yang akan mati. Gunung bukan tempat wisata untuk memperbanyak selfie, lebih dari itu, ia adalah perjalanan menuju Illahi. Gunung bukan tempat untuk mencitrakan diri penuh eksistensi, dia adalah kubangan berbahaya yang memaksa kita untuk mengutamakan safety.
Seseorang pernah bertanya, “Boleh gak kami setel gila aja ke gunung?”. Maksudnya membawa perlengkapan seadanya.
Dengan ketus saya menjawab, “Silahkan, tapi gunung bukan tempat untuk mati sia-sia”.
Saya teringat pernyataan seseorang, “Akhwat kok naik gunung sih? Akhwat tuh diem aja dirumah”. Kalaulah semua akhwat harus diam dirumah tanpa pernah berkontribusi nyata dalam banyak aspek kehidupan, hari ini mungkin kita tidak mengenal Bunda Khadijah, Ummu Aiman, dan Aisyah.
“Udah jauh-jauh merantau, malah ke gunung, malah pergi lagi, merantau lagi”
Kalau tidak ada perantauan dan perjalanan panjang, hari ini mungkin kita tidak mengenal Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Syafi’i dan Nabi Musa.
Percayalah bahwa perjalanan hidup seseorang mengantarkannya pada satu titik puncak kehidupan. Kalaulah saya pribadi ditakdirkan mati dalam jalan pendakian, maka saya berdo’a semoga saya mati dengan rasa cinta pada-Nya yang sedalam-dalamnya, sepenuh-penuhnya.
Ketika kabut mulai menghilang dan cahaya mulai berebut menyinari bumi, kami makan dan segera berkemas. Mas Ahsan ingin mengabadikan foto-foto selama disana, saya juga sebenarnya.

Kamipun berjalan menyusuri jalanan kecil berliku ke arah puncak alap-alap. Mengambi beberapa foto disana, kemudian bergegas pulang.
Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke BC kurang lebih 35 menit.

Eitss.... Sampai lupa, ketinggian Gunung Andong (hanya) 1726 mdpl, bisa ditempuh oleh kaum expert selama 5-10 menitan. Bagi kaum rebahan dan ngesotan, ya kurang lebih waktu normal dan sedikit tambahan waktu.
Sesampai di BC, kami mengemas ulang barang bawaan dan kembali ke Jogja. Sayonaraa….


Naluri yang kerontang kosong melompong
Eksistensi jadi tujuan manusia siang bolong
Merusak alam dan pencitraan penuh bohong
Mendaki bukan soal likes komen dan share dong
Dikala waktu tersumpal omong kosong
Yang menggenap menjadi prinsip bodong
Gunung Andong bukan odong-odong
Yang murahan dan lembek seperti sotong
Sejatinya pendakian itu ibarat gentong
Yang membuat bibir basah dengan zikir tak terpotong
Menjadikan manusia menyirna sombong
Semakin mendekat pada-Nya sang Maha Penolong
Sajak Gunung Andong, karya Reni Anggraini

0 comments