Merbabu, Qalbu, dan Rasa yang Mengharu

IMG_6079

Sudah lama saya tidak menulis, tapi saya ingin sekali menuliskan kisah ini. Maka saya meminta maaf kalau tulisan saya banyak kurangnya.

Saya juga bingung untuk memulai dari bagian mana, maka bebas saja ya.

Pendakian ini diawali dari rencana saya ke Gunung Sindoro bersama dengan rekan Jenaka Ventura. Namun, karena suatu hal, pendakian itupun tidak jadi saya ikuti. Sementara rekan-rekan saya dari Jenaka Ventura tetap berangkat.

Suatu hari, rekan saya sewaktu di Rumah Zakat, Mas Ahsan namanya, mengajak untuk mendaki, pilihannya antara Gunung Merbabu dan Lawu. Jujur saja, nuansa horror Gunung Lawu masih begitu terasa, sehingga saya tidak mau jika mendaki Lawu untuk saat ini, alhasil pendakianpun jatuh ke Gunung Merbabu.

Jumlah anggota pendakian ini sebanyak 6 orang. Terdiri atas Mas Ahsan, Mas Amal, Saya, Nana, Farhan dan Rafli. Mas Amal adalah teman Mas Ahsan yang juga satu universitas dengan kami. Mbak Nana, kenalan dari rekan saya. Farhan, teman sekantor sedangkan Rafli adalah teman kuliah Farhan.

Mas Ahsan dan Mas Amal adalah duo sejoli kelas expert, saya dan Nana kelas menengah, Farhan dan Rafli kelas pemula.

Dikarenakan dua diantara kami belum pernah mendaki, maka kamipun mempersiapkan segala yang dibutuhkan dengan matang. (Harusnya)

Kami membuat list kebutuhan kelompok, individu, hingga makanan yang akan dibawa.

Untuk perlengkapan kelompok, cooking set, tenda ikhwan dan akhwat, kompor  dan gas, egg holder, pisau lipat, thermal bivvy, dan flysheet dibagi menjadi dua kelompok.

Diantara perlengkapan diatas, saya meminjam dari teman saya di Janaka Ventura. Murah. Harga teman katanya.

Adapun perlengkapan individu seperti carrier, sleeping bag, jaket hangat, kaos kaki, sarung tangan, sepatu/sandal gunung, pakaian cadangan, headlamp, ponco/jas hujan, buff/cadar/masker, matras, perlengkapan solat, perlengkapan mandi, obat pribadi, topi, power bank dan hape full charged, kamera, perlengkapan makan (sendok, piring, cangkir), dan uang tunai.

Masing-masing dibawa dan dipersiapkan secara pribadi.

Untuk makanan, kami membawa energen, kopi, beras 2 kg, roti, madu, telur 6 butir, minyak gelasan 2 buah, kopi satu kotak, nugget sebungkus, air botol 1,5 L sebanyak 2 botol/orang, gula merah, obat masuk angin, bawang, dan ladaku.

Yang bertugas membeli makanan adalah saya dan Nana.

Kami janjian untuk bertemu di daerah kosan Mas Ahsan, dengan rundown acara sebagai berikut.

08.30-09.30 : Briefing

09.30-12.00 : Perjalanan ke Base Camp

12.00-13.00 : Ishoma

13.00-19.00 : Perjalanan Pendakian

19.00 – pagi : Nge-Camp

Oh ya, sampe kelupaan. Diantara list barang-barang diatas, ada beberapa hal yang menjadi standard ukuran safety yang harus dimiliki ketika mendaki.

  1. Headlamp

  2. Ponco/jas ujan

  3. Kaos kaki

  4. Kaos kering cadangan

  5. Daleman cadangan

  6. Obat pribadi

  7. Rain cover/cover bag

  8. Sepatu gunung/sandal gunung
Kenapa tidak ada tenda? Karena tenda bisa dibuat dengan ponco/jas hujan seperti solo bivak. Mengapa harus bawa kaos kering dan daleman kering? Secara biologis penurunan suhu tubuh yang tidak diantisipasi dapat menyebabkan hipotermia, dan ini berbahaya.

Tambahan lagi, motor yang digunakan harus dalam kondisi prima, ban tidak kempes, SIM ada, bensin full tank, sudah ganti oli, dan pengendara siap dengan jalanan curam berliku.

Okeh, kami berkumpul di depan kosan Mas Ahsan. Agendanya briefing dan menunggu Mas Amal.

Di bagian ini, Mas Ahsan menyampaikan beberapa petuah (ceileh petuah) ketika pendakian. Kalau boleh jujur, saya mengapresiasi pemikiran Mas Ahsan yang substansial dan betapa low profile nya dia. #uhuk

Berikut ini petuah Mas Ahsan.

“Ada beberapa hal yang akan saya sampaikan terkait pendakian. Kalau kita melihat orang yang mendaki, posting foto ada di puncak, kelihatannya bagus banget. Nah, bagaimana kita mengubah konsep eksistensi menjadi safety (aman). Pada dasarnya, mendaki gunung, melakukan perjalanan itu bagian dari miniatur kehidupan. Kita bisa aja bohong kepada orang lain, tapi di perjalanan dalam kondisi sulit, kita gabisa bohong dengan sikap kita, siapa diri kita. Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan, hal-hal standard ketika naik gunung, diantaranya ponco, jas ujan, dan lain-lain. Kita nanti sambil check ulang dan atur carrier lagi ya. Di gunung, ada aturan untuk tidak berkata-kata kotor, becanda yang berlebihan, berbuat asusila, menangkap binatang, merusak lingkungan. Kalau kalian capek, bilang capek, jangan gengsi untuk bicara. Usahakan selama perjalanan, banyak beristigfar, Lawu, Sindoro, Merbabu itu milik Allah, minta penjagaan ama Allah. Kalau merasa ada hal-hal mistis/gaib, di keep dulu ya gausah diceritain, khawatir temen yg lain parno dan mentalnya terganggu”. Mas Ahsan menjelaskan dengan detail.

Kamipun packing ulang, lalu berangkat dengan formasi Mas Amal-Farhan sebagai leader, Saya dan Nana ditengah, terakhir Mas Ahsan dan Rafli sebagai sweeper.

Perjalanan dari Jogja sampai ke Base Camp Selo memakan waktu kurang lebih dua jam. Memasuki wilayah Muntilan menuju Boyolali, pengendara akan disuguhkan pemandangan lahan pertanian yang menghijau, disertai dengan rumah-rumah pedesaan yang sarat dengan nuansa sederhana. Selain itu, cuaca yang agak mendung dan suhu dingin menjadikan kita seperti berada di dalam kulkas. #EhGimana

Jalanan berliku dan cukup licin, hujan rintik-rintik tak jauh dari wilayah perbatasan Selo. Oh ya, ketika menaiki tanjakan menuju Base Camp, kami harus bergantian mengantar carrier, dikarenakan sudut dan kemiringan yang hampir 90° membuat motor sulit melaju.

Yak jalan kaki~

Sesampai di Base Camp, kami solat jamak qashar, makan siang dan menuju Simaksi.

Pendakian Gunung Merbabu, atau dikenal dengan Gunung Merbebeb (Singkatan dari Mertua si Bebeb *gak ding) harus melalui pendaftaran online. Sialnya, Mas Amal dan Mas Ahsan berulang kali gagal mendaftarkan nama-nama untuk pendakian ini.

Alhasil, kamipun harus menunggu dan membeli WiFi terlebih dahulu.

Menurut saya pribadi, pendakian via Selo sudah lebih tertata, untuk tidak dikatakan rumit. (Kayak hubungan kita)

Pendaftaran online, dengan alamat kudu lengkap dan jelas serta detail. Semua barang kelompok, pribadi, sampai makanan di cek satu-persatu berapa jumlahnya. Pisau yang panjangnya lebih dari 15 cm tidak diperbolehkan untuk dibawa. Sampah yang dibawa ketika mendaki harus dibawa turun. Pokok men, komplit banget.

Kalau jumlah tidak sesuai?

Push up bro! untuk satu sampah!

Tambahan lagi, antrian panjang yang mengular membuat mood turun perlahan, agak bete.

Sewaktu saya bertanya kepada Mas Ahsan, katanya kami harus menunggu dipanggil oleh tim simaksi.

Ya Allah,…..

Kalo kata Peterpan, harus berapa lama aku menunggumu? Aku menunggumu…. #nyanyi

Pukul 16.01 WIB, saya sudah tidak tahan lagi, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya ke salah satu Mas-Mas berambut gondrong yg kumisnya tebal kayak Limbad.

“Mas, yg ngecek carrier dan semua ini memang hanya satu orang ya? Ini nggak ada personel tambahan? Tim kami udah menunggu dari tadi, kami besok keburu ngejer kereta balik Jakarta, Mas”.

Dia menoleh ke arah tim kami.

“Kok Mbaknya ga bilang dari tadi, ini yang jaga di depan komputer bisa semua untuk ngecek”. Jawabnya.

Astagfirullah, Astagfirullah.

Mas Ahsan dan Mas Amal menghela nafas.

Sayup-sayup saya mendengar, “Harus kayak Rere, Mal. Jiwa emak-emak yg bawel ngga dapet arisan”.

Dalam benak saya berujar, “Lah cowo emang kudu ngikut apa tupoksinya, kalo cewe mah suka protes wkwk”

Mas-Mas Limbad mengecek barang bawaan, lalu men-cek-list ulang, setelah itu briefing singkat dengan tim kami.

“Kalau ketemu monyet, jangan dikasih makan, karena ini akan mengubah pola perilaku si monyet, jangan memetik edelsweiss, jangan merusak tanaman, kalau ketemu sampah tissue basah, ndak perlu diambil karena hukumannya berat”. Jelas Mas Limbad.

Kami hanya mengangguk, lalu menuju ke pembayaran simaksi.

Seluruh list barang bawaan dan data kelompok sudah masuk ke server, lalu setiap tim pendaki diberi satu buah gelang berwarna kuning yang berupa chip berisi data kelompok. Nantinya, gelang ini harus di scan di pos 4 (Sabana 1) untuk memantau sudah sampai mana pendakian tim tersebut.

Untungnya, ada dua orang Mas-Mas yang menumpang di tim kami, sedangkan mereka pulang agak akhir, maka gelang itupun mereka yang bawa.

Bismillah, pendakian di mulai, horeeee…

Jalanan menuju pos 1 lumayan berkelok-kelok, tidak begitu menanjak di 100 meter pertama, cuaca agak dingin karena hujan baru saja reda, tanah basah dan beraroma, saat itu waktu menunjukkan pukul 16.33 WIB.

Saya melihat sebuah bunga mirip terompet berwarna putih, it’s a beautiful flower.

Lantas bunga itu membawa memori saya berkelana.

“Kak Re, ngapain sih naik gunung, cuaca lagi ndak bagus”

“Kak Re, nongkrong di tempat lain ajalah”

“Kak Jadi naik gunung? Semoga ketemu jodoh ya”

“Kak, kenapa kakak mau naik gunung?”

“Pengennya naik pelaminan, tapi Allah belum ngizinkan, jadi naik Gunung aja dulu”

“Hati-hati ya Kak”

Lamunan saya buyar, langkah kami sudah mulai memasuki tanjakan yang agak licin, harus berhati-hati.

Beberapa langkah berikutnya, nafas saya sudah mulai tidak karuan. Dalam hati, salah sendiri ndak olahraga dulu. Jangan ditiru ya gaes!

Selama menyusuri jalanan menuju pos 1, kami lumayan banyak berhenti. Sesekali saya bersandar ke pohon, menarik nafas, mengatur ulang irama jantung.

Rafli dan Farhan juga terlihat ngos-ngosan. Maklum, adaptasi pemula.

Kami sampai di pos 1 ketika hari sudah mulai gelap. Beberapa pendaki beristirahat disana. Mas Ahsan bilang, kalau baju kaos sudah sangat basah, sebaiknya segera diganti, takutnya hipotermia.

Oh ya, waktu menunjukkan pukul 19.02 WIB.

Wilayah Pos 1, atau disebut juga Dok Malang. Lahan sepetak dengan vegetasi yang cukup rapat, pohon-pohon menjulang tinggi, disarankan berhenti di pos ini jika memulai pendakian terlalu sore.

Setelah minum dan beristirahat, juga ganti baju. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Tampak tulisan, “Pos 1 - Pos 2, 1 jam 40 menit”

Hemm lumayan lama.

(But… tidak se-lama nungguin dia, njuk dianya nikah ama orang lain #Apasih)

Perjalanan menuju Pos 2 melewati pos bayangan, jalur lumayan terjal, tanjakan yang kami temui kerap tidak mudah untuk ditaklukkan, perlu pertimbangan matang untuk melangkah kekiri atau kekanan. Apalagi, jalur bagian tengah adalah jalur air, kalau tidak lumpur ya genangan air, tapi bukan kenangan bersamanya. #eaak

Jadi dibawa santai aja.

Selama perjalanan, langkah kaki yang kita ayunkan adalah langkah kaki untuk terus mendekat kepada-Nya, mengagumi ciptaan-Nya, membasahi mulut dengan terus mengucapkan kalimat-kalimat merendah di hadapan-Nya.

“Astagfirullah, Wal hamdulillah, Wa Lailahaillallah, Wa Allahuakbar, Subhanallah, walhamdulillah…. “

Dilanjutkan ayat Kursi, Tiga Qul, disertai do’a-do’a penguat diri.

“Ya Allah, kaki ini ciptaan-Mu, kami lemah maka kuatkan kami. Allah, kami lelah, kami ini milik-Mu, gunung ini milik-Mu, maka jagalah kami. Allah, boleh ga sisain satu suami yang udah mendaki puluhan gunung, lulusan S3 luar negeri, suka anak-anak, baik agama dan akhlaknya, mau berjuang bersama untuk bangsa, negara, dan agama, anak RK juga gapapa” heuheu.

Back to topic.

Sesampai di Pos 2, atau disebut juga Pos Pandean. Waktu menunjukkan pukul 20.57 WIB. Lahan sepetak yang lebih luas daripada Pos 1 dilengkapi dengan tempat duduk dari papan yang cukup luas. Kamipun beristirahat disana. Oh ya, Pos 2 ini sempat viral karena banjir besar dan arus air yang deras melewati jalur air menyeret sebuah tenda milik pendaki. Kejadian ini direkam oleh salah seorang pendaki dan booommmm…..

Malam itu, Mas Amal dan Mas Ahsan ngobrol di salah satu sudut pos, saya, Nana, Farhan dan Rafli duduk di atas papan, lalu memakan roti dan minum.

Saya merasa lemah dan kesal sendiri, harusnya saya olahraga sebelum muncak. Saya pikir, olahraga akan membuat saya tidak perlu beradaptasi ulang setelah sekian lama meninggalkan alam. Saya merasa zalim.

Nana, seseorang yang baru saya kenal lewat rekan mendaki di Jenaka Ventura terlihat sangat terbiasa dengan jalanan berliku, menanjak, dan kondisi fisiknya cenderung stabil.

Usut punya usut, Nana ternyata rajin olahraga lari setiap hari.

(Ya Rere juga sering lari, lari dari kenyataan~)

Mas Ahsan sudah mendaki belasan gunung dengan puluhan pendakian, Mas Amal apalagi, fisiknya saja yang terlihat kecil, tapi beliau ini tergabung dalam tim Rei Adventure. Bayangkan saja, carrier terberat adalah carrier Mas Amal, dan yang paling ringan adalah milik saya (meskipun saya merasa berat pas bawa).

So, kita emang ndak bisa memandang seseorang hanya dari tampilan fisik.

Bahasa gawwl nya, don’t judge the book by it’s cover.

Kami lanjut lagi menuju Pos 3. Jalanan lebih curam, harus ekstra hati-hati karena penerangan juga seadanya. Jalanan kecil, menanjak, lalu terjal dengan bebatuan. Tangan harus lincah menarik ranting, akar, rumput, dan apa saja yang ada di dekat jalur. Posisi yang hampir tegak lurus mirip  rock climbing wkwk.

Again and again, istirahat beberapa kali selama menuju Pos 3.

Sebenarnya, jalur Gunung Merbabu Via Selo adalah jalur yang paling ramah akhwat, jika dibandingkan dengan Wekas atau Suwanting. Kalau dibandingkan dengan Sumbing, Sindoro, Slamet, Merbabulah yang paling kalem dan eksotis. Selain karena bukan termasuk gunung aktif, Merbabu disinyalir memiliki view terindah diantara gunung-gunung di Jawa Tengah.

Menurut saya pribadi, Gunung Merbabu memiliki padang Sabana yang cocok untuk sesi prewedding, resepsi sekalian juga oke sih, bisa dipastikan tamu kondangan adalah manusia-manusia kuat.

Kayaknya lagunya Tulus, manusia-manusa kuat, itu kita…. Jiwa-jiwa yang kuat, itu kita…

Kami sampai di pos 3, waktu menunjukkan pukul 21.40 WIB. Mas Ahsan dan Mas Amal mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Saya dan Nana menunggu barang-barang kami.

Ketika yang lain mendirikan tenda, saya dan Nana masak nasi, merebus air, dan menggoreng nugget.

IMG_6219

Saking lamanya nasi kami matang, yang lain sudah pada ketiduran menahan lapar.

Saat itu, udara dingin luar biasa, menusuk-nusuk hingga ke rusuk, waktu menunjukkan pukul 00.01 WIB, sudah tengah malam Masyaa Allah.

Kami makan bersama, seadanya.

Lalu solat di dalam tenda dan terlelap.

Pagi harinya, suara orang-orang diluar tenda membangunkan kami.

Seusai subuh, saya mengajak Nana untuk melihat sunrise. Nana meng-iyakan.

Kami ngobrol, lalu menuju bukit kecil dan menatap megahnya Merapi yang sedang erupsi.

“Na, fotoin sunrise nya Na. Terus, selfie yuk”.

Nana sih mau-mau saja.

IMG_6141

Ketika di bukit, Mas Ahsan, Mas Amal, Farhan, dan Rafli menyusul. Kamipun foto bersama.

IMG_6153

Mas Ahsan ingin samapi puncak, atau paling tidak sampai Sabana. Maka setelah berdialog singkat, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, menuju Sabana 1.

Eh ya, Gunung Merbabu memiliki Puncak Triangulasi, Tri artinya tiga, dengan jarak yang lumayan. Pemandangan dari atas? Tidak diragukan.

Sungguh Allah Maha Sempurna dalam menciptakan segala sesuatu.

But…,

Ada yang belum sempurna, dan perlu saling menyempurnakan, yaitu aku dan kamu. #MehNgopo

Perjalanan dari Pos 3 ke Sabana 1 adalah yang paling terjal, sudutnya lumayan dan perlu kehati-hatian. Kami meninggalkan seluruh barang bawaan di tenda, dan hanya membawa satu carrier untuk menuju Sabana.

Awalnya saya pikir bagian ujung yang terlihat dari Pos 3 menuju Sabana 1 adalah bagian terakhir, ternyata saya salah. Ujung adalah permulaan kelokan dan turunan.

Dari Sabana 1, jalanan menuju Sabana 2 terlihat sangat indah dengan panorama rerumputan yang menghijau cerah, ilalang bergoyang syahdu, disertai semilir angin yang menipu.

“Rere ama Nana berdiri di tulisan itu”. Kata Mas Ahsan.

Cekrek.

IMG_6172

Lalu gantian, begitu seterusnya.

“Mas, duduk situ deh. Miring ke arah sini, agak condong, aku mau foto ada ilalang-ilalangnya”.

[gallery ids="677,676" type="rectangular"]

“Nana, ayuk sini aku fotoin yg ada ilalangnya”.

Sesi foto selesai, kami beranjak turun menuju Pos 3, berkemas, membereskan semua perlengkapan, lalu makan dan melanjutkan perjalanan menuju Base Camp.

Pos 3 ke Pos 2 menghabiskan waktu kurang lebih 25 menit.

Pos 2 ke Pos 1 menghabiskan waktu 40 menit.

Pos 1 ke Base Camp menghabiskan 1 jam an lebih.

Di Simaksi, sampah-sampah di cek ulang, alhamdulillahnya kami sudah menghitung seluruh sampah di atas, sehingga hanya butuh 5 menit untuk dicek petugas. Komplit. Tidak ada yg tertinggal.

Sewaktu di Base Camp, saya dan Nana memutuskan untuk mandi, Mas Amal, Mas Ahsan, Rafli dan Farhan pulang lebih dulu. Saya dan Nana menyusul.

Pelajaran yang diambil dari pendakian?

Mungkin kalimat-kalimat Mas Ahsan, “Re, setiap orang berhak jadi pemula, berhak belajar, berhak untuk berproses”

Saya jadi ingat momen dimana saya bete ketika di Pasar Bubrah Merapi, Pos 3 Sumbing, dan Simaksi Merbabu.

Apa hati saya ini memang belum sepenuhnya sabar?

Apa saya memang harus menunjukkan bahwa saya kesal?

Apa saya tidak bisa menahan hal-hal sederhana bernama bad mood?

Gimana ntar kalo udah jadi istri, Ibu, apa sudah mampu mengurangi ego, bersikap dewasa atas konflik yang terjadi?

Apakah, apakah, dan apakah…

Satu lagi, teruslah belajar dimanapun kalian berada.

Karena Allah adalah satu-satunya pemilik semesta, temui Dia dimana saja, meski dengan kondisi hina bergelimang dosa.

IMG_6200

Rere, Pembelajar.

Kota Rindu, 19 Februari 2020

You Might Also Like

0 comments