Patriarki (yang harusnya) sudah Mati

patriarki ye

Sudah sejak lama saya ingin sekali menuliskan hal ini, namun hati kerap kesal ketika mengingat persoalan ini.

Bukan hanya menyebalkan, topik ini sudah harus dimuseumkan sejak lama. Apalah daya, dia masih saja eksis bersama dengan budaya kolot yang diturun-temurunkan.

Saya jadi ingat sebuah percakapan antara saya dan seorang adek asrama kira-kira 3 bulan lalu. Berikut percakapan kami.

“Kakak itu nikah bulan kemarin, kan?”

“Iya, maharnya X mayam”

“Mayam itu apa?”

“Takaran emas”

“Eh, gimana maksudnya? Coba jelasin”

“Lulusan SMA paling enggak 10 mayam, kalo lulusan sarjana 15 mayam, semakin berpendidikan, pintar, cantik, keturunan terpandang semakin mahal juga maharnya”

“Mayam itu berapa?”

“Kira-kira 3 gram emas”

Saya terdiam. Kepala saya lantas menghitung berapa besaran mahar yang harus diberi oleh kaum laki-laki ketika melamar perempuan dari “adat” dan “suku” tersebut.

Anggaplah 20 mayam, dikalikan 3 gram, lau dikali 600 ribu per gram, total 36 juta rupiah. Hanya untuk mahar? Really?

Belum lagi biaya akad, resepsi, dan sesudahnya.

Pantas saja kebanyakan laki-laki menikah di usia yang relatif “matang” karena budaya mengharuskan mereka menabung dan bekerja lebih giat.

Ah ya, (katanya) mayam belum termasuk mahar, mayam bisa jadi mahar, bisa jadi bukan mahar.

Ya Allah,…

Pertanyaannya, emang kenapa harus ditakar dengan emas dan terbilang cukup tinggi?

Ya karena perempuan disana bukanlah perempuan sembarangan, dan ketika si laki-laki sangat mencintainya, dia akan berusaha untuk memenuhi syarat tersebut.

Mengapa emas?

Karena emas dianggap sebagai alat tukar menukar yang relatif tahan dengan inflasi dan nilainya cenderung naik.

Kenapa semakin tinggi kualitas perempuan tersebut seolah “harus” linear dengan angka dan jumlah mayam?

Ya karena, semakin tinggi kualitas si perempuan, dia akan semakin “mahal” dan perlu usaha lebih besar, ada nilai kesungguhan serta keseriusan ketika meminangnya.

Okey, sampai disini saya bisa (sedikit) menerima.

Tapi, kalau boleh jujur…

Hati terdalam saya jengkel luar biasa, sebagai perempuan biasa, saya merasa amat sangat tersinggung.

Bagaimana tidak, saya tidak habis pikir dengan kualitas diri saya yg jelas kualitatif harus dikonversi menjadi sesuatu yang kuantitatif. Lantas kemudian kedudukan saya menjadi dibawah, seolah jadi pelayan, jadi pesuruh.

Saya tidak menitik beratkan pada “angka”, justru saya ingin kalian fokus pada kalimat kedua, “kedudukan, dan pelayan”.

Percaya tidak percaya, suka atau tidak suka, penilaian secara general terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan secara budaya pada kebudayaan di atas terlihat amat timpang.

Laki-laki sangat tinggi, perempuan jauh dibawah.

Ketika laki-laki butuh ini itu, perempuan harus sigap dan melayaninya.

Sekelas mengambil air minum yang sesungguhnya sangat dekat dengan posisi laki-laki, perempuan jua yg harus menyiapkannya.

Seseorang pernah bilang begini.

“Laki-laki seolah raja banget, apa-apa harus dilayani, perempuan seolah di bawah banget, pelayan banget kesannya”

“Timpang banget ya kak?”

“Iya, budaya patriarki nya masih kental”

I captured on it.

PATRIARKI.

P-A-T-R-I-A-R-K-I.

Menurut KBBI online, patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak.

Menurut Wikipedia, patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi laki-laki mencakup ranah personal, partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya. Disisi lain, patriarki membuat laki-laki merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan atas dasar hak istimewa tersebut.

Saya jadi ngeri sendiri membayangkan hal ini.

Jika patriarki menguasai seluruh lini, mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam semua aspek, kemudian membuat perempuan seolah di bawah dan kedudukannya tidak setara.

Saya membayangkan dunia yang sangat suram.

Mau ke salon, isinya laki-laki. Di rumah sakit, isinya laki-laki. Ya kali mau USG gak ada dokter atau perawat yang perempuan.

Lah, emang kemana perempuan nya?

Di rumah.

Mengerjakan ini itu, terkekang, tidak bebas berperan. Jadi pelayan.

Bukannya saya tidak setuju dengan perempuan yang sepenuhnya dirumah, tapi menurut saya, perempuan juga harus punya peran dimasyarakat.

Apalagi, bayangan saya pada “ikatan pernikahan” dan prosesi “berumah tangga” adalah sinergitas, kolaborasi strategis antara dua kekuatan besar bernama laki-laki dan perempuan.

Satu mendukung yang lainnya, satu menguatkan dan menyokong yang lain. Bukan satu berkuasa lantas satunya tidak berkembang bahkan mundur alon-alon..

Mergo sadar aku sopo~ *nyanyi

Ya Allah jangan sampe….

Konstruksi berpikir saya adalah, peradaban lahir dari kerja sama yang apik antara suami dan istri. Suami kerja, istri mengurus anak, suami pulang kerja, gantian suami mengurus anak, istri mengerjakan pekerjaan umat. Hari libur kerja, suami yang beres-beres rumah, ikut memandikan anak, bersihin kamar mandi, menjemur pakaian, menyetrika bersama, olahraga bersama, juga memasak, istri mengerjakan pekerjaan ibu-ibu PKK.

Yang masih sering terjadi di masyarakat adalah…

Suami kerja, cari uang yang banyak, pulang capek, taunya cuma ngasih uang bulanan, selebihnya… bodo amat…

Istrinya? Membereskan seluruh pekerjaan rumah 24 jam nonstop, mulai dari mencuci, menyapu, memasak, menyetrika, mengurus pendidikan anak, membersihkan kamar mandi, cuci motor, bayar ini itu, ah pokoknya banyak banget sampe gabisa disebutin semua.

SEREM GA SIH?

YA SEREM LAH, PAKE NANYA!

Well, sebelum jauh kemana-mana, saya akan perjelas mengapa diawal saya ngomongin mayam, mahar, dilanjutkan dengan peran serta kedudukan.

Jawabannya adalah, saya melihat sebuah pola dimana seorang perempuan “DIBELI” untuk kemudian sepenuh-penuhnya mengabdi kepada laki-laki. Perempuan seolah menjadi “manusia tidak merdeka” yang terkekang oleh stigma rendahan yang membuatnya tidak lebih dari seorang “PELAYAN” bagi kaum laki-laki.

O hello…

“Lah, kamu emang gamau mengabdi ke suami kamu kalo udah nikah, Re?”

“No, point nya bukan itu”.

“Terus apa? Kamu ndak suka dengan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan?”.

“No, saya paham bahwa Islam sendiri hadir sebagai risalah yang detail menjelaskan kedudukan laki-laki dan perempuan. Ada perbedaan, namun Islam memuliakan kedudukan perempuan”.

“Oh..  atau….. Rere feminis ya? Kaum liberalis yang menuntut laki-laki dan perempuan itu sama?”.

“Hadeuh apalagi itu… “

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah, Islam hadir sebagai agama yang memuliakan perempuan, menempatkannya pada derajat yang baik dan menghadiahkannya penghargaan yang tinggi, sesuai dengan tata aturan dan batasan dari-Nya.

I always say to my self, “Kamu itu well educated, Re. Jangan mau jadi BUDAK”.

Dunia udah berubah, sans lah. Perempuan udah gak serendah yang kamu pikirkan”

“Tulisan kamu ini sampah, banyak kok perempuan karir yang gak kolot seperti yang ada di kepalamu”

“Ya ampun, abad 21 masih aja ngomongin hal ginian, sampis!”

Terserah deh terserah.

Apapun tanggapan orang di luar sana, toh apa yang saya sampaikan pada tulisan ini masih ada dan terpelihara zaman, tidak tahu kapan selesainya.

Saya masih menemukan seorang Bapak yang marah dengan anaknya hanya karena hal-hal sederhana. Saya masih menemukan seorang laki-laki yang memarahi dan memukul istrinya hanya karena menumpahkan minum. Saya masih menemukan seorang Bapak yang tidak peduli dengan jenjang bahkan persoalan pendidikan anaknya. Saya masih menyaksikan seorang Ibu yang keteteran dengan seluruh pekerjaan rumah tanpa pernah ada rasa iba dari suaminya-untuk-barang sedikit saja membantunya. Saya masih melihat dimana laki-laki membiarkan banyak perempuan melakukan pekerjaan berat yang harusnya dikerjakan laki-laki. Saya masih melihat laki-laki yang tidak menafkahi istrinya bertahun-tahun, lalu membiarkan istrinya kerja banting tulang menghidupi anak-anak mereka.

Saya bahkan masih menemukan seorang istri yang sungguhan di perbudak oleh suaminya. Tidak keluar rumah sama sekali.

Saya masih melihat sistem patriarki.

Saya tidak memaksa pembaca untuk percaya, apalagi setuju dengan argumen ini.

Tapi kalau saya boleh minta tolong dari relung hati terdalam, please……

Perlakukan manusia sebagai manusia. Kalau anda laki-laki, punya anak dan istri. Apakah akan membiarkan istri mengurus segala urusan domestik secara sepihak? Dan kalau anda seorang istri, perlakukan suami sebagai suami.

Ya emang kenapa kalo kagak? Emang kenapa kalo saya sebagai suami menyerahkan urusan pendidikan anaknya sepenuhnya kepada istri? Atau kami berbagi peran dan tidak saling mencampuri peran tersebut?

Bahasa kasarnya begini, Nikah berdua, “buat” anak berdua, hamil (harusnya) berdua, mengurus anak juga berdua, dan berumah tangga ya berdua.

And then?

Saya hampir kehabisan kata-kata.

Ada hal yang saya tidak bisa jelaskan karena saya sendiri belum berpengalaman, ada hal yang ingin saya sampaikan lebih jauh tapi saya belum mau.

Lalu, tulisan ini akan berakhir seperti apa?

Entahlah.

Dalam sebuah jurnal berjudul, “Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan Pembentukan Budaya”, yang ditulis oleh Nina Nurmila tahun 2015 silam, analisis yang digunakan dalam indikator ketidakadilan gender meliputi subordinasi (merendahkan perempuan), marginalisasi (peminggiran perempuan berdasarkan jenis kelamin), kekerasan (tindakan menyakiti perempuan), stereotype (pelabelan negatif terhadap perempuan), double or multiple burdens (pembebanan kerja ganda atau lebih).

Nina menyebutkan bahwa budaya patriarki telah menciptakan ketidakadilan dalam relasi gender, yang menempatkan posisi perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan laki-laki selalu dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan, bukan berdasar pada usaha atau prestasi yang diraih kedua jenis kelamin tersebut.

Sementara itu, Andi Omara dalam jurnal yang berjudul “Perempuan, Budaya Patriarki, dan Representasi” mengatakan  bahwa kodrat adalah segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia yang tidak dapat diubah oleh teknologi yang paling canggih sekalipun. Hal yang dikodrati pada perempuan adalah apa yang dimiliki perempuan dan tidak dapat dipertukarkan dengan laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia, terutama wilayah pedesaan kerap membuat seolah-olah kerja dalam rumah tangga merupakan kodrat yang harus dijalankan oleh perempuan. Merawat anak, mengurus suami, memasak, berbelanja yang kemudian menjadi “kewajiban” yang harus sepenuhnya dilakukan perempuan. Pandangan ini sejak dulu dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Hal ini yang kemudian merembes ke arena yang lebih luas tidak sekedar dalam rumah tangga, melainkan ranah publik juga.

Herien Puspitawati dalam jurnal yang berjudul “Interaksi Suami Istri Dalam Mewujudkan Harmonisasi Keluarga Respinsif Gender” menyebutkan tentang kemitraan gender sebagai studi lanjutan atas solusi dari sitem patriarki.

Kemitraan gender adalah baik untuk mewujudkan tujuan bersama laki-laki dan perempuan.

Kemitraan gender dalam menjalankan peran dan fungsi memungkinkan adanya keterbukaan/transparansi dalam manajemen sumber daya keluarga.

Kesetaraan dan keadilan gender memperlancar kerjasama antar individu dan menurunkan tingkat kesalahpahaman dan konflik dalam keluarga

C’mon, what is your point, Re?

Patriarki sudah seharusnya mati, mari menghidupkan harmonisasi sinergi!

Salam Perempuan Merdeka.

Kantor BIC.

20 Desember 2019.

15.00 WIB.

You Might Also Like

0 comments