Dilematika, Dialektika, Retorika.

Sewaktu saya menulis ini, saya berada di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Kondisinya ramai, saya duduk di bawah pohon rindang yang menyejukkan. Kalian mungkin perlu tahu, tempat ini adalah salah satu tempat favorit saya diantara sekian banyak tempat di Yogyakarta.
Di tempat ini, membuat saya ingin menulis banyak. Mengeluarkan sesuatu yang mendobrak-dobrak kepala saya. Di tulisan ini pula, akan saya buat menjadi lebih sederhana. Ah ya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk tulisan saya yang sebelum-sebelumnya. Saya mohon maaf kalau didalamnya mengandung unsur kerecehan yang tidak bermanfaat.
Beberapa waktu belakangan, saya kerap dihujam dengan banyak pertanyaan.
“Re, kapan wisuda? Eh, udah sidang belom siiiihhh?”
“Re, setelah lulus mau kemana? Kerja dimana?”
“Mbak Rere sudah punya pacar? Calon suami?”
Orang-orang Indonesia, eh orang-orang aja deh. Sering kali melontarkan pertanyaan yang itu-itu terus. Pertanyaan-pertanyaan inipun, sering kali kita temukan di momen kumpul keluarga, waktu lebaran, dan lain-lain.
Kadang, bukannya tidak ingin menjawab. Saya kira, pertanyaan seperti ini sewaktu-waktu perlu diganti, dan memang harus diganti.
Saya memang belum menghadapi fase pasca kampus yang kata kebanyakan teman saya mendilemakan. Mereka harus berjuang puluhan kali untuk dapat mendaftar dan duduk di jajaran direksi perusahaan impian. Mereka mempertaruhkan idealisme dan angka-angka dalam rupiah yang masuk ke rekening tiap bulannya.
Gaji.
Salah satu teman saya bahkan pernah bercerita, sekian bulan melalui masa-masa dilema berat, bermain spinner disuatu siang selama berjam-jam, berpikir bagaimana agar tidak menjadi pengangguran.
Saya sendiri, tidak ingin membayangkan untuk ada difase itu. Tidak, sungguh tidak.
Sejak semester 1, saya ‘terpaksa’ harus bekerja. Keputusan itu saya ambil karena memang ada urgensi didalamnya. Orang tua saya? Ya tidak tahu!
Hah? Serius?
Sungguh, saya tidak berbohong. Saya bekerja semester satu sampai awal semester tiga. Sayangnya, Saya harus berhenti. Saya tidak kuat menjalani kegiatan perkuliahan dan pekerjaan yang keduanya mengemis penuh perhatian.
Lemah? Bisa jadi.
Semester ke lima atau enam, saya lupa tanggal pastinya. Saya memutuskan untuk memasuki dunia yang saya suka, mengajar. Pada detik yang sama ketika tulisan ini diketik, saya masih bergelut di dunia itu.
Kalaulah saya diberi kesempatan untuk menjawab, “Setelah lulus mau kemana? Kerja dimana?”
Sejujurnya saya malah tidak ingin bekerja di perusahaan, saya ingin menjadi apa yang saya suka, jadi bos!
Lah, gimana ceritanya mau jadi bos?
Pulang kedesa, membuat usaha kecil-kecilan, sembari membuat pemberdayaan, menjadi bos skala kecil gitulah.
Haha. Dasar Rere!
Bukan apa-apa, selain memang negeri ini masih kekurangan jumlah pengusaha, saya sudah lelah didunia kerja.
Eittssss….. Hati-hati Re.
Pertanyaan kedua, “Apakah saya punya pacar?”
Tidak ada kewajiban untuk menjawabnya, tapi sungguh, biasanya saya akan bertanya balik,
“Apakah saya terlihat seperti punya pacar?”
“hehehe, Nggak”
“Nahh… saya mau langsung dilamar aja”.
Pertanyaan dan jawaban diatas tidak bisa dinilai serius atau bercanda, karena sayapun tidak tahu yang bertanya serius atau bercanda.
Kembali ke persoalan lulus, setengah hati saya pernah bilang begini:
“Setelah lulus, pulang ke daerah, membangun daerah, menikah dengan seseorang yang mau membangun daerah yang sama, berjuang dengan dia, jadikan dia Bupati, Gubernur, Presiden RI”.
Woowww….
Lalu, setengah hati yang lain menjawab.
“Membangun negeri tak harus pulang kedaerah, kamu punya lahan dimana saja, yang harus kamu lakukan adalah menjadi rasional. You don’t need to be perfect, you just need to be real. Emang siapa laki-laki yang bersedia mengabdikan diri kedaerah bareng kamu? Gimana kalau kamu yang dibawa kedaerahnya, jauhhhh entah dimana. Berpikirlah dengan logika, Re!”
Sederhananya begini, setengah hati saya menikam setengah yang lain.
Kalau ada yang bertanya alasan saya pulang kedaerah, tentu hanya dua, Orangtua dan Langit.
Orangtua sudah ridho kalau saya tidak pulang ke daerah. Langit? Saya tidak bisa menjelaskan rasa sayang saya. Bagaimanapun, mereka menyimpan setengah hati saya. Walaupun kalau harus jujur, saya merasa bahwa sayang saya bertepuk sebelah tangan. *Melloww banget sih Reeeee
Kembali lagi ke pertanyaan-pertanyaan diatas tadi, memang perlu segera diganti.
“Kamu kapan wisuda?” diganti dengan “Apa yang kamu lakukan selama kuliah?”
Wahhh. Saya bisa jelaskan dengan sangat panjang, saya berani mempertanggungjawabkan apa-apa yang saya lakukan.
“Setelah wisuda mau kemana? Kerja dimana?” diganti dengan “Project apa yang mau kamu buat untuk ummat setelah lulus?”
Pertanyaan ini, menuntut jawaban dengan analisa luar biasa. Penjabaran dengan berbagai sudut pandang dan kreativitas tanpa batas.
“Sudah punya pacar? Calon suami?” diganti dengan “Kalau nanti kamu menikah, apa yang mau kamu lakukan dengan suami kamu untuk negeri ini, bangsa ini?”
Lagi-lagi, saya akan jelaskan semua-muanya, lengkap dengan perencanaannya.
Saya sering berguyon dengan seorang sahabat, “Lil, coba aja aku dilamar akhir 2018 ini, pasti kukebut itu skripsi. Tapi belum ada tanda-tanda, ya aku santai aja. Lagian ya, untuk apa keburu wisuda kalau ternyata wisuda itu sendiri adalah upacara sakral melepas status mahasiswa menjadi pengangguran, beban negara”.
“Nah iyaaa Re.. aku sepakat”.
“Lil, nanti kalau kita lulus, kita harus pastikan kalau kita tidak menjadi beban bangsa ini. Kita tetap harus jadi perempuan yang mengurus anak, membangun peradaban, tapi juga punya karya. Aku nggak siap kalo harus dikurung dirumah”.
“Benerrrrr….”
“Eh Lil, naik gunung yuk”
Begitulah secuil percakapan kami. Belakangan saya jadi lebih sering diskusi perihal permasalahan perempuan, tentang aborsi, waria, pekerja seks komersial. Sampai di satu titik, saya dan Ulil memahami bahwa ada kompleksitas dalam kehidupan seorang perempuan. Kapan-kapan kita diskusi ya. Hehe.
Dan kami, sebagai seorang perempuan, akan terus belajar banyak hal.
Kalau kalian bertanya, kapan saya wisuda? Saya akan jawab 2019. Insyaa Allah.
Kalau ditanya kapan menikah? saya juga akan menjawab 2019. Insyaa Allah.
Bagi saya, sarjana adalah sebuah gelar yang disematkan bahwa perjuangan akan menjadi lebih besar. Bahwa status sarjana bukan lagi tentang memikirkan diri sendiri, tapi bagaimana memikirkan orang lain, bangsa ini, negeri yang kaya ini.
Sudah sekian kali saya ditegur karena membicarakan nikah terus.
Nggak capek Re? Nggak kapok?
Hahah santai sih.
Narasi yang saya bawa adalah narasi perjuangan, dan ini sifatnya serius.
Narasi inipun, tidak bisa terpisah dari pernikahan.
Rere berjuang sendirian? Yaaaa nggaaakkk bisaaa.
Salah satu yang menjadi titik poinnya adalah, bersegeralah wisuda, untuk segera beralih ke urusan yang lainnya.
Daaaaaannnnn……
Apa yang saya ceritakan diatas bukanlah intinya. I am so sorry.
Versi yang sebenarnya, saya sudah tidak begitu memikirkan pertanyaan-pertanyaan diatas, ataupun jawaban-jawabannya. Saya sudah tidak mau lagi berkutat dengan urusan remeh-temeh.
Urusan wisuda, menjadi sarjana, yang kalau di hayati adalah sebuah batu loncatan mobilitas sosial, juga sudah tidak ingin saya pikirkan. Setidaknya untuk saat ini.
Di titik ini, fokus saya dan sahabat saya adalah Allah. Mencari ridho Allah. Sudah itu saja.
Selama mengerjakan skripsi, kamipun tidak boleh fokus hanya pada dunia, itulah mengapa harus selalu menyempatkan kajian sore harinya.
Bagaimana kemudian ridho Allah didapatkan, ilmu dicari sebanyak-banyaknya, bekal menuju after collage life dipegang sekuat-kuatnya.
Mengerjakan segala sesuatu yang membuat Allah suka, Allah senang dan berkah.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pembaca, saya akhiri tulisan ini. Maaf kalau tulisan ini juga terkesan receh.
Sekali lagi, semoga kita senantiasa memperbaiki diri menuju Allah Subhanahuwata’ala.
Yogyakarta, 28 Sept 2018
15.15 WIB

4 comments
Tulisanmu menarik Re, semangat untuk planning-planning mu ya dek. All the best ❤
BalasHapusHuuaaaa dikomen ama my sister kecehh,, Duh jadi senang :)
BalasHapusYeay, bersama menulis membangun negeri wkwkwkwk
BalasHapusHoiyaaaa.... mau baca juga tulisan sisterrrrr...
BalasHapus