A Letter to My Dadsky

surat bapak 

Surat Cinta

Ada begitu banyak memori tentang Bapak yang melekat teramat dalam dihati ini, memori-memori itu tidak hanya memberikan pelajaran, dalam beberapa waktu ia menjelma menjadi tamparan paling keras. Melesat, lalu mendarat kepalung jiwa.

Untuk Bapak, yang masih berjuang  dan akan terus berjuang di bumi Allah.

Harus dari bagian mana anakmu mengungkapkan isi hati? Karena sesungguhnya ada banyak hal yang mendobrak-dobrak pemikiran, menghentakkan kepekaan, dan memburai air mata.

Bapak, malam ini terasa ada yang menyesakkan, entah apa. Ada yang membuat sesuatu mengalir, menganak sungai dipipi.

Pak, bolehkah anakmu ini bersandar dibahu? Seperti yang biasanya kulakukan kalau ingin menangis sesenggukan.

Sungguh malam ini, aku ingin sekali membenamkan wajah kebahumu yang tak sekokoh dulu. Aku ingin menangis sepuasku, meluapkan isi hati, membiarkan segalanya tumpah, tanpa takut ada yang menyela.

Bapak, Langit Jogja selalu indah. Selalu menentramkan. Tapi terkadang, setiap menatap langit, hati ini mudah sekali berubah, gampang  merindu.

Pak, Apa kabar Langit Langkat? Apakah dia selalu indah? Apakah dia rindu putri kebanggaannya?

Pak, sambil mendengarkan Lagu Titip Rindu untuk Ayah dari Ebiet G Ade, bagaimana kalau kita membuka ruang memori?

Bukan bermaksud mendramatisir, tapi biarlah tangis ini selesai bersamaan dengan selesainya tulisan ini, atau kalaupun dia tak kunjung mau berhenti, dia akan hilang ketika sadarku mulai diseret lelap.

Pak, masih ingat akhir tahun 2000?

Kurasa, itu adalah hari dimana kita sekeluarga tak akan pernah melupakannya. Hari dimana semua berubah, ekonomi, sosial, psikologis, masa depan, janji-janji kehidupan, semua lenyap bersamaan dengan api yang melahap rumah kita. Tidak, dia tak hanya melahap bangunan kokoh itu, dia melahap mimpi-mimpi kita, melahap kewarasan orang-orang, lalu mereka dipaksa menjadi gila.

Bapak, sudah teramat banyak rasa sakit.

Tapi bukankah rasa sakit yang menjadikan manusia itu kuat? Bukankah guci yang indah ditempa dengan proses yang menyakitkan?

Waktu itu, Juni 2002.

Aku merengek minta sekolah. Bapak bingung, usiaku waktu itu 5 tahun.

Didepan kantor kepala sekolah, Bapak meminta baik-baik ke kepala sekolah. “Anak saya sudah minta sekolah, kira-kira boleh tidak, Pak?”

“Maaf, Pak. Umur anak Bapak belum cukup”.

Bapak waktu itu memberi isyarat kalau aku belum boleh sekolah. Seolah tidak tahu tempat, aku menangis sejadi-jadinya. Tidak mau diajak pulang sebelum diizinkan.

Setelah beberapa lama, tangisku membuahkan hasil, si Bapak Kepala sekolah akhirnya luluh. “Yasudah, masuk dulu sebagai percobaan, nanti kalau tidak bisa mengikuti pelajaran, coba di tahun depan ya”.

Aku tau Bapak khawatir. Selain aku yang tidak pernah TK, waktu itu aku baru sembuh dari trauma.

Seiring berjalannya waktu, sambil masih terseok membangun kehidupan yang baru. Bapak masih terus berupaya agar menjadi sosok Bapak yang baik.

Subuh berangkat kerja dengan sepeda butut, hampir tengah malam baru pulang. Kalau pulang lebih cepat, biasanya Bapak menyempatkan diri belajar bersamaku.

“Nanti disekolah, yang baik ya. Kalau ada yang jahat, bilang sama Bapak”.  Sayup-sayup kudengar kalimat itu.

Pak, Bapak masih ingat waktu aku kelas 5?

Aku bilang, Timun itu buah. Bapak bilang, timun itu benda. Aku tidak jadi mengerjakan PR. Keburu ngambek perkara timun. Bapak kesal karena aku kekeh dengan jawaban versiku, sementara malam itu aku masih terus menangis karena kita tidak sependapat.

Pak, sepertinya Bapak perlu tahu. Buku PR ku basah karena air mataku. Paginya, waktu tahu kalau buku itu basah, aku nangis lagi.

Tidak terbayang betapa pusingnya Bapak menghadapi anak yang secengeng itu.

Ah tapi setidaknya, aku tahu Bapak bangga. Anak kecil yang menangis meraung-raung itu selalu juara 1 selama SD. Biarlah dia pernah diremehkan, tapi setidaknya dia pernah memberi yang terbaik ke pahlawannya.

Waktu SMP, Hari pertama sekolah, Bapak mengantarkan aku dan kakak sampai ke gerbang sekolah.

Bapak bilang, kami harus jadi anak mandiri.

Kalau boleh jujur, bukan hal yang mudah naik sepeda sejauh lima kilometer. Selama perjalanan yang ada hanya jajaran pohon tebu dan sawit. Belum lagi, matahari terik menyengat, membakar wajah.

Sempurna sudah aku waktu itu, kurus, pendek, hitam, dan dekil.

Semasa SMP, Mamak lebih sering melarang semua kegiatanku. Mamak sepertinya tidak tahu kalau anak yang sering dilarang berpotensi mencetak anak yang pemberontak.

Akibatnya, aku lebih sering mencari pelarian ke Bapak.

Waktu aku ikut nasyid, pramuka, pengurus mading sekolah, paskibra, dan kegiatan-kegiatan lainnya, aku merasa bahwa Bapak yang selalu mendukung.

“Aku minggu depan perkemahan ke Sibolangit”.

Sebuah jawaban terdengar keras dari balik pintu, “Nggak boleh”.

Seperti tidak mengenal kata ‘tidak boleh’, aku tetap berangkat. Dan begitu seterusnya, perkemahan ke Namu Sira-sira, perkemahan ke Bukit Bintang, Kwarcab, Persami di Secanggang, aku berangkat tanpa izin.

Masyaa Allah, bandel sekali aku waktu itu.

“Kamu dilarang juga tetap berangkat, jadi  Bapak harus jawab apa kalau kamu minta izin?”

“Jawab… Iyaaaaaaa…. Boleeeehhhhh” kataku sambil merapikan semua barang bawaan.

Pak, ingat dulu waktu aku bilang mau jadi atlet putri?

Bapak bilang, kalau aku sanggup, maka yang harus dilakukan adalah memperjuangkan mimpi itu.

Waktu itu Pak, aku ikut lomba lari cepat 100 meter melawan teman-temanku.

Aku menang!

Aku resmi jadi perwakilan untuk lomba lari putri mewakili sekolah. Tetapi, Allah seperti punya rencana lain, aku cedera kaki kanan.

Mimpi itu kini musnah terkubur.

Meski akhirnya tidak jadi ikut lomba itu, aku dan tim diganjar kemenangan lomba gerak jalan puluhan kilometer. Tapi bagiku, aku masih mau memperjuangkan mimpi itu.

Pak, ada banyak rahasia yang kusembunyikan. Bapak mau tahu?

Aku ikut lomba olimpiade IPS, mewakili kecamatan Stabat.

Bukankah itu mengejutkan?

Ah Bapak waktu lebih banyak diluar kota. aku tidak mau mengingat masa-masa  Bapak merantau, kena tipu, kembali ke Aceh bertahun-tahun, memperjuangkan hak-hak kita.

Aku juga tidak mau mengingat masa-masa pulang sekolah dulu. Sampai rumah, ganti baju, pergi ke parit, mencari ikan, lumpur-lumpuran.

Yang paling berkesan mungkin waktu belajar renang di sungai, Bapak bilang kalau belajar renang itu harus tenang.

Pak, sungai dulu yang kita pakai untuk belajar kini sudah menghitam. Jangankan manusia, ikanpun enggan berenang, kalau mereka bisa kabur dari sana, kurasa mereka akan hidup di darat.

Pak, Waktu kelas 3 SMP, sekolah pernah mengadakan Try Out super dadakan. Jam 11 siang seluruh kegiatan belajar mengajar dihentikan. Kami semua diminta untuk ikut ujian simulasi UN.

Sebulan setelahnya, hasilnya keluar.

Tidak kutemukan namaku disana, maka yang terjadi adalah menangis di belakang kelas. Sampai akhirnya, seorang teman bilang, namaku ada diurutan pertama. Sungguh tidak bisa kupercaya.

Waktu mau mendaftar SMA, Bapak ingat?

Kita pergi pagi-pagi buta ke klinik Prodia, tahap ketiga untuk cek kesehatan. Bapak yang menenangkan waktu harus cek jantung, rontgen, cek darah, dan lain-lainnya. Sampai mengantarkan ke asrama, Bapak bilang kalau ini pilihanku, aku harus tahu dan mengerti segala konsekuensinya.

Salah satu yang juga tidak akan pernah terlupakan, meminta izin kuliah ke Jawa.

“Mak, Pak, kalau kuliah disini, aku nanti tidak berkembang, aku harus ke Jawa”.

“Nanti kalau sakit, gabisa makan, gimana?” Jawab Mamak yang waktu itu cemas.

“Doain biar nggak sakit, biar bisa makan, biar baik-baik aja”.

“Kalau ke Jawa, pertimbangannya banyak. Kalau bisa, selalu punya teman, kalau sakit biar ada yang rawat, kalau makan nggak sendirian. Kalau menurut Bapak, silahkan ke Jawa. Selagi ada waktu, kesempatan, kemauan. Tapi ingat, harus mandiri, harus kuat, harus bisa hidup tanpa orangtua, harus berani. Ini kan hidupmu, Bapak sama Mamak tugasnya ngasih pertimbangan, keputusan tetap ada di tangan kamu, silahkan pilih jalanmu.”

Sepanjang perjalanan dari asrama ke bandara, Mamak menangisi kepergianku, Bapak waktu itu memberi ekspresi terbaik, walau aku tahu hati Bapak remuk-remuk.

Satu-satunya orang yang bahagia adalah aku.

Aku telah memutuskan apa yang kumau, aku telah memilih jalan yang kumau, aku pula yang harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihan itu.

Bapak, makasih untuk sudah menjadi demokratis. Makasih untuk sudah bersedia menjadi telinga ketika aku bercerita kisah cintaku.

Oh ya Pak, aku akan tetap memilih jalanku untuk terus berjuang. Termasuk, memperjuangkan orang-orang yang layak diperjuangkan.

Sederhananya, akan terus berjuang sampai Allah berkata "Waktunya Pulang".

Terakhir, tangisku malam ini ternyata karena rindu.

Kusudahi,

Kota Rindu,

23 September 2018, 00.23 WIB

You Might Also Like

0 comments