Kepadamu, RK!

Terlahir sebagai seorang anak di desa nun jauh disana, tak terdeteksi gmaps paska perang hebat 16 tahun lalu adalah serentetan misteri yang harus diambil hikmahnya. Berjalan jauh menemukan rumah untuk berpulang adalah kewajiban akibat luka yang menganga. Bagi saya, menjadi bagian dari rumah ini adalah salah satu skenario  paling rahasia yang dirangkai indah oleh-Nya.

Bagaimana tidak, living with the giant yang setiap harinya melihat orang ‘keren’ dan ‘keren sekali’ adalah sebuah motivasi untuk bisa menuju kearah sana.

Tentu dengan cara dan versi yang berbeda.

Ah, kalau saja waktu bisa berbicara, maka hari ini kita mungkin akan memintanya untuk bercerita awal ‘kisah cinta’ kita bermula.

19  Purnama, 327 hujan lebat, 3 kali erupsi Gunung Merapi, dan ribuan kali rindu adalah hal yang tidak boleh dilupakan.

Kita mungkin masih ingat kisah Imam Ahmad Hambali yang pergi ke Baghdad, lalu diusir karena tidur di Mesjid, kemudian ia bertemu dengan seorang tukang roti yang senantiasa beristigfar. Lalu ketika ditanya mengapa ia selalu melakukannya? Ia lantas tegas menjawab bahwa ia berdoa agar bertemu dengan sang Imam fenomenal, Imam yang saat itu tidur dirumahnya. Subhanallah.

Betapa Allah amat rapi menyusun takdir!

Sejenak kembali ke 9 September 2016, ketika Ayahanda Ustadz Musholli menyampaikan tentang do’a Nabi Zakaria. Bait-bait do’a yang datang dengan suara yang lembut, menguap dari relung hati terdalam, penuh kesungguhan, dan dirapalkan pada sepertiga malam.

Lalu buah dari do’a tersebut?

Seorang anak yang hadir dalam hidupnya, meski tulang belulangnya telah rapuh, rambutnya sempurna memutih, dan istri yang  dinyatakan mandul.

Tentu saja, Kekuatan do’a meruntuhkan segalanya!

Lagi, kita tidak boleh melupakan Leaders and Leadership-nya Bang Bach, 17 September 2016.

“Sejatinya kita membawa tiga misi, ta’muruna bil ma’ruf (misi humanisasi) tanhauna anil munkar(misi liberasi) dan tu’minuna billah (misi transendensi)”. Ketiga misi ini ditopang dan dipikul oleh pundak yang siap memikulnya, bukan soal kuat tidak kuat, ini soal mau berusaha atau tidak.

Usaha, yang akan menjadikan kita kuat memperjuangkan apapun.

Bukankah kita hari ini adalah formulasi dari usaha, do’a dan takdir? Berproses sekuat nyawa panglima, berdo’a serendah-rendahnya hamba, dan yakin akan takdir yang membentang sempurna.

Kita hari ini, pada rumah ini.

(Mari sejenak duduk merapikan diri, bolehlah jika ingin menyeduh kopi sambil ongkang-ongkang kaki. Oh ya, satu lagi, Jogja disenyumi mentari ketika tulisan ini diketik)

Baiklah, mari kita lanjutkan.

Kita boleh saja membuka jendela, melihat dunia.

Knowing that world is changing.

Mulai dari James Watt dengan mesin uap kebanggannya, lalu melesat jauh kedunia dengan Revolusi Teknologi 4.0. Dilanjutkan  ketika dunia digemparkan dengan Internet of Things, yang sebentar lagi menjadi Internet of Me.

Dunia berubah, namun ada yang tidak, yaitu KEYAKINAN.

Boston College mungkin saja benar bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar No. 7 didunia tahun 2045. Atau penelitian susulan yang menyatakan Indonesia urutan ke 4 atau ke 5 didunia.

Perekonomian yang semakin kuat, namun ada yang harus lebih kuat, yaitu IKATAN PERSAUDARAAN KITA.

Kita  bisa melihat betapa China berlari sprint  dengan misi ‘menguasai dunia’.  Memaksa kita untuk membaca When China Rules The World karya Martin Jacques. Yang paling miris, ketika China mampu menguasai 75% sektor pertanian Australia, kemudian berusaha menguliti sektor ketahanan pangan Indonesia dengan menyelundupkan benih padi berbakteri yang mengancam komoditas, lalu benih sayur bervirus yang mengancam nyawa. Syukurnya, aksi gila ini berhasil digagalkan di Bali pada November 2017 dan Februari 2018.

Tampuk kekuasaan bergeser ke Asia, China berlari kencang merebutnya, namun ada yang harus lebih kencang dan tak boleh sedikitpun bergeser, yaitu DOA-DOA KITA.

Kita boleh saja berbangga atas kekayaan maritim yang kita miliki, laut yang megah, ikan yang berenang ketepian. Fakta sejarah usai Deklarasi Juanda menyatakan bahwa hukum laut internasional berhasil diperbaiki.

Congrats!

Ah, laut boleh saja membentang luas, namun ada yang harus lebih luas, yakni wawasan kita untuk bermimpi, menguap seperti air laut, menjadi butiran hujan. Tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan, namun membangun kehidupan yang baru.

Hmm…

Kita boleh sedikit mengenang, membuka lembaran awal buku diaryselama dirumah ini. Engkau mungkin akan temukan fisik yang mulai lusuh, namun tidak dengan ingatan.

Time flies, not memory. 

Perjalanan dari Grha Sabha Pramana menuju Masjid Syuhada, Makassar ke Yogyakarta, Rumah Kepemimpinan Jakarta ke Lingkung Gunung, adalah perjalanan panjang yang menyita tenaga.

Namun, bukankah perjalanan setelah ini akan lebih panjang? Perjalanan menebar benih kebaikan, menanam untuk dipanen orang lain, bekerja untuk membangun peradaban, berpikir agar orang lain bahagia.

Perjalanan penuh onak dan duri. Perjalanan kebaikan.

Khairunnas anfauhum Linnas. Begitu, kan?

Lagi, soal peran.

Kalian mungkin kenal dengan sosok dokter lulusan UGM yang kini menjadi Bupati Legendaris di Kulon Progo, Bapak Hasto Wardoyo. Atau mungkin kalian mengenal  Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Panggungharjo yang berhasil menjadikan desa tersebut menyabet gelar desa terbaik tingkat nasional tahun 2014 silam. Atau mungkin Andang Kirana bisnis coach yang mengajari untuk excellent service to other.

Sebesar apapun peran seseorang, sehebat apapun nama mereka, tentu kita tidak boleh melewatkan peran pahlawan yang telah mendedikasikan waktunya untuk kita.

Supervisor dan manajer asrama.

Orang-orang yang menomorsatukan kita, menomorduakan urusan pribadi. Melenakan tubuhnya getir oleh lelah yang semoga lillah. Membenamkan dahi kebumi, lalu melanjutkan larik-larik do’a untuk kita, bocah yang sering kabur agenda asrama. Orang-orang yang bermain pada strategi, menyusun agenda sana-sini, bertaktik ria mengumpulkan dana demi hidupnya air, listrfik, TV, dan WiFi asrama.

Orang-orang yang memberikan 22 purnama untuk menjadi pembelajar yang terus merasa ‘bodoh’, yang haus akan ilmu, yang menggali bagaimana memahami orang lain meski dengan secarik surat dan sebatang cokelat.

Berterimakasihlah, pada diri kita yang (kadang-kadang) kooperatif.

Berterimakasihlah, pada mereka yang (kadang-kadang) menyimpan tangis.

Kalau kata Eyang Stephen R. Covey, “Life isn’t about finding yourself, but life is about creating yourself”

Sudah sejauh ini, sudah sedalam ini, sudah sedekat ini.

Pertanyaan-pertanyaan yang pernah hinggap di kepala kita adalah pertanyaan menuju anak tangga pendewasaan.

Sudahkah aku memiliki visi? Sudahkah visiku sejalan dengan visi rumah ini?

Sudahkah aku berprestasi dan berkontribusi? Sejauh manakah peranku untu negeri?

Kemanakah aku setelah ini? Apa yang akan kulakukan setahun lagi?

Apa rencanaku setelah tak ada pembinaan lagi? Apakah semua yang kudapat sudah membuatku mengalami perubahan diri?

Bagaimana mewujudkan semua mimpi?

Bagaimana mendapatkan hati Tiara-Srikandi?

(Pertanyaan terakhir jawabannya “Minta aja ke Allah”)

Namun yang jelas, pertanyaan paling lumrah yang layak dilantangkan pada diri masing-masing adalah, Sudah sejauh mana kapasitas, kapabilitas, integritas, dan imitasi dalam diri?

Tolong pastikan bahwa jawabannya akan berelasi dengan pertanyaan “kalau meninggal nanti ingin dikenal sebagai sosok yang seperti apa?”

Giant Vision.  

 Ah, begitulah.

Saya rasa, sesekali kita perlu melihat sisi lain kehidupan.

Berkunjung ke Panti Tresna Warda. Melihat bagaimana lansia bertahan hidup dengan membuat kreativitas layak jual. Berjalan ke Panti Sayap Bunda, ada begitu banyak anak yang ditelantarkan orangtuanya.

Kita perlu berkunjung, pada malam tanpa ujung. Pada hikayat tanpa lembayung.

Pada tangis tanpa senandung.

Kita perlu, merefleksikan masa lalu dan masa depan.

Bukankah mempelajari masa lalu adalah cara terbaik menyiapkan masa depan yang lebih baik? Suatu hal yang saya kira, seorang Nielsen tak mampu mengkalkulasi nya.

Well, apakah kita sudah mengucapkan sesuatu pada Ayahanda Ustadz Musholli? Bang Bach? Jajaran Direksi?

Foto 1: Ayahanda Ustadz Musholli

Karena ucapan terimakasih menjadi amat getir untuk dilontarkan. Goretan surat cinta untuk mereka akan amat sulit dirangkai. Bingkisan-bingkisan kado hanya akan berisi benda kosong melompong.

Tidak, tentu tidak.

Lebih dari itu. Sesuatu yang tidak ternilai. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang kita kira.

Kalau kata orang, terimakasih terbaik adalah doa, empati terbaik adalah dengan selalu ada. Maka untuk hal ini? Apa?

Ya Rabb.. 

Ditengah gempuran obsesi kemegahan, kekuasaan, kekayaan, ada banyak orang yang lupa bahwa tugasnya di dunia adalah menjadi khalifah, menebar kebaikan di muka bumi.

Membawa misi Ilahiyyah, menjadikan Islam sebagai the only one way of life. Membangun world viewseorang manusia, menyalakan api tauhid dalam qalbu, menjadi rahib dikala petang, dan singa dikala siang.

Kalau kalian membaca tulisan ini, maka waktu berada di rumah ini hanya tinggal hitungan hari. Jumlahnya tak akan lebih dari seluruh jari.

Maka, dipenghujung ini, marilah sama-sama mengencangkan ikat pinggang, merapikan sepatu, meninggalkan ransel masa lalu, berlari mengambil ransel yang baru.

Atau, kita bawa carrier saja?

Setelah ini, jalan kita akan lebih berat.

Bukan soal melupakan 2 tahun kebelakang, namun soal memaafkan kesalahan-kesalahan yang telah lalu.

Bukan sosal tak bisa move on dari saudara-saudara yang baik, ini soal menjadikan seluruh detik waktu sebagai pembelajaran.

Bukan soal kita akan menemukan yang baru, namun soal langkah yang akan terus berpacu.

Bukan soal berpisah, ini soal bagaimana kita memungut hikmah yang terserak saat bersama.

Damai dan berdamailah.

Sudah H-5.

Terimakasih Rumah, untuk telah bersedia menjadi ‘rumah’.

Semoga persahabatan, persaudaraan kita sampai Jannah.



You Might Also Like

2 comments

  1. Hi Rere who fall in love with edelweis,Pertama bacaaan diatas sangat bagus, kedua karena bacaan diatas jadi ga cape buat saya nyari bacaan lain. Ketiga saya mau konsultasi nih Ama mba, Jadi gini saya punya masalah tentang what should I do for next hours, jadi saya itu susah dalam membuat plan diri gitu, saya masih suka amburadur dalam hal making plan. Masalahnya itu adalah ketika kita membuat plan pasti ada aja faktor eksternal yang merusaknya. Gimana ya mba caranya making plan itu dengan rapih ya ? Udah gitu aja mba.

    BalasHapus