Rumah Zakat, Pak Cholid, dan Drama di Balik Itu Semua.



Saya tidak tahu harus berkisah dari bagian mana terlebih dahulu. Bagi saya, cerita-cerita ini memiliki keunikan dan pesan tersendiri.
Sejak setahun lalu, saya memutuskan untuk bergabung menjadi salah satu relawan di Rumah Zakat Infaq Shodaqoh  (RZIS) di Universitas Gadjah Mada. Lembaga ini di kelola oleh bidang pengelolaan zakat setingkat universitas dengan staf-staf di dalamnya.

Kegiatan di RZIS cukup banyak dan beragam. Kegiatan-kegiatan tersebut di kelola dan diatur oleh pihak internal RZIS.

Adapun kegiatan-kegiatan RZIS seperti pemberian beasiswa kepada siswa SD, SMP, SMA, dan Mahasiwa.

Selain itu, RZIS juga memberi santunan kepada kaum dhuafa, tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, musafir, panti asuhan, panti sosial, dan lainnya.

Saya masih ingat betul kisah-kisah saya selama menjadi relawan. Meski tidak semua  terekam jelas, namun ada beberapa episode yang saya sudah berjanji untuk tidak akan melupakannya.

Foto 1: Penyaluran Sembako ke kaum dhuafa.

Foto 2: Penyaluran Sembako ke kaum dhuafa.
A Day With So Much Tears.

Hari itu, agenda saya teramat padat. Mulai dari kuliah, bertemu dosen, rapat, mengumpulkan tugas, rapat lagi, hingga harus menyalurkan santunan ke dua panti sosial.

 Betapa hari itu menjadi amat melelahkan.

Saya berangkat pukul 14.00 WIB dari kantor menuju daerah Godean, tujuan saya adalah Panti Muallaf di Desa Minggir.
Saya berangkat sendirian dengan perasaan harap-harap cemas karena tidak tahu lokasi panti tersebut. Bermodalkan maps, saya menuju arah Godean dengan motor berkecepatan sedang.

Sekitar 100 menit menempuh perjalanan, akhirnya saya berhenti di sebuah SMA yang tidak jauh dari lokasi panti. Jarak panti dan sekolah ini mungkin hanya sekitar dua kilometer.

Namun, maps saya terhenti ketika jalanan memasuki persawahan dan hutan jati.

Ya Allah, Kemana ini?
Saya terus menyusuri jalanan, tanpa sinyal, tanpa teman, dan hanya di buntuti oleh perasaan yang kian getir.
Saya berhenti ketika memasuki sebuah jalanan kecil, di kanan-kiri terbentang sawah yang luasnya puluhan hektar. Sementara pada bagian ujung jalan berkumpul pohon jati yang berusia puluhan tahun dengan nuansa mencekam.

Ya Allah, ini dimana?
 
Saya mengecek HP berkali-kali, tidak ada sinyal.

Tak lama, seorang kakek dari ujung jalan berjalan pelan ke arah saya. Tubuhnya melengkung hampir setengah, memakai kaus dan celana pendek, dan tangan kanannya menggenggam sebilah arit.

Saya memerhatikan si kakek dari kejauhan. Harap-harap cemas.

Ketika tubuh si kakek sempurna hanya berjarak dua meter dari saya. Saya lantas turun dari motor dan mengambil posisi kuda-kuda, bersiap mengeluarkan jurus.

Si kakek berhenti memandang saya, kami bertatapan sejenak.

“Mbak, sampean mau kemana?” si kakek bertanya serius.

Yang ditanya malah kaget dan kikuk.

Em.. Em… ke.. ke.. Panti Muallaf kek,” saya ragu menjawab.

Si kakek berpikir, lantas berbalik badan, berpikir lagi, kemudian menoleh ke arah saya.

“Panti Muallaf,, ohh ya iniii… Mbaknyaa luruusss teruss… nanti di ujung sana ada pertigaan, ambil kiri, lurus sedikit, ada pertigaan, nanti rumah nya agak masuk mbak, kiri jalan persis” si kakek menjawab detail.

Saya melihat ke ujung jalan. Tidak yakin.

Oh.. ngggih, nggih, matur nuwun  saget kek,” saya bergegas pergi.

Maka sore itu, menjadi sebuah pencarian paling dramatis. Saya tidak begitu yakin dengan intruksi si kakek. Maka jadilah saya tersesat 40 menit di area tersebut. Ya Rabb.

Suasana gelap, rimbun, dan sepi menjadi momok menakutkan. Saya merasa seperti hanya berbelok di area itu-itu saja, kemudian kembali memutar, dan kembali ke persimpangan yang sama.

Akhirnya, setelah berjalan kesana-kemari, bertanya kesetiap orang yang saya temui,  saya berhenti di sebuah gang dengan sebuah Mesjid berdiri kokoh di sampingnya.

Saya memarkirkan motor, mengucap salam, dan melihat sekeliling.

Akhirnya, Ketemu.

Sepasang suami istri menyambut saya ramah. Mereka adalah pengurus panti Muallaf ini.
Saya mengucap salam, bersalaman, dan dipersilahkan duduk.

Saya memperkenalkan diri, kemudian menyerahkan santunan bulanan ke panti ini.

Setelah selesai dengan tugas, kami berdiskusi tentang awal mula berdirinya panti ini, susah payah bapak dan ibu menjaga agar panti ini tetap diakui, hingga kisah heroik anak-anak asuh di panti.

Mulai dari seorang anak SMP dan SD yang nekat kabur dari rumah hanya untuk masuk Islam. Belum lagi kisah seorang remaja yang mengambil keputusan untuk tidak diakui keluarganya karena telah bersyahadat. Kisah seorang perempuan yang mempertahankan untuk tetap masuk Islam setelah mendapat kebenaran dan ketenangan hati yang dicari bertahun-tahun.

Dan masih banyak lagi.

Terkadang, nikmat hidup berislam dan beribadah dengan nyaman membuat kita terlena dalam banyak hal. Sikap kurang bersyukur, malas-malasan, atau malah bermaksiat.

Saya tidak akan menceritakan secara detail kondisi panti beserta retorika lingkungan di sekitarnya.

Berat, saya tidak akan sanggup.
Maka hari itu menjadi hari yang ‘menampar’ saya untuk terus berpikir dengan nikmat yang Allah beri.

Nikmat berislam dengan lingkungan yang baik. Wallahu’alam.

Seusai menyelesaikan semua urusan di panti ini, saya bergegas menuju panti sosial, Panti Hafara.

Begitukah Cinta Menyiksa Kita?

Kalimat di atas agaknya menjadi layak untuk  judul  kisah saya di Panti Hafara.

Waktu yang dibutuhkan dari Panti Muallaf ke Panti Hafara selama 1 jam 5 menit, via maps.

Namun karena saya belum mengetahui lokasi panti tersebut, maka butuh hampir 2 jam untuk tiba di sana.

Kondisi jalanan yang tidak bagus, hujan deras yang mengguyur, serta penglihatan yang mulai kabur menjadi sedikit memperlambat jalan saya.

Lokasi panti yang berada di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul ini membuat saya sedikit kebingungan di jalan. Selain karena ada begitu banyak persimpangan, hutan jati yang saya lewati juga membuat romansa khawatir muncul kembali.

Saya tiba ketika waktu menunjukkan pukul 20.34 WIB.

Panti ini masih dalam tahap renovasi.
Saya bergegas memarkirkan motor, membuka jas hujan, dan menuju ruang utama.

Seorang bapak menyambut saya ramah, beliau kemudian mempersilahkan masuk.

Di ruang utama ini, saya menyerahkan uang santunan dari RZIS sembari mengisi beberapa dokumen.

Si Bapak juga turut ikut mengisi presensi dan dokumen lain.

Di sebelah saya persis, seorang perempuan muda terbaring menatap kosong. Usianya mungkin 20 tahunan.

Saya menatap si Mbak lamat-lamat.

Si Mbak mengucap bait-bait kalimat dengan logat melayu yang kental.

Saya tebak, Si Mbak berasal dari Sumatera.

Hah? Sumatera?

Si Bapak ketua panti menangkap momen ketika saya memperhatikan si Mbak.

“Mbak nya baru diantar orangtuanya Mbak, SakingSumatera,” si Bapak memulai pembicaraan.

Tebakan saya benar.

Em.. Mbaknya kenapa nggih, Pak?” saya mulai penasaran.

“Mbak nya depresi, Mbak. Kata orangtuanya si Mbak ini pacaran sudah lama, merencanakan pernikahan  tapi ndak jadi, terus jadi begini.” Si Bapak menjelaskan.

Saya mengangguk pelan.

Betapa cinta mampu mengubah hidup seseorang dengan teramat kejam.

Setelah menyelesaikan urusan saya dengan Si Bapak. Saya meminta izin untuk melihat sekeliling.

Panti ini tidak begitu besar, mungkin karena proses renovasi yang belum selesai. Mereka yang berada di panti ini adalah yang memiliki permasalahan jiwa seperti depresi atau gangguan jiwa.

Panti ini juga dikenal sebagai panti rehabilitasi. Maka tidak aneh ketika saya mendapati mereka sedang dibina dengan kegiatan keagamaan.
Saya kembali menuju si Mbak, sesekali memerhatikan dan menerjemahkan kalimat-kalimat dari mulutnya.

Bapak awak kat mane?” (Bapakku dimana?) si Mbak berbicara ke saya.

Saya agak terkejut dan menoleh ke arah lain, mencari si Bapak.

Si Mbak mengulangi kalimatnya. “Bapak awak kat mane?”

Saya lantas menoleh dan mencoba menjawab “Bapak Akak dah pegi balek kat Sumatera” (Bapak kakak sudah pulang ke Sumatera). Saya menjawab ragu dengan perasaan yang mulai campur aduk.

Raut wajah si Mbak memerah, antara marah dan ingin menangis.

Ih, nggak bisalah kek gini” (Ih, tidak bisa begini). Si Mbak membalas lagi.

Si Mbak menatap saya yang buru-buru berdiri untuk pulang karena malam sudah mulai larut.

Kau nak pegi mane? Awak nak ikut!” (kamu mau pergi ke mana? Saya mau ikut!)

Saya lantas berlari ke depan panti, Si Mbak mengejar saya.

Saya panik dan bergegas menuju parkiran, mengambil motor.

Pengurus panti yang melihat kejadian ini lantas mengejar kami, butuh empat orang laki-laki dewasa dan dua orang perempuan muda untuk menyeret si Mbak ke kamarnya.

Saya melihat jeri. Sebuah pemandangan yang menyayat hati.

Awaakk nakkk ikuttt… hee… awakk naikk ikuttt..” si Mbak menjerit histeris.

Saya semakin panik, lantas menyalakan motor dan meminta izin ke Si Bapak untuk pulang.

Akhirnya, saya tiba di asrama ketika jam menunjukkan pukul 23.39 WIB. Perjalanan yang ditemani hujan deras, hati yang kuyup, dan tangan yang memutih karena dingin.

Sebuah memori sekelebat hadir di kepala saya.

Sekumpulan kisah saya ketika menyalurkan sembako ke tunanetra dan kaum dhuafa.
Mereka yang tinggal di pinggiran Kali Code dengan gubuk reot ukuran 4x5 meter yang di huni oleh tiga kepala keluarga,

Foto 3 : Di Paguyuban Bantul Utara

Foto  4: Penyaluran Bantuan  Tunanetra di Bantul.

Mereka yang hidup dalam kegamangan janji-janji masa depan

Saya beberapa kali terenyuh dengan kondisi sepasang suami istri tunanetra yang hidupnya penuh dengan rasa syukur. Saya pernah mencari keluarga tunanetra  ke daerah Banguntapan Bantul. Pencarian ini di maksudkan untuk menyalurkan sembako.
Betapa terkejutnya saya waktu itu ketika mendapati keluarga sederhana dengan ibu dan bapak penyandang tunanetra yang memiliki anak perempuan cantik jelita. Sungguh, teramat cantik.

Foto 5: Salah satu tunanetra di Paguyuban.

Beberapa bulan terakhir, tepatnya semenjak  23 Desember 2017 lalu. Saya bertugas untuk menyalurkan bantuan tunadaksa ke Tegalrejo, Sleman.
Paguyuban ini diketuai oleh Pak Cholid.

Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, bahwa ketimpangan masih menjadi jurang yang jelas di negeri ini.

Negeri yang di elu-elu kan sebagai negeri yang berlandaskan ekonomi pancasila, namun pada faktanya kapitalisme merebak dimana-mana.

Seusai saya menyelesaikan tugas tersebut, saya menangis sejadi-jadinya di masjid, jalan, dan asrama.

Foto 6: Pembagian santunan.
Bagaimana tidak, mereka yang hidup sebagai penyandang tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunagrahita, tunawisma, mendapat perlakuan yang menurut saya belum adil.

Sama sekali belum adill
Maka jadilah saya bertanya kesana-kemari, menghubungi teman terkait permasalahan ini, menangis  di salah satu kamar asrama yang  menghebohkan dan membuat salah satu srikandi menenangkan saya.

Baca Surat Abasa dan Tafsirnya, Re!

Ketika melihat mereka dengan ‘kekurangan’ yang mereka miliki, maka sudah seharusnya kita yang tidak memiliki ‘kekurangan’ itu harus terus bersyukur.
Maka saya pun harus terus terapi syukur

Foto 7: Bersama seluruh Peserta Paguyuban Tunadaksa Tegalrejo.

Seorang  bocah tunanetra yang terus bertanya.

Seorang bayi tunagrahita yang merengek.

Seorang nenek  dengan tubuh penuh kutil.

Seorang ibu dengan tubuh semampai (semester tak sampai).

Seorang bapak tunawicara dan tunarungu.

Seorang perempuan muda dengan syndrome down.

Seorang nenek dengan kaki satu dan tongkat bambu.

Seorang remaja dengan kaki lumpuh.

Seorang ibu dengan wajah sendu dan kalimat penuh haru.

Seorang bapak berkacamata yang berjuang untuk mereka.

Seorang perempuan muda, yang menangis menatap mereka.

Ketika saya menemukan suami-istri yang menikah tanpa melihat fisik pasangannya.

Ketika saya melihat mereka bahagia meski tak dapat menerka wajah.

Ketika saya menatap mereka yang hidup bahagia dengan sederhana dan cinta.

Sungguh, jika mencintai adalah tentang ‘rupa'
Lantas, bagaimana kamu mencintai Tuhanmu yang kamu tidak tahu ‘rupa’ nya.


Dear calon Imamku, Apakah engkau akan tetap mencintaiku jika aku ini buta, bisu, tuli, lumpuh, dan tubuh dipenuhi  kutil?

 

You Might Also Like

0 comments