Misi: Pemuda, Harusnya Engkau Tahu!
Adzan subuh berkumandang, Ibu Kinan membangunkan kami. Kemudian kami sholat berjama’ah, ma’suratan, beres-beres rumah, menyelesaikan dan mengirim tugas bulanan.
Jam menunjukkan pukul 09.16 WIB. Kinan diminta untuk menjemput ibu di pasar. Namun akhirnya, saya yang memutuskan untuk pergi ke sana.
Sebuah toko mungil, jaraknya 13 kilometer dari rumah. Saya memarkirkan motor, kemudian berjalan menuju baris terakhir, toko paling ujung, begitu instruksi dari Kinan.
“Lho,, kok Rere sampai sini, nduk?” Ibu Kinan terlihat kaget ketika saya tiba.
Yang ditanya malah cengengesan, senyum-senyum tidak jelas.
![]() |
| Foto 1: Kondisi pasar tradisional di Ambulu. |
“Nggih buk, saya yang jemput Ibu. Hehe. Tadi Kinan ada urusan. Oh iya Bu, tadi Kinan titip sesuatu. Saya juga berniat mencari sesuatu untuk dibawa ke Yogya” jelas saya sambil cengar-cengir.
Saya mengamati kondisi pasar, miris.
Pasar tradisional yang kini digempar oleh ekonomi feodal yang semakin meraksasa, belum lagi kaum kapital yang menguasai hampir di semua sektor. Ah, negeriku.
Alih-alih menghidupkan ekonomi rakyat, orang-orang dominan ‘kabur’ memilih mall-mall besar. biar elit, katanya.
Pasar tradisioanl yang tergerus peradaban dan teknologi, kritis hampir mati.
Saya pulang bersama Ibu Kinan yang membawa barang-barang di kanan-kiri.
“Rere kuat, Nak,?” tanya Ibu Kinan.
“Insya Allah Buk, saya pelan-pelan nggih,” jawab saya meyakinkan.
Ini adalah momen baper (bawa perasaan) kedua, setelah sekian lama tidak bertemu mamak saya. Hati saya menjadi lebih sensitif ketika berinteraksi dengan ibu-ibu.
Ah, jangankan bicara, melihat saja kadang saya bisa menangis.
Pernah suatu ketika saya melihat seorang anak perempuan bergandengan tangan dengan ibunya di pasar. Si anak terlihat bahagia bersama ibunya. Saya yang berada di seberang jalan meleleh, tak kuat menahan sesak dalam dada.
Cengeng.
Tapi sungguh, tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk sebuah perpisahan.
Maka Ibu Kinan sudah saya anggap ibu saya sendiri.
Sesampai di rumah, kami makan siang bersama. Kinan kemudian mempersiapkan barang bawaan, sedangkan saya merapikan tas dan oleh-oleh.
Bapak Kinan ikut membantu, sesekali menatap kami yang bersiap untuk pulang sore itu.
Bapak menuju belakang, Ibu membantu mengemas, Kinan masih beres-beres, saya mengecek barang bawaan, menulis beberapa hal, dan selesai.
Jam menunjukkan pukul 14.04 WIB. Saya dan Kinan bergegas menuju sebuah Kafe tempat berkumpul seluruh anggota Jember Youth Leader., Sesi kali ini adalah “Talkshow Inspiratif dan Gathering Jember Youth Leader”
Kafe ini terlihat ramah, ditambah sekumpulan siswa-siswi SMA dengan seragam hijau menyala yang memancarkan semangat.
Ah, saya bahagia.
Saya sebenarnya tak begitu suka disebut sebagai pembicara, karena sesi sharing agaknya lebih enak didengar. Saya menunggu MC mempersilahkan kami naik ke panggung. Pada sesi ini, dua pembicara dihadirkan untuk sesi talkshow dengan satu moderator.
Rekan saya yang juga memberi materi adalah Duta Wisata Jember, seorang Mahasiswa Universitas Negeri Jember. Pintar, berwibawa, dan prestatif.
Rekan saya yang juga memberi materi adalah Duta Wisata Jember, seorang Mahasiswa Universitas Negeri Jember. Pintar, berwibawa, dan prestatif.
Moderator saya seorang Mahasiswa Sastra Jawa Universitas Indonesia. Ah, saya merasa istimewa disandingkan dengan mereka.
Setelah pembukaan, perkenalan, kata sambutan, maka tibalah sesi saya.
Ya Allah, deg-degan.
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuuuhhhh….
“Senang sekali rasanya bertemu kalian hari ini, wajah yang memancarkan semangat, mata yang berbinar-binar, senyum yang merekah, dan harapan-harapan baru yang terpancar jelas,” saya membuka sesi.
“Saya jadi ingat masa SMA saya dulu, bedanya mungkin saya ‘dikurung’ di dalam asrama selama tiga tahun, dan hanya boleh pulang setahun sekali,” saya merapikan posisi.
“Saya bersyukur hari ini bertemu dengan kalian. Pemuda-pemudi hebat yang Insyaa Allah akan memajukan Indonesia. Aamiin Allahumma Aamiin.“
Saya menarik napas dalam, melihat mereka dengan mata yang membulat menatap saya.
I get it.
Sembari memberi jeda, saya mulai berpikir untuk mencairkan suasana
“Dek, ada yang kehujanan tadi?” saya mulai bercanda, “hayooooo angkat tangan,” sambil memberi senyum terbaik.
Beberapa di antara mereka mengangkat tangan, senyum-senyum.
“Ndak papa ya, memang butuh pengorbanan. karena yakinlah bahwa kami ke sini hanya hari ini. Jadi beruntunglah yang sudah hujan-hujanan. Dek, saya juga kehujanan kok,” kata saya sembari melihat wajah mereka yang senyam-senyum.
Saya menatap wajah mereka satu persatu.
“Hari ini, saya tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perasaan saya. Perjalanan saya dari Jogja-Tulungagung-Trenggalek-Tulungagung-Malang, membuat saya memahami banyak hal. Saya seharusnya pergi ke Surabaya, tetapi karena khawatir tidak cukup waktunya, maka saya memutuskan langsung ke sini,” saya menjelaskan.
“Emm… saya, saya sangat bahagia.”
Mereka bertepuk tangan. Saya terenyuh.
“Dek, saya mau tanya. Ada yang usianya masih 16 tahun?” saya bertanya dengan nada bersahabat.
Seorang laki-laki di pojok mengangkat tangan.
“Kalau yang usianya 17 tahun, ada?” tanya saya menggoda mereka.
Kali ini yang angkat tangan jumlahnya puluhan.
“Alhamdulillah, kita seumuraaan yaaaa, “ saya tertawa.
Mereka ikut tertawa, sinis, tidak terima.
Suasana mencair, saya menjadi tidak canggung.
“Dek, potensi Jember itu apa yaa? Ada yang mau membantu menjawab?” saya mengangkat tangan, mempraktikkan.
“Wisata mbak,” seorang lelaki menjawab kencang.
“Ada lagi?”
“Makanan mbak,” seorang siswi di pojok menjawab pasti.
“Ada lagi?”
“Hasil perkebunan mbak,” kata seorang siswa dengan nada datar.
“Hem…. Apa lagi?“
“Perkebunan, pertanian, hasil laut, budaya, ikan asin, buah-buahan, makanan, budaya, pantai, wisata, terasi, emm… emmm…. “ seorang anak menjawab detail sambil berhitung dengan jarinya.
“Saya mengangguk. Wah, Jember punya banyak potensi. Pertanyaannya, apa yang sudah kalian lakukan untuk Jember?” saya melempar pertanyaan serius.
Hening seketika.
“Ah, sebelum ke situ, saya mau bertanya yang lain dahulu,” saya mengalihkan.
“Dek, sebuah negara maju karena apa ya? Atau sejahtera karena apa?” saya bertanya.
“Sumber daya alamnya mbak,” jawab seorang anak dengan lantang.
“Kalau karena sumber daya alam, Singapura itu negara kecil yang sedikit sekali sumber daya alamnya jika dibandingkan dengan Indonesia. Tetapi, mengapa mereka maju?"
"Mengapa semua penerbangan internasional harus mendarat di sana? Kenapa ndak di Indonesia saja? Kita punya bandara yang bagus, yang besar. Tetapi, mengapa negara kita belum maju ketika sumber daya alamnya melimpah ruah?“ saya menjelaskan.
"Mengapa semua penerbangan internasional harus mendarat di sana? Kenapa ndak di Indonesia saja? Kita punya bandara yang bagus, yang besar. Tetapi, mengapa negara kita belum maju ketika sumber daya alamnya melimpah ruah?“ saya menjelaskan.
“Apalagi yang lebih penting daripada sumber daya alam?” saya bertanya lagi.
“Sumber daya manusia, mbak,” seorang anak menjawab.
“Naaaaaaaaahhhhhhhh……. Tepat sekali!” Kali ini nada saya berapi-api.
“Dek,Indonesia ini luas. Indonesia punya potensi yang besar. Tetapi, kalau manusia-manusia di dalamnya ndak ada yang peduli, kalau pemuda-pemudanya ndakpeduli, mau sampai kapanpun kita akan tetap begini-begini saja,” saya mulai menaikkan nada.
Static condition means death.
Sebuah kalimat saya lontarkan dengan tegas.
“Jember punya potensi, dan potensi Jember harus dimanfaatkan. Oleh siapa? Oleh kalian, pemuda-pemudi terbaiknya,” lanjut saya.
“Jember harus dibenahi, dibangun dan ditata bersama-sama,” saya menaikkan volume suara.
“Ada satu pertanyaan yang harus kalian tanamkan di dalam hati, ‘Kalau kalian meninggal nanti, kalian ingin dikenal sebagai sosok yang seperti apa?’” tambah saya.
“Yang baik? Yang kiprahnya banyak? Yang luas kontribusinya, kah? Atau yang seperti apa?”
Saya melihat kearah mereka. Saya menatap serius.
“Jember Youth Leader adalah wadah kalian, untuk meningkatkan kapasitas, integritas, dan imitasi diri. Di sini pula, kalian bersama-sama membangun Jember untuk menjadi lebih baik,” saya menambahkan dengan nada yang pas.
Mereka menatap saya. Mata mereka menunggu kalimat saya berikutnya.
“Dek, saya…. Bla bla bla,” saya menjelaskan panjang lebar.
Seusai sesi talkshow, saya turun dari panggung, menemui LO dan Kinan di ruang utama.
“Kin, apakah aku mengecewakanmu?” tanya saya memastikan.
Kinan yang sibuk dengan kameranya lantas menjawab dengan jempol yang diacungkan.
“ini LhoooBukk, LO kamu sampai terpukau,” Kinan melirik Mita yang senyam-senyum.
Saya menoleh ke arah Mita
“Sesuatu banget mbak ketemu kamu hari ini. Nanti kita foto bareng, ya” jawab Mita sambil terlihat antusias.
“Ah yaa.. siap siap,“ saya tambah bersemangat
Maka hari itu, di kala momen ngebut naik motor bersama Kinan, tanpa helm dan ditemani hujan, saya benar-benar merasa bahagia.
Sebenar-benarnya bahagia.
Sepanjang jalan, saya menatap lukisan merah bata yang menyala-nyala. Desiran angin yang membuat saya betah berlama-lama di kota ini.
Tiga hari dua malam yang istimewa. Saya harus belajar banyak dari Kinan, pemudi yang peduli dengan daerahnya, membangun dan merintis sekuat tenaga, bahkan mengorbankan uang beasiswa untuk komunitasnya. Amazing.
Hem… keinginan extendliburan untuk menyebrang ke Bali harus saya urungkan. Jogja merindukanmu, Re.
Waktunya pulang!




0 comments