Part 1: Sekolah Calon Ibu


Hei Yamko rambe yamkoo..

Aronawa kombe.

Heii yamko rambe yamko…

Alunan merdu  lagu daerah Papua yang diiringi dengan alat musik dari barang-barang bekas mengalihkan perhatian saya. Baru memasuki gerbang utama sekolah ini, saya sudah mencium aroma kenyamanan yang ditawarkan sipemilik.

Sekolah Islam Daar Al Hakim (SIDAH)

Foto 1: Anak-anak dan guru yang sedang memainkan alat musik.

 Sekolah ini juga disebut sebagai sekolah alam. Ukurannya tidak begitu luas. Di bagian kanan dan kiri sekolah dibatasi oleh pagar yang dihiasi oleh berbagai gambar. Sekolah ini bernuansa alam dengan pepohonan dan gazebo yang terbuat dari bambu. Ukuran sekolah ini mungkin hanya 25x10 meter.

Nyaman. Damai. Tentram.

Hari itu adalah sesi berkunjung ke Bunda Wening, seorang konsultan, pembicara, trainer, dan motivator. Beliau merupakan seorang lulusan S2 dari salah satu kampus di Yogyakarta. Namun, Bunda tidak pernah mau mencantumkan title di belakang namanya. Luar biasa.

Betapa Jogja selalu mengajarkan untuk selalu rendah hati.

Silahurahmi kami berjudul “Silahturahmi BerFaedah (SilFa) Calon Ibu Peradaban ke Bunda Wening.”

Adapaun personel yang ikut dalam agenda ini adalah Riyana, Dhany, Astuti, Annisa, Nadiyah, dan Saya.
Foto 2: Sesi diskusi bersama Bunda didalam ruangan.

 Kami memasuki sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Bangunan ini multifungsi, selain sebagai ruang kelas anak-anak, juga digunakan sebagai ruang diskusi.

Bunda Wening menyambut kami dengan ramah. Diskusi kami dimulai dengan membahas sekolah alam yang didirikan bunda.

“Sekolah yang baik adalah sekolah yang cocok untuk anak itu sendiri”

Bunda menjelaskan perihal pendidikan yang menjadi perhatian beliau. Kami mendengarkan dengan seksama.

Setelah sesi pembukaan selesai, Bunda Wening melanjutkan ke pembahasan mengenai kelas pranikah dan persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan yang akan menempuh pernikahan.

Bunda Wening kemudian meminta kami untuk memperkenalkan diri satu persatu.

“Sebutkan nama, asal, kuliah jurusan apa, angkatan berapa, dan akan nikah kapan”

Kami mulai melihat satu sama lain. Malu-malu.

“Saya Dhany Bun, asal Purwokerto, Kehutanan 2014, nikahnya Insyaa Allah 2019” Dhany menjawab dengan nada lembut.

“Sudah ada jodohnya?” Bunda bertanya ke Dhany.

“Belum Bun” Dhany menjawab singkat.

Bunda menggangguk. Sementara kami yang lain senyum-senyum tidak jelas.

“Saya Astuti Bun, asalnya Kulon Progo, Ilmu komputer 2014, Menikahnya 2020 Insyaa Allah” Astuti memperkenalkan diri sambil tersenyum simpul.

“Sudah ada jodohnya?” tanya Bunda serius.

“Sudah bun, tapi belum bertemu” Astuti menjawab yakin.

Kami bersorak. Antara tertawa  karena lucu dan sedih.

“Saya Riyana Bun, dari Gunung Kidul. Jurusan Gizi Kesehatan 2014, kalau saya menikahnya mungkin agak lama Bun. Kalau dikeluarga saya, prinsipnya adalah selesaikan dahulu urusan dengan orangtua, kemudian baru menikah. Saya mungkin usia 24, 25, atau 26 Bun” Riyana menjawab detail.

“Oh gitu, ya bagus, karena semua ada masanya” Bunda menjawab singkat.

Tibalah sesi saya.

“Saya Reni Anggraini Bun, panggilan sayang dari anak asrama Rere, Jurusan Peternakan, 2014. Kalau menikah mudah-mudahan akhir 2019 Bun” saya menjawab sambil menahan tawa.

“Nanti kalau sudah menikah mau panggilan sayang apa dari suami?” Bunda melempar senyum kearah saya.

Hayooo apaa Hayoo

Saya kikuk. “Em… apa ya Bun… Em.. terserah suami saya Bun” saya kehabisan kata-kata.

(Pengennya dipanggil Ummu Umarah, atau Ummu Aiman, haha)

“Sudah bertemu jodoh?” Bunda bertanya ke arah saya.

Yang ditanya malah diam karena tidak siap dengan pertanyaan lanjutan.

“Kalau yang mau kerumah sudah ada, Bun. Tetapi, belum nge-klik. Jadi ya mungkin belum jodoh. Mungkin jodoh yang sebenarnya akan kerumah 2019 nanti” Kali ini saya semakin ingin tertawa.

“Dengan orang yang sama atau beda? Berarti kamu sudah kenal dong, kalo perasaan kamu bilang belum nge-klik” Bunda bertanya lagi.

Ya kenal sedikit, Bun, belum sepenuhnya” saya menjawab lagi.

Karena sejujurnya, I need someone make me look up.

Saya berharap calon suami saya membaca tulisan ini.

Kemudian sesi perkenalan dilanjutkan ke Annisa dan Nadiyah.

Setelah sesi perkenalan selesai, kami memasuki sesi diskusi perihal pranikah dan apa-apa yang perlu  dibicarakan sebelum pernikahan.

“Nak, jangan cari yang cocok, karena mencari yang cocok itu susah, carilah yang menerima kekurangan” Bunda memulai dengan sebuah kalimat.

Kami diam, bertatapan, lantas mengambil alat tulis.

“Laki-laki itu mikirnya simpel, perempuan yang mikirnya rumit, detail, dan semua harus diungkapkan, dibicarakan. Ini salah satu bedanya laki-laki dan perempuan” Bunda melanjutkan lagi.

“Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika momen Pranikah”.

1    Self Discovery

          Parenting

         Komunikasi

       Financial Planning (Keuangan)

            Komunikasi Ranjang

Kita bahas satu-satu (secara kulitnya dahulu)

“Self Discovery. Ini adalah saat ketika kita menemukan diri kita sendiri. Potensi, kekurangan, kesukaan, hobi, dan lainnya. Kita tahu betul diri kita seperti apa”. Bunda kini melihat kami satu-persatu.


“Apakah kita suka jalan-jalan, suka demo, suka nulis, baca buku, atau suka apa?” bunda melempar sebuah pertanyaan.

“Selanjutnya, Parenting. Ini sering kali di salah artikan.

Parenting itu tidak hanya urusan perempuan. Pihak laki-laki juga harus turut ambil bagian. Sering kali ditemui perbedaan dalam mendidik anak, hal-hal yang seperti inilah yang harus dikomunikasikan dengan baik, tentunya sebelum menikah” Nada Bunda lembut dan tegas.

“Di Al-Qur’an ada 17 ayat yang menerangkan dialog antara anak dan orangtua”

Silahkan cek Surah Lukman.

“Kelak, ketika Allah bertanya, Anak kamu ini diajari apa? Bagaimana kamu merawat dia? Apakah kamu sudah mengajari dengan baik dan benar?” Bunda mengatur nafas.

“Kamu mau jawab apa? “

Kami saling lirik, berpikir.

“Poin Komunikasi, ini berhubungan dengan self discovery tadi.”

“Yang keempat, keuangan. Hal ini penting dibahas sebelum menikah.  Apakah suami bekerja atau tidak? Apakah istri bekerja atau tidak? Gaji suami yang diberikan ke istri berapa? Ke orangtua suami berapa? Lihat slip gajinya kalau perlu” Bunda melanjutkan dengan detail.

Kami mengangguk.

“Semisal, yahh 2 tahun awal istri bantu kerja suami, atau bagaimana kesepakatannya. Jika istri bekerja, uangnya untuk istri saja atau bagaimana? Ah ya, tolong bedakan uang istri dan uang keluarga. Uang istri itu untuk keperluan istri, perawatan, pakaian, dan lainnya yang berhubungan dengan istri. Uang keluarga untuk keperluan keluarga” Bunda menambahkan dengan lebih rinci lagi.

Kami masih mendengarkan dengan seksama.

“Yang terakhir, komunikasi ranjang. Sering kali perselingkuhan terjadi karena hal ini. Komunikasi soal ranjang yang tidak baik memunculkan adanya pihak yang merasa tidak puas atau malah mencari yang lain” Nada Bunda tetap tenang dan meyakinkan.

“Nak, Persiapan sebelum menikah itu untuk mengajarkan cara mencintai secara cerdas, bukan mencintai secara buta”.

Sesi pembahasan kami tidak begitu mendetai dan dalam. Setiap poin yang diberikan bunda memiliki penjelasan lebih rinci bahkan disertai dengan praktik pada sesi berikutnya.

Foto 3: foto bersama Bunda di pelataran sekolah.
(kiri-kanan : Annisa, Nadiyah, Astuti, Bunda, Dhany, Saya, Riyana)

Apa yang saya tuliskan diatas hanya kulit dari  sesi “Sekolah Calon Ibu” ini. Saya menuliskan Part 1pada bagian judul dikarenakan masih ada diskusi lanjutan dari Bunda.

Ya, saya sendiri tidak pernah tau apakah kemudian saya akan dijemput oleh jodoh atau dijemput maut terlebih dahulu. Sungguh, tugas saya adalah mempersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Namun, saya setuju dengan Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan “Seandainya aku mengetahui bahwa kematian tinggal sepuluh hari lagi sementara aku memiliki kemampuan untuk menikah, maka pasti aku akan menikah. Karena aku tidak suka bertemu dengan Allah dalam kedaan membujang”

Kelak suatu hari, saya akan menulis surat cinta, “Dear Calon Imamku, dari Calon bidadarimu”

Saya harap teman-teman yang membaca dapat mengambil manfaatnya. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kesalahan pada tulisan saya.

Saya berdoa, semoga calon suami saya benar-benar membaca  tulisan ini.

 

You Might Also Like

0 comments