Part 3: Sekolah Calon Ibu (Parenting)



Sesi ini adalah sesi lanjutan dari Self Discovery. Seperti biasa, kelas Calon Ibu dilaksanakan pada hari selasa, dan kali ini di mulai pukul 10.45 WIB.

Sebelum memasuki materi, Bunda memberikan kami sedikit tambahan materi sebelumnya. Kemudian, Bunda memberi dua buah pertanyaan kepada kami.


        Kamu ingin menjadi Ibu yang seperti apa?

Kamu ingin mempunyai sosok Ayah bagi anak-anakmu yang seperti apa?

It was very nice questions.

Kami pun menulis jawaban di kertas kecil dalam waktu yang hanya 2 menit.  ( Fyi, saya belum menuliskan semuanya).

Saya ingin menjadi ibu yang rapi, yang punya jadwal 
tertata untuk anak-anak, disiplin, dan memahami anak dengan baik.

 Saya ingin menjadi ibu yang memasak tanpa penyedap rasa buatan.

Saya ingin setiap subuh anak-anak saya solat berjamaah.

Saya ingin menjadi ibu yang selalu mendongeng setiap sebelum
 tidur dengan berbagai kisah inspiratif, kisah Rasulullah.

Saya ingin menjadi ibu yang kalau anak saya menghafal Qur’an 
dan dia lupa ayatnya, saya bisa menyambungkan atau menjawab.

 Saya ingin menjadi ibu yang mengajari setiap pelajaran kepada anak.

Bagaimana dengan sosok ayah? Akan saya jabarkan di proposal, hehe.

Kemudian setelah mengumpulkan jawaban,
Bunda memulai dengan sebuah papan tulis kecil dan spidol di tangan kanan.

"Apa itu Parenting?”. Bunda menatap kami.

"Cara mendidik anak”.
"Cara menjadi orang tua”.
"Cara menjadi orang tua yang mendidik anak dengan baik”.
Kami mencoba menjawab.

“Jadi, parentingadalah pengasuhan orang dewasa yang dilakukan dengan cara tertentu dalam mendidik anak”. Bunda memberi pengertian.

Kami memerhatikan, dan mencatat di buku catatan.

“Paradigma yang harus diingat dalam parenting adalah ……

1.    Kompak

Ketika anak berusia 0-2 tahun, maka ayah, ibu, nenek, kakek, dan orang-oarang dewasa yang ada di sekitar anak tersebut harus kompak. Misalnya, si anak meminta mainan, ketika tidak maka semua kompak tidak. Jangan sampai, pola pengasuhan memberikan kesan yang berlawanan, si ayah bilang boleh sedangkan si ibu tidak.

Carilah suami yang bisa diajak diskusi terkait mengasuh anak, kalau bisa jadikan syarat. Yang perlu kalian ingat, adalah suatu tindakan tidak bijak ketika menyerahkan anak kepada orang tua kita (nenek dan kakek).

2.    Kepo.

Selama menjadi orangtua, teruslah mencari tahu. Dengan cara seperti apa? Membaca buku, melihat dari media apapun.

3.    Praktek.

Setiap ilmu yang sudah kita dapatkan, harus diimplementasikan. Ingat, dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadits.

Contohnya bagaimana?

Kalau kalian marah dengan anak kalian, apa yang akan kalian lakukan?

Marah juga? Bentak-bentak?

Ini, kembali ke Al-Qur’an dan Hadits.

Ketika marahnya sedang berdiri, maka duduklah. Ketika marah dalam kondisi duduk, maka berbaringlah. Kalau masih marah, maka wudhulah.

Kan, Indah ya?”.

Ingat, Islam is the way of Life.

Kami mengangguk, tanda paham.

Bunda kembali ke papan tulis, menuliskan tentang 'Pola Asuh'.

“Ada berapa pola Asuh?”

“3, Bun”.

“Ya, Benar. Apa saja?”

Kami saling lirik. Mengingat-ingat. Karena materi pola asuh anak sudah pernah di ajarkan di asrama ketika kajian dengan salah satu ustadz.

“Pola Asuh ada 3 cara, yang pertama otoriter, kedua permisif (mengabaikan atau memanjakan) dan yang terakhir adalah demokratis”.

Mari kita dengarkan penjelasan dari tiap pola asuh.

“Pertama, otoriter. Pola asuh ini lebih ke instruksi, verbalnya sedikit. Misalnya, kalau anak kebanyakan main, si ibu hanya melototi, nah verbalnya ndak banyak, instruksinya jelas”.

“Kedua, Permisif. Permisif ini terbagi dua, mengabaikan atau memanjakan. Mengabaikan lebih ke terserahlah anak saya mau gimana, atau lebih ke nanti juga sadar sendiri. Contohnya anaknya Iwan Fals.

“Selanjutnya memanjakan, nah ini apa-apa di turuti. Tapi, jangan salah ya, Mbak. Terkadang ada ibu yang sudah bagus mendidik anaknya, misalnya si anak ini menangis minta jajan, ibunya ndak memberi. Tapi, omongan tetangga yang membuat telinga ibunya panas. Halah cuma dua ribu kok pelit banget, halah sama anak sendiri kokbegitu, dan lain sebagainya. Akhirnya, si ibu tidak kuat, diturutilah kemauan anaknya”.

Kami masih diam.

“Hati- hati Mbak, ketika anak meminta sesuatu dan kita tidak memberi. Kemudian anak ngambek dan menangis, kadang-kadang, kita ini ndak tahan dengan tangisan anak, lalu diturutilah. Hanya supaya apa? Supaya diam tidak menangis lagi. Nah, anak itu merekam pola”.

Besok kalau aku mau sesuatu, aku nangis aja, biar dituruti sama ibu.

“Nah, ini hati-hati. Kalau anak-anak memanfaatkan dan menggunakan pola tersebut, orangtua bisa kewalahan”.

“Usia 0-8 tahun adalah usia emas. 0-15 tahun adalah usia pengasuhan yang intensif”.

Kami kembali mencatat.

“Pola asuh yang ketiga adalah demokratis, yaitu perpaduan antara otoriter dan permisif. Jadi, ada diskusi di antaranya”.

Apa bedanya pedagang kaki lima dan kontraktor? Nah, nge-treat anak-anak itu seperti kontraktor.

“Kalau ada anak yang menangis, jangan buru-buru disuruh berhenti. Kadang kita ini kalau ada orang menangis langsung diberi tisu, padahal sebaiknya tidak. Biarkan dia menangis sepuasnya. Nanti kalau sudah lega, dia akan cerita sendiri”.

Selanjutnya, Kedekatan dengan seorang anak.

0-2 tahun : Ibu

2-7 tahun : Ayah dan Ibu

7-11 tahun : Lawan jenis (kalau anaknya perempuan, maka dekat dengan ayah)

11 – 14 tahun : gender yang sama (kalau anaknya perempuan maka dekat dengan ibu)

“Ada yang menarik dengan kasus-kasus hamil diluar nikah di Gunung Kidul. Umumnya mereka adalah anak-anak usia sekolah yang pergaulannya melampaui ‘batas’. Bisa jadi, anak-anak perempuan ini digoda sedikit langsung luluh. Bisa jadi, mereka juga kurang kasih sayang dari orangtuanya. Padahal, kalau orangtua sudah memberikan pola asuh yang baik, maka anak tidak akan mudah digoyahkan. Misalnya, dikatain paling cantik dikelas, ya biasa saja, Ayah Ibuku bilang aku anak perempuan paling cantik di dunia. Yang seperti ini harus diperhatikan, pendidikan sex juga perlu untuk anak kita. Supaya apa? Supaya mereka paham”. Bunda menjelaskan dengan detail.

“Terkait pola asuh kepada anak, ketika memilih calon nanti. Tolong ditanyakan, apakah bersedia untuk mengurus anak bersama? Kalau tidak bersedia, cari yang lain saja, Mbak”.

Kami bersepakat.

“Ketika di dalam rumah, harus ada sosok figure. Laki-laki dan perempuan itu jelas perbedaannya. Laki-laki itu bagaimana? Adalah dia yang mengayomi, melindungi, menjaga, dan memberi rasa aman. Perempuan bagaimana? Adalah dia yang menyayangi, memberi rasa nyaman, bukan mendominasi apalagi menguasai”.

Kami tersenyum.

Ah… Srikandi..

“Ada yang perlu kalian ingat ketika kelak menjadi seorang istri dan ibu. Kalau suami visual, maka istri harus perhatikan penampilan. Coba tanya, Kamu suka aku pakai baju apa? Duster? Piama? Atau pakai yang seperti apa?. Kalau suami ternyata auditori, maka perhatikan nada suara, kalau bisa suara yang merdu, perhatikan juga kalimatnya. Kalau suami kinestetik, maka jangan bau, pakai kerudung yang baru, setelah masak sering-seringlah mandi”.

Setelah Bunda selesai menjabarkan, kami melanjutkan dengan sesi diskusi ringan.

Selalu ada insight baru, selalu ada cara mengonsep untuk membangun suatu peradaban yang besar, yang kuat, kokoh dan hebat.

Saya pikir, Peradaban yang saya sebutkan diatas terdiri atas sekumpulan orang yang telah mempersiapkan generasi terbaiknya. Sekumpulan orang ini tentu terdiri atas keluarga-keluarga kecil yang mendidik anak dengan baik.

Jiika peradaban yang besar ibarat sebuah bangunan besar dan kuat. Maka, keluarga adalah butiran pasir yang membentuk ‘bangunan’ tersebut.

Semoga, kelak saya menjadi butir pasir bagi perdaban itu. Karena sungguh, kita tidak pernah tau apakah maut atau jodoh yang menjemput terlebih dahulu. Tugas kita adalah mempersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Saya jadi ingat, beberapa waktu lalu ketika saya mendapatkan teguran keras dari paman. Saya berpikir kembali, masih ada hak-hak yang harus dipenuhi, hak orangtua, hak ummat, hak masyarakat.

 Maka, persoalan menikah tentu juga harus dipersiapkan.

Ilmunya di dapatkan, dan ini adalah ikhtiar untuk mempersiapkan sebaik-baiknya.

Bukankah laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik? Demikian pula sebaliknya.

Maka sungguh, tulisan saya tentang sekolah Calon Ibu, atau tentang menikah, jangan diartikan secara sempit bahwa saya ngebet nikah.

Malah sebaliknya, Jika hari ini (26 Februari 2018) ada seorang laki-laki yang mengajak saya untuk menikah saat ini juga, maka saya akan berkata tegas “Tidak”.

Saya belum siap. Saya benar-benar belum siap.

Saya sedang mempersiapkan, saya sedang menunaikan syarat-syarat menuju ke sana.

“Menikahi saya itu berat, maka semoga dia yang bersilahturahmi kerumah adalah yang benar-benar kuat”.

Maaf, ini bukan ajang baper atau kode-kodean. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin menjadi tegas atas keputusan saya, atas janji-janji masa depan saya.

Karena sungguh, laki-laki yang baik tentu akan berpikir berulang kali untuk mempersiapkan diri, tidak asal-asalan. Dan tentu, laki-laki yang keren adalah dia yang juga mempersiapkan, menyebutkan nama dalam bait-bait do’a.

Jadi, mana yang lebih baik? Menikahi orang yang menyebut nama kita dalam do’a atau orang yang namanya kita sebut dalam do’a?

Wallahu’alam.


Semoga bermanfaat.









Foto 1: Setelah selesai kelas.

 

You Might Also Like

0 comments