Part 2 : Sekolah Calon Ibu (Self Discovery)
*mengandung konten dewasa, bijaklah dalam membaca
“Srii… nanti berangkat bareng ya”
“Sri, kalian dimana? Aku nyusul dari kampus ya”
“Sri, sherloc dong, aduh paketan mau habis”
Sri… Srii… Sri…
Begitulah cuplikan chatdi grup yang kami beri nama “Sekumpulan Calon Ibu Peradaban”
Well,hari itu adalah sesi lanjutan dari ‘Sekolah Calon Ibu bersama Bunda Wening’.
Self Discovery adalah bagian pertama dari lima pilar dalam persiapan pernikahan, sudah saya tulis di blog saya yang sebelumnya.
Sesi ini di hadiri oleh kami berenam, Riyana, Nadiyah, Astuti, Dhany, Annisa, dan saya.
Maka siang itu, di kala mentari amat bersemangat menyinari bumi, kami duduk bersama bunda di ruang tamu yang syahdu.
Bunda memulai dengan beberapa pertanyaan ringan sebelum memasuki sesi self discovery ini.
“Nyasar ndak ?” Dan kami hanya senyam-senyum. Sedikit.
Kemudian, bunda meminta kami untuk menyiapkan alat tulis dan membagikan kertas kerja yang disediakan oleh Dhany.
So interesting.
I was very excited
Okeh, Kita mulai ya.
“Self Discovery adalah materi tentang mengetahui diri sendiri. Mulai dari perilaku, cara belajar, berinteraksi dengan orang lain, dan hal ini menjadi sesuatu yang menurun ke anak”.
Bunda membuka dengan menatap kami, lalu mengambil papan tulis kecil lengkap dengan spidolnya.
“Nah, sekarang kalian kerjakan assessment dulu ya” Bunda membagikan dua buah kertas pada kami.
Salah satu assessmentberisi cara belajar seseorang. Kertas ini terdiri atas lima pertanyaan di kolom pertama, sedangkan kolom kedua, tiga, dan empat adalah pilihan yang sesuai dengan cara belajar masing-masing.
Contoh :
1. Ketika mengoperasikan barang untuk pertama kalinya, saya memilih untuk …
a. Membaca instruksi
b. Mendengar atau meminta penjelasan
c. Coba-coba
Bunda memberi waktu beberapa menit untuk menjawab soal-soal tersebut. Kami hanya perlu memberi tanda silang atau mencetang pada bagian yang disediakan.
Honestly, kamu ndak perlu mikir banget untuk menjawab, because it’s from yourself.
“Kalau sudah, sekarang silahkan menjumlahkan jawaban kalian” Bunda mulai memperhatikan.
Kami saling lirik. Tak sabar menunggu penjelasan berikutnya.
“Okeh, jadi kolom pertama adalah tipe belajar visual, kolom kedua adalah tipe auditori, dan ketiga adalah kinestetik”. Bunda menjelaskan sembari menulis ke papan tulis.
“Siapa yang visual? Ayo angkat tangan!” Bunda bertanya pada kami.
Dhany mengangkat tangan.
“Siapa yang auditori?” Bunda bertanya lagi.
Nadiyah, Riyana, Astuti, dan Saya mengangkat tangan.
“yang kinestetik?” Bunda bertanya lagi.
Tidak ada.
“Oke Bunda jelasin ya. Pertama, Visual. Ini adalah orang-orang yang sensitif dengan warna, teliti dengan sesuatu, dan biasanya tulisannya bagus. Orang-orang visual gampang terdistrak dengan orang yang lewat di depan dia ketika belajar. Cara belajarnya biasanya pakai mind map”.
Kami mengangguk.
“Kedua, tipe auditori. Ini adalah orang yang suka ngobrol,berargumen, dan memiliki kekuatan verbal yang baik. Orang auditori biasanya tulisannya tipis dan rapi. Orang dengan tipe auditori, ketika ada pembicara yang sedang bicara, dia harus melihat orangnya, dan mereka amat peka dengan suara. Jadi, indahnya suara itu berpengaruh untuk mereka”
Kami mengangguk lagi, lantas membayangkan diri masing-masing.
“Yang terakhir, tipe kinestetik. Orang-orang ini umumnya menulis dengan cara ditekan, biasanya tulisannya jelek. Anak dengan tipe kinestetik biasanya sering dianggap bodoh di kelas. Mengapa demikian? Karena mereka tidak bisa diam, sering dikatain usil, dan karena dianggap tidak bisa diam, akhirnya di kelas sering tertinggal pelajaran.” Bunda menatap kami.
“Hal ini yang sering kali kita sama ratakan, bahwa sebenarnya tipe belajar setiap anak beda-beda. Tidak bisa disamakan caranya”.
Kalau begitu, dengan cara belajar yang berbeda, kemampuan yang berbeda, cara memahami ilmu yang berbeda, mengapa sistem pendidikan di Indonesia menyamaratakan cara belajar dengan duduk diam di kelas seperti robot?
Pertanyaan ini muncul seketika dalam benak saya.
Maka hari itu, saya berjanji akan membuat kurikulum pembelajaran untuk anak saya kelak. Bismillah.
“Ini adalah learning style, kemampuan menyerap informasi, dan hal ini berbeda-beda tiap orang”. Bunda melihat ke arah kami.
“Visual adalah dengan melihat, auditori dengan mendengar, dan kinestetik dengan gerakan, dan ini sifatnya genetik. Maka jangan paksa anak kalian supaya menulis dengan bagus, atau supaya belajar dengan cara A, karena setiap anak memiliki cara masing-masing.” Bunda mulai menaikkan nada.
“Kalau punya anak auditori, jangan pakai nada yang tidak enak, karena konten yang kita bicarakan tidak akan di dengar”.
“Kalau belajar, bisa pakai musik, it’s oke semisal ingin anaknya menjadi hafidz, bisa diperdengarkan setiap hari atau dengan kartu.” Bunda memberi penekanan pada kalimat ini.
Kami masih memperhatikan, Sesekali melirik ke arah yang lain.
“Tidak ada anak yang bodoh, bisa jadi dia tidak belajar sesuai dengan gaya dan keperluannya.”
Kami bersepakat.
Kemudian, Bagaimana cara mengetahui gaya belajar anak?
“Usia 0-11 tahun, pegang indikatornya. Usia 11 tahun ke atas menggunakan kuisioner untuk mengetahuinya”.
“Ada beberapa gelombang otak yang perlu kalian tahu, beta, alfa, teta, dan gama. Pada fase gelombang tertentu, kemampuan menyerap informasi juga di tentukan oleh gelombang ini. Nantinya, informasi yang di serap akan di simpan dalam memori otak manusia.”
Bunda kemudian menggambar gelombang yang dimaksud di papan tulis.
Gelombang otak ini memiliki peran dalam menyerap informasi.
Gelombang alfa, beta, teta, dan gama.
Beta ketika kondisi panik, marah, dan stress. Gelombang alfa ketika santai, rileks, konsentrasi, dan sadar. Gelombang teta ketika mau tidur, atau awal-awal tidur, tapi masih bisa dengar. Gelombang gama ketika tidur yang dalam.
"Informasi lebih gampang masuk pada gelombang alfa dan beta. Misalnya ketika mulai tertidur, biasanya mendengarkan sesuatu".
"Critical factor umum nya mulai ada pada usia 7-8 tahun. Menebal diusia 13 tahun".
"Perlu diingat bahwa golden age pada usia 0-8 tahun. Maka pada masa ini anak harus dijaga, anak diperhatikan".
Selanjutnya..
Gelombang otak ini memiliki peran dalam menyerap informasi.
Gelombang alfa, beta, teta, dan gama.
Beta ketika kondisi panik, marah, dan stress. Gelombang alfa ketika santai, rileks, konsentrasi, dan sadar. Gelombang teta ketika mau tidur, atau awal-awal tidur, tapi masih bisa dengar. Gelombang gama ketika tidur yang dalam.
"Informasi lebih gampang masuk pada gelombang alfa dan beta. Misalnya ketika mulai tertidur, biasanya mendengarkan sesuatu".
![]() |
| Gambar 1: Gelombang Otak (sumber : google.com) |
"Critical factor umum nya mulai ada pada usia 7-8 tahun. Menebal diusia 13 tahun".
"Perlu diingat bahwa golden age pada usia 0-8 tahun. Maka pada masa ini anak harus dijaga, anak diperhatikan".
Selanjutnya..
“Memori hanya bisa hilang jika amnesia, lansia, atau cedera parah pada bagian kepala”. Bunda kemudian menggambarkan sebuah lingkaran yang dibagi dua oleh sebuah garis.
“Ini adalah short time memory (memori jangka pendek), ini adalah long time memory (memori jangka panjang) dan yang berada di tengah adalah Critical Factor.
“Ketika seseorang di hipnotis, itu adalah fase ketika critical factor melemah, sehingga informasi langsung masuk ke alam bawah sadar. Padahal, critical factor berfungsi sebagai penyaring informasi, ia bertugas untuk menolak atau menerima”. Bunda menghentikan penjelasan sejenak.
Kami merapikan posisi duduk.
“Ini adalah pikiran sadar, dan ia memiliki pengaruh sebesar 12% pada perilaku. Ini adalah pikiran bawah sadar, dan ia memiliki pengaruh 88% pada kreativitas, habit (kebiasaan), dan blank memori (misal dalam kandungan).” Bunda menatap kami dalam.
“Blank memori itu ketika hamil, kalau ibunya sering menangis, anaknya akan merekam dan ikutan begitu, kalau ibunya suka marah-marah, maka anaknya jadi suka marah. Maka, jadilah easy going selama hamil. Yaaa… jadi Happy pregnant mother.” Bunda melempar senyum ke arah kami.
Yes, Happy pregnant mother.
Will you, Re? Bismillah.
Selanjutnya, masuk ke sesi Kepribadian.
Bunda meminta kami untuk melihat kertas assessmentkedua, tes kepribadian.
Wow, very nice session.
“Kepribadian seseorang itu terbentuk dari lingkungan, pengalaman, dan perjalanan hidup”. Bunda memulai dengan nada lembut.
“Kita perlu belajar arsetif, yaitu menyampaikan pikiran dan perasaan dengan positif. Lawannya adalah agresif.”
“Sekarang, lihat kertas kalian dan di jawab seperti tadi, boleh dicentang boleh disilang.”
Kami kemudian menjawab tes kepribadian selama lima menit.
Tak lama, adzan ashar berkumandang. Lima orang dari kami memohon izin untuk sholat, sementara saya dan Bunda yang sedang tidak sholat menunggu sambil berdiskusi ringan.
“Bun, gimana ya cara mengatasi kode-kode dari ikhwan?” saya memulai pertanyaan.
“Kode yang bagaimana, Mbak? Dan berapa banyak yang mengkode?” Bunda menatap saya.
“Kode yang menuju ke arah sana Bun, misalnya kapan boleh ke rumah, kapan nikah, dan kode-kode lainnya. Ada beberapa yang terdeteksi mengkode, Bun.” Saya menjawab dengan perasaan ragu.
“Dan kamu menanggapinya bagaimana?” Bunda bertanya lagi.
“Saya sebenernya ingin biasa saja Bun, saya ingin objektif, saya ingin berpikir ketika memilih”. Saya menjawab berdasarkan apa yang ada di pikiran saya.
“Kalau memang ada yang seperti itu, kamu harus mengutamakan logika, jangan pakai perasaan, percayalah bahwa perasaan itu bisa di kondisikan. Pakai logika ketika memilih, pertimbangannnya bagaimana. Ikhwan itu kalau bersedia di kompetisikan, itu ikhwan keren banget, dia bersedia jika kamu mengkompetisikan dengan yang lain. Karena apa? Karena kamu berhak memutuskan yang terbaik. Tugas laki-laki kan memilih.” Bunda menjelaskan dengan rinci.
Maka, besok lusa atau kapan saja, pakailah logikamu ketika memilih dia, wahai ukhti.
Dan yang terpenting, Minta pada Allah. Mintalah yang terbaik.
Kelima teman saya sudah selesai sholat, kemudian bergabung kembali ke ruang tengah. Kami memulai sesi tes kepribadian dengan perasaan lebih baik.
![]() |
| Foto 2: Lembar kerja kedua. |
“Sudah selesai? Sekarang jumlahkan setiap bagiannya”. Bunda memandangi kami yang mulai gerasah-gerusuh.
3-4-7-7.
“Tabel pertama, ini adalah tipe koleris, tabel kedua adalah tipe plegmatis, tabel ketiga adalah sanguinis, dan tabel terakhir adalah tipe melankolis”. Bunda membagi papan tulis dalam empat bagian.
Coba tebak saya tipe apa?
“Tipe koleris adalah orang yang biasanya ngeyel duluan, gengsinya tinggi, sosoknya pemimpin bagi yang lain, bossy, biasanya lapangannya bagus, dan improve-nya bagus.”
“Siapa yang koleris?”
Kami saling melirik. Tidak ada.
“Tipe plegmatis adalah mereka yang ngalahan, ngegrundel cuma ndak mau ribut, biasanya menghindari konfik. Misalnya, gara-gara handuk diletakin sembarangan, yasudahlah biarkan saja daripada ribut. Nah, kalau ketumpuk bisa jadi bom waktu. Tipe plegmatis ini biasanya lama panas, nanti kalau sudah panas, dia akan lama panas-nya, istilahnya istiqomah.”
“Siapa yang plegmatis?”
Riyana dan Astuti mengangkat tangan.
“Tipe selanjutnya adalah sanguinis. Mereka adalah yang suka guyon, ceplas-ceplos, mudah panas, kalau diajak langsung ‘yes’, moody-an, suka di puji, dan ndak terlalu rapi”.
“siapa yang sanguinis?”
Nadiyah dan Dhany mengangkat tangan.
“Nanti kalau punya suami, di puji dulu baru di kritik ya”. Bunda tertawa ringan.
Kami tersenyum.
“yang terakhir melankolis, mereka ini baperan, kalau down butuh motivator, perfeksionis, bisanya suka dengan sesuatu yang fisiknya simetris, punya standar di setiap hal, pengatur keuangan yang baik, cocok jadi bendahara, kalau ada yang minta duit, biasanya dia detail, ditanya dulu untuk apa, berapa, kadang di tahan dulu,”
“Siapa yang melankolis?”
Maka sudah bisa ditebak siapa yang angkat tangan. Seketika, keempat teman saya melirik ke arah saya. Annisa belum hadir saat itu.
Saya mengangkat tangan sambil tersenyum lebar. “Saya, Bun”.
Bunda kemudian tersenyum pada kami, kemudian melanjutkan penjelasan.
“Kepribadian itu bisa diusahakan untuk berubah, kita bisa menaik-turunkan keempat kepribadian itu. Dalam suatu kondisi, kita bisa memilah untuk menggunakan yang mana. Ini bukan berarti kepribadian ganda.” Bunda mulai menjelaskan kembali.
Yang perlu diingat adalah, kita tidak boleh bangga dengan kepribadian yang kita miliki. Yang ini di noted.
Misalnya begini, “Saya kan plegmatis, saya ndak bisa begitu, saya kan melankolis, makanya saya begini”
“Misalnya dalam sebuah organisasi yang membutuhkan kepemimpinan, maka kolerisnya perlu di naikkan, ketika dalam diskusi maka melankolis nya di turunkan, ketika dengan teman, sanguinis nya di naikkan, dan dalam forum diskusi terbuka, plegmatisnya juga digunakan. Jika kita dapat memanajemen diri dengan baik, maka kita berada pada titik Personal Mastery.” Bunda menatap kami kembali.
“Sekarang Bunda mau tanya, misal ada A dan B. A ini menyakiti B, padahal dalam suatu kondisi si B tidak salah. Maka, siapa yang harusnya sedih? Siapa yang hatinya sakit?” Bunda menatap serius.
Kami melirik.
“B, Bun?”
“Harusnya B yang sakit hati, karena dia disakiti, Bun.”
“A, Bun, kan B ndak salah.”
“Emmm… B? A?”
“B tidak bersalah sama sekali, dan A membenci atau menyakiti B. Maka cobalah untuk berpikir berbeda. Cobalah untuk tidak menganggap diri kita sebagai korban dari suatu hal. Dalam konteks A dan B ini, yang hatinya sakit adalah si A. Coba lihat, B tidak salah tapi di benci, nah A ini kan hatinya sedang tidak baik-baik saja”.
Bunda menghela nafas.
“Cobalah untuk mengasihani orang lain, ucapkan terima kasih ketika disakitin, dan tentu rasa sakit yang berulang-ulang akan membuat kita terbiasa”.
Kita harus segera mencari hikmah positif. Ubah sudut pandang.
Selanjutnya, kita akan belajar perbedaan laki-laki dan perempuan.
Bunda mulai menggambar otak dua buah dan dipisahkan oleh sebuah garis, otak laki-laki dan perempuan.
“Secara fisik, perempuan dan laki-laki memilki perbedaan yang cukup jelas, misalnya ketika olahraga, tubuh laki-laki akan membentuk otot yang berbeda dengan perempuan.
![]() | ||
| Gambar 2. Perbedaan Otak Laki-laki dan Perempuan (sumber www.google.com) |
![]() |
| Gambar 3. Perbedaan Otak Laki-laki dan Perempuan (www.google.com) |
![]() |
| Foto 3: Gambar otak yang saya tulis. |
“Otak perempuan terdiri atas bagian shopping, talks, iron, sportdan sex (yang digambar Bunda). Ketika perempuan stress maka dia akan shopping. Ini adalah cara melepas hormone stress. Kebutuhan perempuan lainnya ialah aman secara finansial, kasih sayang non sexual,didengarkan, dan keintiman). Sex ada, tapi dia kecil di bagian sini.” Bunda menjelaskan sembari menulis di papan tulis.
“Otak laki-laki terdiri atas bagian sport dan sex (dominan) dan sisanya adalah bagian lain. Laki-laki itu butuh olahraga rutin, itu mengapa laki-laki suka banget olahraga. Kalau mereka lelah, stress, maka melepasnya dengan sex. Kebutuhan laki-laki itu di hargai, sex rutin, dan keintiman. Laki-laki itu harus dipenuhi dulu keperluannya”.
Jadi, kalau kalian minta sesuatu ke suami, caranya bagaimana?
setelah melihat penjelasan ini
setelah melihat penjelasan ini
Suasana menjadi hening.
Kami saling lirik, dan akhirnya memberanikan diri menjawab pertanyaan Bunda.
Oke, I know what is inside man’s brain now
“Ah ya, laki-laki itu lebih ke non verbal, kalau bicara mungkin hanya sekitar 15000 kata. Laki-laki itu simpel, single tasking, dan kemampuan mendengarnya tidak seperti perempuan.”
Kami kembali fokus dengan buku catatan dan terus mencatat setiap perkataan bunda.
“Perempuan itu verbal, kalau bicara bisa sampai 25000 kata. Perempuan itu rumit dan detail, multi tasking, dan ingin didengarkan.”
Bukankah itu adalah sebuah keseimbangan yang di ciptakan tidak hanya untuk saling melengkapi, tapi juga saling menyempurnakan.
Masyaa Allah.
“Laki-laki itu sangat butuh di hargai. Terkadang kita sebagai seorang perempuan terkesan wonder, tangguh, kuat, bisa apa saja. Hal yang begini yang perlu di koreksi.”
Kami saling lirik untuk yang kesekian kali. Srikandi?
“Banyak suami yang mencari selingkuhan hanya karena kurang dihargai lhombak.”
Kemudian Bunda memberikan sedikit cerita yang pernah Bunda temukan di lapangan.
“Pernah dengar puber kedua? Sebenarnya itu tidak ada. Seolah-olah laki-laki itu punya fase puber kedua yang dia masih semangat sedangkan perempuan sudah biasa saja. Itu sebenarnya bukan laki-laki yang punya semangat baru. Namun semangat perempuan yang turun, jadi terkesan ada puber kedua pada laki-laki”.
Pertanyaannya, Jika sudah menikah nanti, bagaimana agar tetap semangat sex sampai tua?
Jawabannya : Nikmatilah!
Kalau laki-laki mau sex, dia harus paham bahwa perempuan harus dibuat bahagia dulu. Sejak pagi hatinya harus senang. Ini yang kadang tidak di ketahui.
Kami mengangguk.
Selama sesi kami lebih banyak mendengarkan dan sesekai tertawa kecil.
Bagi kami, Bunda selalu memberi banyak pelajaran yang kadang membuat terharu ketika perjalanan pulang.
Oke, sesi kali ini sampai di sini, kita lanjutkan sesi berikutnya dengan tema lanjutan.
Maka sore itu, kami pulang dengan perasaan bahagia membawa bekal masa depan. Wallahu’alam.








0 comments