Misi: Simbah, Maafkan cucumu!
Misi saya selanjutnya adalah mengunjungi semua keluarga besar yang ada di kota ini. Simbah, bude, pakde, simbah dari kakek, dan kelurga lainnya. Tugas terpenting saya adalah menulis semua alamat, memfoto rumah, dan meminta kontak yang bisa dihubungi sewaktu-waktu.
Sore itu, setelah membereskan semua barang bawaan, saya dan Pak Pangi pergi ke rumah simbah yang lain. Simbah yang saya kunjungi kali ini adalah Simbah Maelah
Simbah Maelah adalah adik simbah saya, Simbah Wasini.
Rumah Simbah Maelah tidak jauh dari rumah Pak Pangi. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana sekitar 20 menit.
Saya tiba di sebuah desa kecil di bagian selatan kota ini. Desa ini di kelilingi hamparan sawah yang menghijau, beberapa petak tanaman sayur, dan ternak-ternak yang di biarkan berkeliaran..
Eksotis.
Pak Pangi memarkirkan motor di halaman rumah Simbah Maelah. Rumah bercat putih dengan tanaman bayam yang tumbuh subur di lahan depan rumah menyita perhatian saya.
Saya melihat sekeliling.
Pak Pangi sudah masuk kerumah simbah.
![]() |
| Foto 1: Rumah Simbah Maelah dilihat dari depan. |
Pak Pangi sudah masuk kerumah simbah.
Di sisi kanan rumah terdapat tiga buah kolam buatan berisi ikan-ikan kecil. Di lahan depan berisi tanaman bayam yang juga di kelilingi daun kelor, pace, singkong, jagung, dan beberapa tanaman obat.
Wow, Complete.
Pak Pangi memanggil saya. “Nduk, sini masuk”
Yang dipanggil masih asyik mengubek-ubek kolam ikan.
You’re like a child.
Aura desa yang kental mengingatkan saya bahwa saya adalah putri desa nun jauh di pelosok sana.
Saya tegaskan lagi, ‘Pelosok’.
Saya berjalan pelan, carier saya terasa amat berat.
“Assalamualaikum,” saya mengucap salam sembari melihat ke dalam rumah.
“waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, mari masuk nduk,” simbah menjawab.
Saya tersenyum simpul.
Simbah berjalan menuju saya. Saya lantas menyambut dengan mengulurkan tangan, bersalaman. Kali ini tidak cipika cipiki.
Simbah menatap saya.
Saya mematung, menatap wajah simbah lekat-lekat.
Wajah simbah Maelah copy paste wajah Simbah Wasini.
Simbah menatap saya. Maka jadilah kami saling bertatapan beberapa detik.
“Kamu cucunya simbah Wasini?” Simbah Maelah memulai.
“Nggih, Mbah. Ibu saya anaknya Simbah Wasini yang nomor lima. Anak Simbah Wasini ada tujuh,” saya menjelaskan.
Simbah mengangguk. Kemudian memeluk saya sebentar, dan mengajak duduk.
“Niki Cucu Simbah Wasini saking Sumatera, Niki dianter Pamong Durenan, ke rumah kulo, Mbah. Lha si mbak muter-muter nang Desa Durenan, njuk dikirimiFoto KTP Bapak Kulo, Pak Toiran. Dadine di anter ke rumah kulo. Yo njuk kulo ajak ketemu simbah-simbah liane, bocah kok yoo… Masyaa Allah,” Pak Pangi menjelaskan panjang lebar.
Simbah Maelah mendengarkan. Lalu kembali menatap saya.
“Sampean sendirian nduk ke sini? Saking Sumatera?” Simbah melihat ke arah saya dengan tatapan serius dan bingung.
![]() |
| Foto 3: Pak Pangi dan Simbah Maelah sedang berbincang-bincang. |
“Sampean sendirian nduk ke sini? Saking Sumatera?” Simbah melihat ke arah saya dengan tatapan serius dan bingung.
“Mboten, Kulo kuliah di Jogja, Mbah” saya menjawab sebisa mungkin.
“Emm.. berangkat naik kereta api dari Jogja, Mbah” saya menambahkan lagi.
“Nggih, nggih.. kamu nginepsini nggih, nduk” simbah kini melihat saya dan melirik Pak Pangi.
Pak Pangi dan Simbah menunggu jawaban saya.
Saya diam dan berpikir.
“Nggih,” jawab saya kemudian.
Saya kemudian dipersilahkan memasukkan semua barang bawaan. Simbah Maelah pergi ke tetangga mengabarkan kedatangan saya. Setelah saya amati, tetangga simbah adalah anak beliau yang pertama.
Paklek Rokhani.
Waktu saya tidak banyak. Saya masih harus mengunjungi simbah yang lain.
Pak Pangi pamit pulang.
Saya di minta simbah Maelah untuk menunggu Simbah Kakung pulang.
Maka sore itu, adalah momen paling mengasyikkan bersama Paklek Rokhani. Kami tidak butuh waktu lama untuk menjadi akrab.
“Namamu siapa, nduk?” Paklek Rokhani memulai pembicaraan.
“Nama lengkapnya Reni Anggraini, Paklek. Kalau panggilan sayangnya, Rere.” Saya menjawab sambil tersenyum.
Paklek Rokhani tertawa.
“Re,,, kamu mau maem apa? Gurame mau ndak,?” Paklek menawarkan dengan senyum yang merona.
Saya menggangguk. Bersemangat.
Paklek Rokhani mengajak saya menangkap ikan gurame di belakang rumah.
Saya berjalan mengekor Paklek Rokhani.
![]() |
| Foto 4: Paklek Rokhani di pinggir kolam |
![]() |
| Foto 5: Paklek Rokhani membawa jaring ikan |
“Paklek, ini ikan lele? Gedeee bangeeeet… “ saya mulai megaduk-aduk kolam ukuran 2x1 meter berisi ikan lele yang besar-besar.
“Dagingnya ndak enak, kamu maem gurame saja. Lagian,itu ikan lelenya untuk bibit,” Paklek menjawab dengan nada takut saya meminta ikan lelenya.
“Bibit apa paklek? Ohhh… bibit ikan lele yang kecil-kecil di kolam depan tadi?” saya mulai berbinar-binar.
“Iya, itu ikan lelenya nanti dikawinkan, untuk satu kali peneluran bisa menghasilkan 90.000 sampai 110.000 telur,” Paklek menjawab lagi.
“Waaahhh…. ajarin paklek, ajarin cara mengawinkan ikan lele” saya mulai kegirangan.
“Gampang kok caranya, nanti paklek jelasin. Yuk sini kita nangkep ikan gurame dulu, Re,” paklek kini membawa jaring besar.
Area belakang rumah simbah terbilang cukup luas. Di sisi kiri, terdapat kolam ikan lele berdiameter kurang lebih tiga meter yang berisi puluhan ribu anak lele. Di samping kolam ikan ada beberapa kandang bebek, ayam, dan angsa. Bagian utara ada kolam berukuran 5x6 meter dengan sekat-sekat untuk menetaskan telur lele.
![]() |
| Foto 8: Kolam anakan lele |
Di bagian samping kandang lele ditumbuhi tanaman bayam. Sedangkan area sisanya di tanami beberapa pisang, singkong, jagung, dan tanaman obat.
“Paklek, Ini ikan gurame semua isinya?” saya melompat ke arah kolam yang cukup tinggi.
“Iya, ini panjang kolamnya 11x21 meter, isi ikan gurame 5000 ekor. Satu ekor itu bisa enam-tujuh ons, Re” paklek menjelaskan.
“Waaah… banyak ya, Paklek” saya mengamati.
Paklek Rokhani menangkap ikan dengan jaring yang dibawa. Jaring ini lebih mirip serokan ikan laga.
“Kok ndak ada yang kena ya, Re. Mungkin ikan nya pada tidur di dalem” Paklek mulai menggoda.
Saya masih menunggu di seberang kolam. Berharap.
“Wah Re, ikan nya ndak ada yang kena ini.. gimana yaa?” paklek terus menciduk ke dalam dan semakin dalam.
Saya masih diam. Antara ingin menyemangati atau menyudahi pemburuan ini.
“Mungkin belum rejeki, Paklek” saya mengikhlaskan.
Paklek masih terus menciduk isi kolam. Mulai dari bagian selatan, ke tenggara, timur, utara, sampai bagian timur lagi.
Menyerah.
“udah paklek, saya maem paketelur aja ndak papa” nada saya kali ini memelas.
Saya beranjak pergi dari kolam. kemudian mengamati ikan-ikan kecil di dalam kolam yang lain.
Waw, puluhan ribu.
“Re, ini dapet nih ikannya,” paklek berseru bahagia.
Saya menoleh.
“Yeaaaayyyyy……. Asyiikkk,, ikan gurame.” Saya kembali ceria.
Tiga ekor ikan gurame ukuran sedang tertangkap tak berdaya.
![]() |
| Foto 9: Ikan gurame hasil tangkapan paklek |
Seusai meletakkan ikan gurame ke dapur. Paklek Rokhani mengajak saya berkeliling melihat kolam yang berisi anak lele. Waktunya memberi mereka makan.
“Paklek, mengapa memilih jadi peternak lele?” saya membuka obrolan.
“Re, paklek itu pernah kerja di kantor A, terus resign, dan mutusinbudidaya lele. Lele itu punya potensi pasar yang lumayan. Ini paklek jual bibitnya. Nah, anakan lele ini di rawat temen paklek, dibesarin. Kalau sudah besar nanti dijual ke pasar. Kadang harga pasar kan naik turun. Jadi, paklek harus bisa belajar manajemen menghasilkan seberapa banyak bibitnya. Sejauh ini, Alhamdulillah.” Paklek menjelaskan dengan detail.
Perbincangan kami terus berlanjut membahas persawahan, budidaya bayam, cara mengawinkan ikan lele, belajar pangsa pasar ikan, sampai ke dunia paska kampus.
Very nice discussion.
Tak lama, Simbah Maelah memanggil saya.
“Re, sini nduk”
Simbah Kakung baru saja tiba. Usia beliau kira-kira 85 tahun. Kalau orang Jawa bilang, wes punjul.
Saya bersalaman dengan simbah. Menjabat tangan simbah dengan erat, lalu ke pipi kanan, pipi kiri, dan dahi saya.
“Cucunya Simbah Wasini dan Simbah Muslo,” Simbah Maelah menambahkan.
Simbah Kakung menatap saya dalam. Menarik saya, lalu memeluk erat.
Sayup-sayup saya mendengar suara isak tangis.
Simbah Kakung Menangis.
Saya masih dipeluk dalam waktu yang cukup lama. Perasaan haru, meleleh, dan bingung campur aduk di hati saya.
Bagimana mungkin seorang Rere membuat simbah-simbah menangis? Simbah Kakung pula.
“Emm… Mbah,” saya mulai angkat bicara.
Simbah Kakung diam. Beliau sepertinya amat terharu dengan hadirnya saya.
Simbah Kakung mengusap wajah. Menarik napas dalam-dalam.
“Ya Allah,,”simbah menatap saya, lalu tersenyum getir.
“Emm… Mbah,” kata saya lagi.
Simbah masih speechless. Demikian pula dengan saya.
Simbah masih belum bisa berkata-kata.
Simbah kemudian melepaskan pelukan, melambaikan tangan meminta izin untuk masuk, meninggalkan saya yang dirundung banyak pertanyaan.
Baiklah, mungkin simbah kaget bertemu bocah ‘bandel’ seperti saya.
Simbah Maelah bilang kalau keluarga besar di sini sudah lama merasani keluarga yang di Sumatera. Mereka bertanya-tanya mengapa komunikasi keluarga terputus sekian lama. Mereka juga bertanya-tanya perihal mengapa keluarga Sumatera tidak mencari keluarga yang di Jawa.
Wallahu’alam.
Setelah sekian lama ‘merasani’keluarga Sumatera, datanglah saya dengan keadaan yang tidak diduga-duga.
Saya diminta simbah untuk bersiap-siap. Simbah Kakung mengajak saya mengunjungi keluarga yang lain.
Saya dan Simbah Kakung berangkat menuju rumah Simbah Paijan. Simbah Paijan adalah adik Simbah Muslo, simbah saya.
Kami berangkat dengan motor beat putih 150 cc.
Simbah Kakung masih terlihat kuat di usianya yang memasuki senja. Simbah bahkan masih bisa pergi keluar kota bersama Simbah Maelah dengan mengendarai motor.
Simbah Kakung masih terlihat kuat di usianya yang memasuki senja. Simbah bahkan masih bisa pergi keluar kota bersama Simbah Maelah dengan mengendarai motor.
How strong he is.
Saya tiba di sebuah rumah kecil. Simbah Kakung memakirkan motor. Saya berjalan pelan di belakang simbah.
“Assalamualaikum,” Simbah Kakung mengucap salam sembari melihat kearah saya.
Saya menunggu di belakang Simbah.
“Waalaikumusssalam, monggo” suara seseorang terdengar parau.
Seorang simbah laki-laki berdiri dihadapan kami. Sedikit kaget melihat Simbah Kakung, kemudian tersenyum lebar.
Mereka berpelukan.
Simbah ini adalah Simbah Paijan. Adik kandung Simbah Muslo, simbah saya.
Wajah Simbah Paijan copy paste Simbah Muslo.
Mirip sekali.
Simbah Paijan dan Simbah Kakung berdialog dengan bahasa Jawa halus yang saya tidak bisa menerka artinya.
Saya hanya mengira bahwa mereka sedang membicarakan saya. Saya duduk manis mendengarkan, sesekali menggangguk, tersenyum, menjawab seadanya, dan terbatuk-batuk.
Simbah Paijan dan Simbah Kakung adalah perokok berat. Diskusi kedua simbah ini tak lengkap tanpa udud dan secangkir kopi panas.
Maka asap yang mengepul ke udara membuat saya tak bisa bernapas. Saya akhirnya pamit melihat-lihat area depan rumah Simbah Paijan.
Didepan, saya batuk sepuasnya. Menarik napas, dan terbatuk lagi.
Syarat nomor satu untuk menjadi suami saya adalah Tidak Merokok! Bersedia dan berjanji untuk tidak akan merokok selamanya.
Setelah beberapa menit, saya kembali menemui simbah. Sesi kunjungan sudah hampir selesai. Saya mengambil beberapa foto, menuliskan nomor HP, alamat, dan berpamitan.
Simbah Kakung mengambil motor. Melaju kearah saya. Saya naik perlahan, kemudian menoleh ke Simbah Paijan, berpamitan.
Simbah Kakung masih diam. Saya memiringkan wajah, mencoba memperhatikan simbah.
“Ya Allah, Alhamdulilah, Allhamdulillah, Subhanallah wabihamdihi.. “ simbah mengucap lirih.
Saya memerhatikan simbah lagi.
Simbah mengusap wajah, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.
Apakah simbah masih terharu?
Simbah berpamitan sekali lagi ke Simbah Paijan. Kami pulang dengan perasaan lebih baik dari sebelumnya.
Masih ada malam ini untuk menyelesaikan tugas di Tulungagung. Keluarga besar saya yang di Sumatera sejak siang terus menelepon saya.
Bapak dan Mamak, Bibi, Paman, Uwak pertama, kedua, ketiga, dan keempat, semuanya berlomba menghubungi saya.
Sore itu, seluruh jajaran keluarga bergantian menelepon.
“Saya Tini, Mbah, anak kedua Mbah Wasini” uwak terlihat antusias di seberang telepon. Setelah puas berbicara, keluarga yang lain bergantian menelepon.
Hemm…. Baiklah.
Ketika maghrib, Paklek Rokhani mengajak saya ke surau. Goretan merah bata di langit berpadu indah dengan hijaunya hamparan sawah.
Saya akan merindukan tempat ini.
Malam itu, setelah mengobrol banyak, menjawab seluruh panggilan telepon. Saya dan Mbak Ratna (menantu simbah) membuat silsilah keluarga besar.
Paklek Man menelepon ketika kami sedang menulis runtutan silsilah. Maka saya membiarkan Simbah Maelah, Simbah Kakung, Paklek Rokhani, Paklek Sobirin, dan Paklek Man berbicara via Video Call WA.
Sesekali mereka terkekeh, bicara serius, dan menangis haru bersama.
Saya dan Mbak Ratna berdiskusi berdua di ruang tengah. Kami membicarakan silsilah keluarga besar, agenda keluarga tiap tahun, perjalanan saya, kegiatan saya berikutnya, hingga ke arah menjadi istri dan ibu yang baik.
Mbak Ratna memiliki pengetahuan yang luas. Sejauh kami berbicara, saya menikmati dan kami saling memahami satu sama lain.
“Tiap tahun, keluarga besar kita selalu reuni akbar, Re” Mbak Ratna memulai.
“Gimana tuh, Mbak?” saya penasaran.
“Iya reuni akbar, biasanya lebaran ke tiga, empat, atau lima. Acaranya kumpul semua anggota keluarga. Pasang tenda besar, masak-masak, makan-makan, foto-foto, dan diskusi, biartetap saling terjaga silahturahminya.” Mbak Ratna menjelaskan detail.
“Sudah sejak kapan, Mbak?” saya bertanya lagi.
“Sepuluh tahun terakhir,” Mbak Ratna menjawab singkat.
“keluarga simbah saya yang ndak pernah hadir ya, Mbak” saya menyimpulkan.
Mbak Ratna mengangguk.
“Kamu, kalau lebaran tahun ini ndak pulang ke Langkat, main ke sini saja. Ikut reunian, mewakili keluarga Simbah Wasini.” Mbak Ratna meminta dengan senyum ramah.
“Siap Mbak, minta doa nggih mbak, Semoga lebaran ini kalau saya ke sini ndak ‘sendirian’ lagi” saya menjawab mantap.
Mbak Ratna mengangguk, lalu tersenyum.
Mbak Ratna menyerahkan kertas ukuran polio berisi silsilah keluarga. Kertas ini berisi jumlah keluarga yang akan ikut reunian tahun ini. Totalnya sebanyak 275 orang. Ini belum termasuk jika para cicit simbah sudah punya anak lagi.
Wah, keluarga yang besar sekali.
Malam itu, saya tidur setelah selesai mencatat seluruh data yang saya butuhkan. Simbah Maelah menemani saya.
Misi ini …..
Pagi harinya, seusai sholat subuh, ma’suratan, memberi pakan ikan, saya berkeliling ke halaman depan.
Paklek Sobirin sedang latihan fisik di halaman depan.
“Sini Re” Paklek mengajak latihan fisik.
Maka pagi itu, jadilah saya latihan fisik bersama paklek.
Lari dengan kaki jinjit sebanyak puluhan kali. Menendang dengan kaki kanan setinggi perut dengan acuan sebuah bangku. Kemudian di lanjutkan kaki kiri sembari mengatur napas. Setelah selesai dilanjutkan dengan push up setengah badan lima kali, lalu spit di tembok dengan kaki bergantian.
Lalu lari dan melompat, kemudian latihan menangkis dan di tutup dengan pendinginan.
Ah,,, rasanya remuk.
“Rere sudah tau jurus ini?” paklek bertanya sembari melihat saya yang sudah kelelahan.
Saya menggeleng.
“Ini jurus melumpuhkan total, intinya ada di bagian ini. Jurus ini harus dikuasai perempuan, apalagi kamu suka travelling.” Paklek menjelaskan sembari mencontohkan jurus tersebut.
Saya mengangguk lagi.
“Kalau sudah di tahap tinggi, kita bisa membuat kulit peka pada serangan. Ketika sedang tidur, tiba-tiba bahaya mengintai, gimana caranya supaya kulit kita bisa merasakan, dan badan kita sudah siap dengan serangan.”paklek menjelaskan sambil menunjukkan gerakan halus.
“kalau kamu sedang tidur di bus, dan ada yang berniat macem-macem ke kamu. Maka kulit kamu ini bisa merasakan dan siap dengan jurus yang kamu kuasai” paklek menambahkan.
Saya memerhatikan sengan serius.
Nice Exercise, Paklek.
Pagi itu, seusai latihan fisik, saya makan, bersih-bersih, dan membereskan seluruh barang bawaan.
Saya meminta seluruh keluarga Simbah berfoto di depan rumah. Kemudian saya berpamitan untuk berangkat ke Kediri.
Simbah Kakung tidak kuat menahan tangis ketika saya mulai menyeret carierdan naik ke motor.
Simbah, terima kasih untuk semua pelajaran hidup di desa ini.
Terima kasih telah menerima saya kembali.
Teruntuk Paklek, bahwa setiap momen tentu akan saya kenang, saya rekam dalam memori.
Teruntuk desa ini, aku akan kembali suatu hari nanti.
Simbah, I am sorry.














0 comments