Misi 3: Kediri, Kajian Munakahat Paling Asyik
Perjalanan saya ke Kediri memakan waktu 3 jam 22 menit. Saya berangkat dari Terminal Bus Tulungagung menuju Perempatan Papar, Kediri. Bus yang saya naiki mirip dengan bus ketika perjalanan saya dari Tulungagung ke Trenggalek. Didalamnya padat, sesak, overload, dan tanpa AC.
Jika kalian bertanya saya duduk di bagian mana? Maka jawaban nya tepat di samping pintu masuk bagian depan, persis seperti kernet bus. Mungkin menjadi beda karena saya akhwat memakai gamis, membawa carier, tas punggung di depan, dan ‘kucel’ persis seperti anak hilang.
But well, at that time I felt that I am the lucky human being. Bebas Mengembara!
Setiba di Papar, Abi dan Ummi menjemput saya bersama Mukni, Sister Rahma, dan Ocan. Tidak memakan waktu lama untuk sampai di rumah Abi karena jaraknya mungkin hanya 2 km dari tempat pemberhentian penumpang. Setelah sholat, beres-beres, dan makan sore, kami menikmati momen dengan diskusi santai di halaman belakang rumah Abi.
Menjelang maghrib, saya menuju balkon rumah dilantai dua, yang posisinya bersebelahan dengan Musholla-tempat sholat dirumah Abi.
Tata ruang yang elok, syahdunya sore di Kediri, heningnya hape saya (karena tidak ada sinyal) membuat romansa menikmati senja menjadi sempurna.
![]() |
| Foto 2: Balkon Rumah Abi. |
Bukan sesi galau, apalagi patah hati. Karenapun jika senja selalu diidentikkan dengan putus cinta, maka setiap kali menatap senja, harusnya kita tau pada siapa seharusnya kita jatuh cinta.
Saat saya di balkon, abi dan ummi ikut duduk di area balkon. Akhirnya, saya membuka percakapan sembari menunggu maghrib.
![]() |
| Foto 3: Abi Di halaman depan. |
“Abi, sebelumnya terimakasih sudah menyambut saya dengan baik, saya kesini sebenernya punya misi bi” tutur saya selembut putri Jawa.
“oh iya gimana Ren, kalau kesini itu anggep rumah sendiri, karena memang rumah Abi biasanya jadi tempat persinggahan alumni CTF jika mereka keluar kota” Abi menyambut hangat.
“Emm, (tersenyum) saya mau bilangterimakasih untuk setiap pengajaran, untuk setiap kata-kata Abi yang selalu memotivasi saya, dan bla bla” saya panjang bercerita.
Dialog santai Abi dan Ummi membuat saya merasa seperti keluarga sendiri.
Senja itu, ditutup mesra dengan sholat berjamaah dan ma’suratan.
Selepas maghrib, kami bersiap untuk ‘family time’ ke area bermain (read: area nongkrong) di dekat Jembatan Papar. Abi, Ummi, Saya, Mukni, Sister Rahma, Ocan, dan seorang bocah perempuan yg saya lupa namanya.
Abi memarkirkan mobil diujung jalan, kami berlarian girang ke pelataran, sementara Ummi memesan makanan. Malam itu, 2 buah tikar, bulan yang bersinar, dan secangkir teh panas menjadi teman diskusi asyik, sembari menunggu menu utama datang.
SisterRahma membuka pembicaraan, maka jadilah saya pendengar yang baik.
Tema diskusi : Menikah, tak sebercanda itu. (ini saya yang memberi judul, hehe)
Abi mulai bercerita kisah masa lalu saat meminang Ummi. Sebagai lulusan Gontor, Abi sebenernya ndak punya rencana langsung menikah setelah lulus. Orientasi Abi adalah mengabdikan diri ke keluarga dengan bekerja terlebih dahulu. Namun, Takdir selalu tiba pada saat yang tepat, Walllahu’alam.
Abi dipertemukan dengan Ummi yang waktu itu adalah ‘kembang permatanya’ asrama Putri Gontor, idaman ikhwan-ikhwan solih Gontor pada masa itu.
Bayangkan, ada enam orang ikhwan yang mau ‘serius’ dengan Ummi (ini yang ketahuan dan mengungkapkan). But Ummi says ‘NO’ dengan beberapa alasan.
Abi mencari tahu tentang Ummi lewat teman-temannya. Kemudian ketika Abi sudah yakin, Abi mengajak bicara ummi dan bertanya apakah boleh bersilahturahmi ke rumah untuk bertemu Bapaknya Ummi.
Ah ya, Ummi sebenarnya dari keluarga yang tergolong mampu, sedang Abi berasal dari keluarga yang sangat sederhana.
“Menikah itu tentang kesiapan mental” Abi memulai perbincangan.
Waktu Abi datang kerumah Ummi, Abi belum punya pekerjaan tetap, sedangkan Ummi sudah bekerja sebagai seorang guru. Abi datang dengan maksud meminang ummi.
“Kalau menunggu mapan, mau sampai kapan?” pertanyaan ini dilontarkan ke saya, sister Rahma, dan Mukni.
Memang, kondisi ekonomi yang bermula dari nol dan growing bersama akan menjadi momen indah yang tak terlupa, tapi banyak juga ikhwan diluar sana yang memilih untuk mapan dulu, lantas kemudian meminang pujaan hatinya. Oh Really.
“Dulu pas Abi tanya, Ummi siap ndak kalau besok pas udah nikah dorong gerobak bakso?, seandainya Ummi bilang ndak siap, Abi tinggalkan Ummi detik itu juga, tapi Alhamdulillah Ummi bilang Siap” jelas Abi yang membuat saya kagum.
Pada point ini, saya meyakini betul bahwa di samping laki-laki hebat selalu ada perempuan hebat, yang merelakan hidupnya untuk sama-sama berjuang, untuk sama-sama menuju-Nya.
Menikah itu butuh persiapan, tapi bukan berarti mempersulit. Diskusi diawal, pemaparan visi misi, kelak akan membangun keluarga seperti apa, kedepan akan melakukan apa saja, setelah menikah akan bagaimana, dan lain lainnya.
Pada tahap ini, perencanaan yang matang untuk urusan nafkah ke orangtua, ke anak istri, akan bagaimana dan seperti apa?
“Apakah kemudian perempuan itu boleh bekerja?” tanya Abi sambil melahap kerupuk.
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sensitif bagi saya, seorang akhwat yg suka pergerakan, travelling, mendaki gunung, apalagi ketika dihadapkan dengan ikhwan yang kadang ‘membatasi’ hal itu dan rada ngotot soal perempuan itu harus dirumah (saja).
“Perempuan itu kerja, kerja nya dirumah, memang siapa yang bilang perempuan itu tidak boleh kerja? Boleh! Kerja nya dirumah, 24 jam nonstop, mengurus suami, beres-beres, mengurus anak, mendidik anak, dan ini adalah pekerjaan untuk peradaban. Mendidik anak itu kan investasi masa depan, dan itu pekerjaan mulia untuk perempuan. Ketika semuanya beres, suami mengizinkan, maka silahkan jika mau ke taraf Community development” Abi menjelaskan dengan semangat dan nada yang pas.
Yes, Al-Ummu Madrasatul Ula!
Saat ini, Ummi memiliki usaha toko kelontong. Adapun Abi adalah Wakil Kepala SMA Unggulan Chairul Tanjung Foundation di Medan.
Abi bilang uang Ummi adalah uang Ummi dan uang Abi adalah uang keluarga.
Abi dan Ummi punya buku keuangan keluarga dan keuangan pribadi, detail, dan jelas.
Posisi Abi sebagai ‘future finansial planner’ tentu membuat Abi harus memikirkan perencanaan ketika pensiun nanti.
Ah ya, ditengah memahami konsep 5 pilar utama dalam pernikahan, pada tahap ini saya didewasakan secara pemahaman bahwa menikah bukan hanya soal ingin cepat-cepat karena teman sudah duluan menikah, atau karena gengsi-gengsian dianggap ‘ini lho udah laku’ atau anggapan-anggapan receh lainnya.
Menikah itu soal Niat. Ini jelas dalam Islam.
Memangnya saya sudah siap kalau nanti ada yg ke rumah, bertemu bapak, lalu meminang saya. Apakah saya siap jika harus membantahi argumen si pria yg pemberani itu? Apakah dia siap menerima kenyataan bahwa saya tidak akan menjanjikan kebahagiaan, malah sebaliknya. Saya menjanjikan sakit peluh, darah, tetesan air mata untuk ummat. Hal ini tentu bukan jalan yg mudah. Hanya orang-orang yang terseleksilah yang mungkin mau bersama mewakafkan dirinya untuk jalan ini.
Di tengah gempuran obsesi untuk bermegah-megahan, bergelimangan harta, berada pada comfort zone. Apalagi dengan akses teknologi yang mudah dan kadang membutakan.
Oh, apakah memang jalan perjuangan hanya untuk mereka yang mau berjuang dalam kesunyian?
Maka diskusi pada sesi Family Time yang dilengkapi dengan tahutek berakhir menyenangkan.
I will never forget it :D
Kami akhirnya pulang, dilanjutkan dengan melaksanakan sholat isya.
Saya membuka buku catatan, perjalanan saya masih panjang, dan misi saya disini belum selesai, saya masih punya satu pertanyaan lagi yang ingin saya ajukan ke Abi.
Maka, jadilah sesi II yang saya beri judul “Sejam Lebih dekat dengan Abi”
Begini kira-kira percakapan kami.
“Abi, apakah abi pernah merasakan quarter life crisis?” tanya saya memulai perbincangan.
“Dalam hal apa, Re?” Abi terlihat antusias.
“Misalnya bi, pada masa ini, kita lebih banyak self talk, setelah lulus ini akan kemana? Lanjut S2, Kerja, atau menikah?, kalau S2, dimana? Kalau kerja, kerja apa? kalau menikah, dengan siapa?”
“Abi ndak merasakan life crisissetelah lulus, karena orientasi Abi adalah kerja atau S2, krisis yang Abi alami adalah sebulan setelah menikah. Abi krisis dalam artian, Ummi sudah bekerja, sementara Abi belum punya pekerjaan tetap. Abi melamar kerja juga di tempat lain, padahal Abi di posisi sudah punya istri dan harus menafkahi keluarga. Itu, abi krisis nya di situ”
“Terkait life crisis yang saya maksud tadi Bi, menurut Abi bagaimana?”
Abi berpikir sejenak, lantas menjawab “Pakai Teori Kesempatan”.
“Ketika setelah lulus ada kesempatan S2, silahkan S2. Jika mendapat pekerjaan bagus ya kerja, diikhtiarkan juga. Kalau mau menikah, jika sudah ada calon yg solih/solihah, sudah direstui, maka menikah. Pakai teori kesempatan yang ada di depan mata”
Saya mengangguk setuju.
“Daaan… yang ada di depan kamu sekarang adalah selesaikan skripsimu”
Saya tersenyum, mengiyakan.
Saya sebenarnya juga berdiskusi soal perkembangan sekolah. Abi memberi perspektif baru yang sejujurnya melebarkan perspektif saya, membuat saya memandang lebih luas, memahami kemoderatan yang dimaksud Abi, yaitu pemahaman Islam yang ma’rifat.
So complete!
![]() |
| Foto 4: Momen sebelum Abi dan Ummi mengantar kami. (kiri-kanan : Mukni, Ummi, Ocan, Abi, Saya, Sister Rahma) |
Diskusi berfaedah dengan Abi menjadi pemanis sebelum tidur.
Paginya, saya harus bergegas menuju kota lainnya.
Hari itu, menjadi 21 jam yang takkan terlupa.





0 comments