Misi 2: Ikatan yang telah lama putus


Sambitan adalah daerah dengan sawah yang menghampar luas. Gugusan perbukitan berjajar rapi menghias sore. Anak-anak  berlarian di sisi jalan.  Warga yang ramah, dengan kultur yang kental. Sore yang syahdu dengan angin  segar yang menggoda jiwa.
Setelah bertanya dengan beberapa orang, sampailah saya dan Pak Pamong yang belakangan saya ketahui bernama Pak Susanto, di desa kecil ini.

Foto 1: Pak Pamong dan saya yang sedang dalam perjalanan menuju Desa Sambitan.
(saya duduk di belakang)

Kami tiba di Sambitan ketika jam menunjukkan pukul 15.23 WIB, Saya membuka HP, melihat foto  KTP yang dikirim paklek. Memegang erat-erat, lantas memanjatkan bait-bait doa.

Pak Pamong melirik saya, matanya berbicara. “Ayo, tanya mereka, Mbak”

Saya berjalan mengekori Pak Pamong. Harap-harap cemas.
Kami menuju rumah di pinggir jalan. Sekumpulan ibu-ibu sedang duduk-duduk di depan rumah.
“Permisi Ibu, maaf menggangu, saya ingin bertanya, Apakah di desa ini ada yang bernama Pak Toredjo, Bu?” nada saya lembut.
Mereka saling bertatapan. Berpikir.

“Toredjooo…. ? Toredjo…?” salah seorang dengan dahi mengernyit. Berpikir. Mengingat-ngingat.

Ndak ada e mbak” jawabnya setelah sekian detik.

Ibu-ibu yang lain menggeleng. Tidak tahu.

Oh nggih, matur suwun, Bu.. Marii…” jawab saya setelahnya.

Pak Pamong menatap saya. Yang ditatap malah diam. Lelah.

Pak Pamong melihat sekeliling, matanya terhenti pada sekumpulan bapak-bapak di sebuah toko kelontong.

Pak Pamong menatap saya. “Mbak… “ Pak Pamong mulai mengajak menuju sekumpulan bapak-bapak itu.
Saya mengangguk. Berjalan pelan di belakang Pak Pamong.

Pak Pamong menyapa seorang bapak, lantas berdialog dengan bahasa jawa halus.

Setelah beberapa saat, Pak Pamong memanggil saya. Beliau meminta saya menunjukkan Foto KTP yang di kirim paklek..

Saya memperlihatkan foto KTP. Kemudian si bapak  menerima, mendekatkan wajahnya, lantas menyipitkan mata.

Sedetik. Dua detik.

Ohhhh….. ini Pak Toiran, Bapaknya Pak Pangi, rumahnya ndak jauh dari sini. Mbaknya lurus saja, nanti di ujung sana sebelum mentok ada pertigaan, ambil kanan, luurrrruuuus terus, nah…..  rumahnya sebelah kanan jalan yg pagar hijau” seorang bapak di desa itu menjelaskan detail.

Saya melihat arah tangan si bapak.
Lalu mengangguk.

Oh, Nggih, Nggih, “ Jawab saya sekenanya.

Matur suwun nggih, Pak,” tambah saya lagi.

Toiran? Siapa Toiran? Simbah saya adalah simbah Toredjo..

Ahh……. Alllahu

Ya Allah, jika ini jalan-Mu mempertemukan kami, maka ridhoi. Kumohon.

Sungguh, hamba sudah tak sanggup.
Pak Susanto bergegas menuju mobil, sementara saya meringsek masuk.

Mungkin hanya butuh beberapa menit untuk sampai di rumah Pak Pangi. Namun, rasa capek dan ngantuk berat yang saya tahan-tahan akhirnya membuat saya terlelap di dalam mobil.

Wallahu’alam, saya selalu merasa ada yang menjaga saya. Sehingga saya tak mencemaskan apapun selama perjalanan.

Saya dan Pak Susanto tiba di sebuah rumah dengan ciri-ciri yang disebutkan bapak sebelumnya. Rumah dengan pagar hijau yang lengang, tak ada siapapun. Kami lantas bertanya ke tetangga depan rumah.

Foto 2: Mobil Pak Pamong yang di parkirkan di depan rumah Pak Pangi.


“Permisi mas, niki kulo meriki mawonbla bla bla” Pak Pamong menjelaskan panjang lebar dengan bahasa jawa halus.

Setelah berbincang menyampaikan maksud kedatangan saya, mas tetangga mempersilahkan kami masuk.

“Pak Pangi pergi sejak siang, ditunggu di sini saja, Mbak.” Mas tetangga memulai pembicaraan.

Saya mengangguk pelan. Pak Susanto duduk di seberang saya, melihat jam.

Saya menurunkan carrier, bersandar, kemudian bernafas dalam.

“Hemmmmmmhhhhhhhh…..”

Masih ada beberapa jam lagi untuk misi ini. Bismillah.
Mas Tetangga meninggalkan kami di ruang tamu. Kemudian kembali dengan teh panas, lalu mempersilahkan.

Saya masih bersandar, melepas penat hari ini, beristigfar, mengingat asrama, teman-teman srikandi, lantas tertidur untuk yang kesekian kali.

Selang beberapa menit, sebuah motor berhenti di depan rumah Pak Pangi.

Mas tetangga ke luar, berbicara dengan si ibu.

“Mbak, niki di rumah saya ada mbak mbak saking sumatera. Mencari Pak Pangi, sampean meriki mawon, mbak” mas tetangga menjelaskan ke seorang ibu yang berhenti di depan rumah tadi.

Saya terbangun ketika seorang ibu menghampiri kami.
Usianya kira-kira setengah abad lebih. Rambut dengan uban penuh. Bermata sayu, dan sedang dirundung pilu.

Si ibu melihat ke arah saya. Saya tersenyum.

“Maaf Bu, saya Rere, asal Langkat, Sumatera Utara.  Saya saat ini kuliah di Jogja. Emm… saya ke sini mau mencari Pak Pangi. Emm… ini, Bu,” saya menjelaskan sembari mengeluarkan HP, menunjukkan foto KTP.

Si ibu menerima foto KTP dengan wajah masih bingung.

“Ini foto KTP Pak Toredjo, beliau simbah saya, Bu. Maaf, saya ndak paham silsilah. Tetapi saya mau mencari keluarga besar saya yang terpisah bertahun-tahun.” Saya menjelaskan.

Si ibu mengernyitkan dahi, mendekatkan wajah, sesekali berkedip-kedip, memastikan.

Niki… Pak Toiran, Nggih, niki Bapak Toiran, NikiBapak saya Mbak, Bapak Mertua saya. Nggih, Benar ini bapak Toiran, Bapak saya ganti nama dari Toredjo menjadi Toiran,” si ibu menjelaskan dengan nada gemetar.

Eehh.. jadi Simbah Toredjo itu Simbah Toiran, Bu?” saya memastikan.

Nggih, Nggih, Yaaa Alllaaaahhh… Alllahu Akbarrr… Ya Alllah… “ si ibu mulai berkaca-kaca.

Saya terpaku. Sedetik, dua detik.

Kami saling bertatapan. Si Ibu lantas memeluk saya erat. Erat sekali.

Ya Allah, Aku Terharu.

Ya Allah, Aku Terenyuh. 

Ya Allah…. Kamu kok bisa sampai sini? Ya Allah, kamu keluarga sumatera yang di cari-cari selama ini, nduk. Allah, Allah,..” si ibu masih terus beristigfar.


Speecchelesss. I am really speecchleess.
Em… saya saya.. “ saya masih terharu dan sulit berkata-kata.

Niki si mbak muter-muter nang Desa Durenan mbak, di antar tukang becak ke rumah kulo, nyari keluarga katane, nyari alamat kesana-kemari, njuk mesakke, jadi kulo anterin,” Pak Pamong menjelaskan.

Si ibu melepaskan pelukan, beralih memegangi tangan saya.

Kok yo kendel tenan to nduk, “ (re: kok ya berani banget nak)

Yang ditanya malah diam, tersenyum kikuk. 

Matur suwun saget nggih, Pak. Niki keponakan kulo sampun dianterinYa Allah, nduk nduk. Mari, Ayuk kerumah. Mari, Pak,” si Ibu mengajak saya untuk bergegas menuju rumah beliau.

Saya hanya diam, persoalan silsilah keluarga menjadi hal yang sulit dimengerti. Bagaimana tidak, hidup dalam krisis identitas selama belasan tahun tidaklah mudah. Bahkan, rumah saya dibakar tahun 2000 silam karena persoalan suku. (Suatu hari saya akan cerita soal ini)

Namun hari ini, seperti mendapat harapan baru untuk menyatukan keluarga besar yang terpisah lama.

Begini, simbah saya dahulunya adalah transmigran dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera pada zaman penjajahan. Mereka hidup damai dan memulai peradaban baru di Pulau Sumatera. Maka, saya lahir dan tumbuh besar di Sumatera. Keluarga simbah yang di Pulau Jawa masih sering berkomunikasi, sampai akhirnya terputus bertahun-tahun yang lalu.

Selama belasan tahun, saya mengenal macam-macam simbah. Simbah dari bapak dan mamak, simbah seperjuangan, simbah sekapal, simbah senasib sepenangungan, dan simbah-simbah lainnya.

Saya dipersilahkan masuk di salah satu kamar.
Setelah menurunkan seluruh barang bawaan, saya bersih-bersih, sholat, dan beres-beres seadanya.

Beberapa menit kemudian Pak Pangi pulang. Istri Pak Pangi menceritakan kedatangan saya. Dengan raut wajah sedikit penasaran Pak Pangi menemui saya.

Saya menjelaskan ke Pak Pangi perihal kedatangan saya, kemudian menyerahkan HP, kembali menunjukkan foto KTP Pak Toredjo.

Pak Pangi menelisik  foto KTP tersebut.

Nggih, niki bapak saya. Nggih bener.” Pak Pangi menyambut hangat.

“Jadi, sampean cucu nya Mbah Wasini?” tanya Pak Pangi.

Nggih, Pak” jawab saya singkat.
Maka sore itu, ditemani kopi hangat, saya ikut duduk diruang tamu, lega sekali rasanya. Karena sore ini saya tidak harus segera ke Kediri.

Pak Pangi, Pak Susanto, Istri Pak Pangi, dan beberapa keluarga lain yang dihubungi oleh Pak Pangi ikut hadir.

Pak Pangi berbincang-bincang dengan Pak Susanto.

Saya tebak, mereka membicarakan seorang anak perempuan yang tidak jelas dari mana, mencari keluarga di Durenan bermodal alamat, sendirian, kucel, mengantuk, dan akhirnya sampai di Desa Sambitan dengan modal foto KTP usang.

Tetangga lainnya berdatangan kerumah, yang ternyata setelah saya analisa, mereka masih rumpun keluarga besar saya.

Saya ditanya ini itu, silsilah, asal, anak siapa, bersama siapa, kuliah dimana, juruan apa, semester berapa, naik apa kesini, sampai ke pertanyaan sudah menikah atau belum.

Ya Allah, ingin ku menjawab….

Menjelang magrib, Pak Susanto pamit pulang. Keluarga yang hadir juga ikut berpamitan. Saya mengantar mereka sampai ke depan rumah. Kemudian kembali ke ruang tamu.

Ya Allah, Lega.
Pak Pangi menyuruh saya untuk istirahat, saya lantas bersih-bersih, solat magrib, ma’suratan, tilawah beberapa halaman sembari menunggu isya dan akhirnya terlelap (lagi) dengan mukena yang masih rapi.

Allah, begitulah skenario-Mu, selalu indah. Selalu bisa membuatku merona bahagia.
               
Maka malam itu, mimpi indah adalah hadiah. Ketika peluh adalah wujud usahamu untuk terus beradu, maka bait doamu adalah samurai pelindung di setiap langkahmu.

Malam itu, ketika sebuah belaian halus mendarat dihati. Saya terbangun tepat tengah malam, belum sholat isya, belum makan, dan belum beres-beres.

Ah, Ketiduran (lagi).

Foto 3: Keluarga Pak Pangi

Pukul 04.35 WIB saya terbangun. Saya bergegas sholat subuh bersama bude dan sepupu saya. Setelah ma’suratan, berjalan-jalan sebentar, saya akhirnya membantu bude di dapur.

Secangkir teh panas dan olahan tahu yang saya lupa sebutannya apa menemani pagi saya.

Saya masih terharu. Sungguh.

Seusai sarapan, bude pamit untuk pergi ke rumah sakit. Anak bude yang pertama jatuh sakit sejak beberapa hari lalu.

Maka tersisa saya dan dua orang keponakan, Awa dan Viko.

Hal yang harus dilakukan berikutnya adalah bersih-bersih rumah, mencuci piring, dan memandikan kedua keponakan saya.

Biasanya saya tidak butuh waktu lama untuk dekat dengan anak-anak. Namun dua keponakan saya ini agaknya berbeda, mereka sedikit cuek.

Tentu saya tidak kehabisan cara. Saya mengambil “edelweiss list” dan kotak pensil yang penuh dengan cat warna.

Kelas Mewarnai.

Kalian tidak mungkin tidak tertarik. Haha.

Awa dan Viko mendekat, mulai tertarik ikut mencoret-coret diatas kertas.

Setelah sesi menggambar selesai, kami bermain ke sawah yang ada di belakang rumah.

Kami berfoto, bermain kejar-kejaran, dan pulang setelah lelah.


Foto 4: Saya, Awa, dan Viko menggambar bersama.

Foto 5: Awa dan Viko menunjukkan karya mereka.

Yes, saya berhasil!
Maka pagi itu adalah sepenggal kisah bersama dua orang ponakan dan keluarga Pak Pangi.

Saya masih punya misi berikutnya. Bismillah.

Pada langkah yang telah lama kurencanakan.

Memangnya apalagi yang indah selain rencana-Nya?

Pada setiap tempat yang kugambarkan.

Memangnya apalagi yang terbaik selain ridho-Nya?
 
Sambitan mengajarkan untuk bersabar. Bahwa Pertolongan Allah itu dekat dan nyata. Percayalah.

 

Sampai ketemu lagi, suatu hari nanti. 

 

 

You Might Also Like

0 comments