Misi 5: Begitulah Seharusnya Hidup
Tepat pukul 09.00 WIB, saya dan Ndin berangkat dari kosan Mukni. Kami berjalan dari kosan menuju pelataran depan Universitas Brawijaya untuk naik angkot ke Terminal Arjosari. Waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan ini kurang lebih satu jam.
Hari itu, udara Malang terasa lebih dingin. Hujan rintik-rintik menambah romansa sendu keberangkatan kami. Tak lama, angkot yang kami naiki mulai dipenuhi penumpang, sesak, berjejal, dan melenakan. Akhirnya, saya terlelap dalam mimpi bersama angkot butut itu.
Setiba di Terminal Arjosari, saya mengumpulkan nyawa, menarik nafas dalam, lantas menarik Ndin untuk bergegas menuju lokasi bus. Terminal ini terlihat lebih ramai, tertata rapi, dan bersih. Terminal membagi bus dengan tujuan masing-masing. Bus tujuan Jember sudah berjejer rapi. Penunjuk arah kelas eksekutif dan ekonomi, memalingkan perhatian saya.
Pertimbangan saya terhenti pada dua hal, nyaman atau murah. Maka untuk seorang muslimah traveler ala-ala, harusnya kalian bisa menebak saya memilih yang mana.
Saya berlari kecil menuju bus warna putih yang asapnya mengepul berwarna hitam pekat. Timbal!
Naik ke atas, berhitung, mengira-ngira kursi terbaik yang nyaman dan aman. Ada beberapa pemuda di dalam bus, jumlahnya mungkin belasan. Ada pula lima orang ibu-ibu yang duduk di bagian depan. Saya akhirnya memilih kursi bagian tengah, tepat di sebelah jendela. Saya memilih posisi ini karena kursi pada jajaran tengah kosong, dan terlihat lebih nyaman.
Perjalanan ini melewati beberapa kota di Jawa Timur, seperti Lawang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Selama perjalanan, saya melihat ke kanan dan ke kiri, merekam episode demi episode yang menyenangkan hati.
I am the lucky human being.
Ketika saya bebas pergi ke mana saja, memutuskan apa saja, dan menikmati pilihan-pilihan, maka pada titik itu saya merasa bebas.
Ahhh,,, rasanyaaaa… Luar Biasa!. Kalian harus coba.
Selama di bus, saya menghabiskan waktu dengan berpikir, membayangkan apa-apa yang akan saya lakukan, menyampaikan materi apa, dan mencoret ‘edelweiss list’ di buku harian saya.
Very Nice.
Sesekali saya melirik jam, melihat maps, membalas chat, dan selebihnya dihabiskan untuk tidur, lelap dalam buaian.
Saya tiba di Stasiun Tawangalun Jember pukul 15.38 WIB. Setiba di terminal, saya disambut manis oleh hujan gerimis. Duh, romantis.
Saya lantas mencari kontak, Kinanti.
“Beb, sudah sampai terminal, alhamdulillah, kamu di mana?” saya memulai.
“Oh iya beb, kamu di sebelah mananya? Aku di pinggir jalan ini,” suara Kinan terdengar parau.
“Emm.. aku di.. di.. tenda warna hijau, sek sek kamu di jalan mana to?” saya melihat sekeliling.
Saya melihat seorang perempuan melaimbaikan tangan, lantas saya bersorak. “Heiii bukkk…“saya kemudian menghampiri Kinan. Ucap salam, salaman tiga kali, Cipika-cipikilalu selfie untuk memberi kabar ke Srikandi.
Saya dijemput oleh keluarga Kinan.
Perjalanan dari Kota Jember ke rumah Kinan membutuhkan waktu sekitar satu jam. Rumah Kinan berada di bagian selatan Kota Jember, tepatnya di Kecamatan Ambulu. Jaraknya hanya 12 kilometer dari garis pantai.
Sepanjang jalan kami habiskan waktu untuk diskusi strategis. Mulai dari perjalanan saya, kegiatan Kinan, awal mula Jember Youth Leader berdiri, materi yang harus saya sampaikan, hingga persoalan pasangan hidup.
Paket Lengkap. Mungkin ini kata yang tepat untuk menggambarkan Kinan. cantik, duta muslimah, prestatif, kontribusinya nyata, solehah lagi.
Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah mempertemukan saya dengan orang-orang baik di Rumah Kepemimpinan.
Sesampai di rumah Kinan, saya bergegas menunaikan sholat, beres-beres, dan bersih-bersih diri. Kemudian ketika maghrib, kami sholat berjama’ah dilanjutkan ma’suratan.
Malam itu menjadi malam yang mungkin tak akan bisa dilupakan. Bagaimana tidak, sambal khas Kota Jember yang nikmat, ditemani ikan asin paling gurih, serta hangatnya sambutan keluarga Kinan ke saya membuat saya susah move on.
Maka, sudah bisa ditebak bahwa tidur saya akan lebih lelap hari itu.
Subuh pun tiba, kami sholat, ma’suratan, membaca buku, lantas tak sadar terlelap (lagi).
Waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB. Saya beranjak melihat sekeliling. Ibu Kinan sudah berangkat ke pasar. Saya kemudian mengambil sapu, beres-beres sedikit di ruang tengah, belakang, dan depan.
Pada momen ini, saya melihat ayah Kinan berangkat bersama adik Kinan yang nomor dua.
Hati saya terenyuh.
Selain karena saya jarang sekali bertemu bapak, memori bapak mengantar saya sekolah tiba-tiba hadir, menyergap. Saya ingat betul, hanya dua kali bapak mengantar sekolah,yaitu awal masuk SMP dan awal masuk asrama (SMA).
Ah, baper di pagi hari.
Hari itu, jadwal kami adalah menyelesaikan tugas bulanan, beres-beres rumah, dan explore Ambulu.
Selepas zuhur dan memastikan semua selesai, kami bergegas menuju pantai selatan. Payangan, Teluk Love.
![]() |
| Foto 1: Area pinggiran pantai. |
Pantai ini terlihat lengang, rumah warga tidak begitu padat. Hamparan tanah yang cukup luas dengan sampah berserakan menyita perhatian. Kami berjalan menyusuri lahan setapak, di kanan-kiri pantai bertengger kapal-kapal nelayan yang sedang diistirahatkan. Tak jauh dari lokasi tersebut, terdapat lahan pembuatan garam.
“Mbak, jangan lupa bawa minum nggih, karena di atas ndak ada Indomaret,” kata seorang penjaga pintu masuk sembari senyum-senyum ke arah saya.
Saya mengangguk. Aman.
Kami menaiki sebuah bukit yang relatif tinggi, berjalan memutar membentuk sudut 360o.
Terjal, berbatu, namun mempesona.
Kamera sudah ready, maka jadilah foto di sana-sini.
It’s awesome, dude.
Bukit ini persis berada pada bagian paling selatan. Di sayap kanan, ada sebuah bukit yang lebih kecil dengan pulau-pulau kecil mengelilingi. Di sayap kiri menjulang gagah batuan di pulau tak berpenghuni. Beautiful.
Kami berjalan menyusuri bukit. Suasana menjadi mencekam ketika memasuki area hutan yang gelap dan remang-remang. Kami mengamati sekitar, dedaunan yang tumbuh bergoyang, kupu-kupu yang bersinggahan, dan Goa Jepang yang gamang dalam kesunyian.
![]() |
| Foto 5: Do you see that 'Love' ? |
![]() |
| Foto 4: Pemandangan dilihat dari sisi kiri bukit. |
![]() |
| Foto 6: Menikmati sunset di pinggir pantai. |
Setelah lelah berkeliling, kami disuguhkan pemandangan eksotis pada bagian selatan bukit. Ilalang yang menari-nari, rumput hijau yang menggoda, bendera merah putih berkibar gagah menyapa kami dengan ramah.
“I Love NKRI”
Sore itu, kusampaikan pada angin yang berhembus.
Bahwa jiwaku mungkin saja pupus, tapi impian tak boleh putus.
Kala hati meradang, kebenaran adalah ranah tuk berjuang
Maka, pada sayup-sayup merdu sore itu, kusampaikan padamu bahwa aku terhanyut sendu.
Oh, Tuhan. Biarkan aku bahagia dalam rengkuhan-Mu.
Sore itu, setelah berlarian di bibir pantai, menaiki kapal, dan menulis di atas pasir, kami bergegas pulang. Selama perjalanan, hujan deras mengguyur, kami kuyup.
Ah, tapi apalagi yang paling membahagiakan?
Selain membiarkan tubuhmu kuyup di guyur hujan.
Bukankah, engkau mencintainya?
Maka jelas sudah Q.S Ar-Rahman 55:55
“Nikmat mana lagi yang kamu dustakan?”








0 comments