Misi 4: Malang, Dream dan Plan


Kami berangkat ketika jam menunjukkan pukul 08.07 WIB.  Saya, Mukni, dan Sister Rahma diantar oleh Abi dan Ummi ke Perempatan Papar. Sister Rahma menaiki bus tujuan Surabaya, sedangkan saya dan Mukni menuju Malang.
Bus yang saya naiki tidak jauh berbeda seperti ketika saya naik bus dari Terminal Tulungagung ke Trenggalek. Padat, sesak, dan overload. Hampir tidak ada spaceuntuk meregangkan kaki.
Mukni duduk di antara bangku penumpang, sedangkan saya di sebelah pintu, di samping kernet bus. Terhimpit.

Foto 1: Posisi Mukni di dalam bus (kerudung pink)

Bus ini membawa kami menuju Terminal Kediri. Waktu yang dibutuhkan kurang lebih satu jam.

Saya merasa gerah. Orang-orang di dalam bus ini berebut oksigen dan gencar mengeluarkan karbon dioksida. Selain itu, suasana terik di luar menambah panas yang semakin tidak karuan.

Masyaa Allah.

Kami tiba di Terminal Kediri, lantas mencari bus tercepat menuju Terminal Malang. Bus ini usianya mungkin hampir sama seperti sang sopir, Kira-kira tujuh windu.

Didalam bus sudah duduk seorang sopir yang ramah, dengan rambut beruban dan topi khas melekat di kepalanya.
Perjalanan menuju Malang ditempuh dengan kecepatan 30 km/jam. Selama perjalanan, hujan deras mengguyur. Maka sudah bisa dipastikan bahwa para penumpang akan mendapat guyuran air karena langit-langit bus bocor.
Nice experience.

Saya melihat jalanan yang terjal. Di sebelah kanan tebing menjulang, sementara di sebelah kiri jurang curam.
Harus ekstra hati-hati melewati jalur ini, pilihannya hanya dua, menabrak tebing atau masuk jurang.

Lailaahaillallah, Sungguh Allah Maha Menjaga.
Kami akhirnya sampai di Terminal  Malang. Kemudian bergegas menuju kosan Mukni, tidak jauh dari Universitas Negeri Malang.
Sesampai di kosan Mukni, kami bersih-bersih, makan, sholat, dan beres-beres. Kami menghabiskan malam dengan nonton film hingga tertidur pulas.

Hari pertama di Malang adalah hari yang melenakan. Selain karena udara yang dingin, suasana Malang membuat saya mager.
Agenda kami hari itu adalah senam di Car Free Day belanja, jajan di pasar, hingga ke Kampung warna-warni. Kami berangkat setelah Ndin tiba dari Surabaya ke kosan Mukni.
Maka hari itu, saya, Mukni, Ndin, dan Citra menghabiskan waktu untuk meng-eksplore Malang.
Kampung warna-warni lebih mirip Kali Code di Yogyakarta. Bedanya, kampung ini diapit oleh dua jalur strategis, yaitu jalur kendaraan beroda dan jalur kereta api. Kampung ini dihubungkan oleh sebuah sungai yang cukup lebar. Arus sungai memecah keheningan kampung metropolitan ini.

Foto 2: Kampung warna warni

Tiket masuk ke kampung ini sebesar dua ribu rupiah. Sama besarnya dengan kampung di seberangnya, bedanya mungkin kampung seberang memberi bonus souvenir.
Kami berjalan menyusuri kampung sempit dan strategis ini. Kampung ini penuh dengan hiasan, corak warna yang menyala, dan beberapa kerajinan tangan yang estetik, terpasang rapi di dinding. Unik.
Sesekali kami berfoto, mengantri tempat foto, memfotokan orang lain, dan difotokan orang lain.

Foto 3: Berfoto bersama (Kiri-kanan : Saya, Mukni, Citra, Ndin)
Saya menelisik, melihat setiap sudut.
Kampung ini adalah sebuah wujud kepedulian masyarakat untuk tumbuh dan berbenah. Mereka didampingi oleh sekumpulan mahasiswa salah satu universitas di Malang. Menurut informasi yang saya dapatkan, awal mula berdirinya kampung ini adalah karena proyek pemberdayaan masyarakat.

Menarik.

Kampung ini tidak memilih statis dengan terhimpit riuhnya suara kendaraan di sana-sini. Kampung ini tidak memilih untuk menjadi mati dan terlupakan oleh sunyi.
Kampung ini  memilih untuk hidup.
Kampung ini memanfaatkan potensi, bukan mengeluh karena kekurangan materi.
Ah, kampung warna-warni mengingatkan saya pada kampung halaman.
Foto 6: Kampung warna-warni tanpa warna.

Aceh? Peradaban yang hampir memudar sirna.

Langkat? Hanya segelintir orang yang mau berubah.

Sumut? Ah, jangan tanyakan ini.
Maka sungguh, sudah saatnya kita berbenah, memperbaiki diri, terus melecut.

Allah, Mudahkan langkah ini.

Setelah puas berfoto kesana-kemari, kami akhirnya pulang ke kosan Mukni. Lelah, namun bahagia.
Keesokan harinya, kami beristirahat di kosan Mukni. Agenda hari itu adalah bobok siang, jalan-jalan ke Universitas Negeri Malang, Matos (Malang Town Square), dan nongkrong di pelataran taman.

Foto 7: Gerbang Universitas Negeri Malang.
Saya sebenarnya ingin sekali ke Batu, salah satu lokasi wisata bagus di Malang.  Namun waktu sepertinya tidak memungkinkan untuk dikejar. Maka niat itu segera saya urungkan. Mungkin lain kali.

Ah ya, misi saya ke Malang ini sedikit berbeda dengan misi-misi sebelumnya. Selain saya memang membawa tujuan khusus, yakni acceptable mission, saya juga berniat untuk melakukan the real holiday.

Foto 8: Di depan Malang Town Square (Matos)
Saya bahagia bertemu dengan teman-teman masa SMA dulu. Cerita nostalgia masa cream-gold di asrama selalu menjadi topik hangat di pagi hari, mulai dari asrama yang  dimasuki maling, kisah guru paling kece, hukuman sore hari ketika terlambat ke aula, hingga kisah cinta yang berakhir tragis.

Saya terkadang speechless.

Allah selalu punya rencana terbaik, skenario terbaik, dengan guratan-guratan kisah terbaik
Dulu, saat saya duduk di kelas XII Thomas Alva Edison, wali kelas saya adalah Bu Rahma. Beliau berasal dari Bandung.
Saya masih ingat, sepulang Bu Rahma dari Malang, Bu Rahma membawakan kami oleh-oleh khas Malang. Saya yang belum pernah ke Malang menjadi amat antusias untuk dapat pergi ke Malang. One day.
Saya menuliskannya di ‘edelweiss list’.
Maka benar sudah apa yang tertera dalam Q.S Al-Qalam ayat 2.

My Favorite Surah

Malang mengajarkan saya banyak hal.

Mengajarkan untuk bisa berpikir open mind, melihat suatu hal dengan moderat, membaurkan diri menjadi lebih diterima oleh orang-orang yang berbeda prinsip.

Malang mengajarkan untuk ‘menguapkan’ rindu.
Dan yang paling penting, mengajarkan saya untuk terus menata mimpi.

Foto 9: Semeru, nantikan diriku.

Malang menjadi saksi, pada rintik hujan bulan januari, diriku kembali menoreh mimpi.
Sungguh, aku akan menyimpannya dalam relung sanubari.
Membawa khidmat pada sepertiga malam yang sunyi.
Atau ketika tangis menyayat hati, terisak membabat sampai mati.
Malang, kau akan selalu kurindu.
Karena aku masih menggantungkan sebuah harapan, padamu.
Pada tekadku yang membulat penuh,
Pada bait doaku yang mendobrak pintu.
Malang, saksikan aku di Puncak Semeru
3676 mdpl, aku menuju dirimu








You Might Also Like

0 comments