Misi 1: Allah, Saya (tidak) Menyerah!
Malam itu Jogja hujan. Seusai menyiapkan semua perlengkapan perjalanan, saya diantar ke depan asrama oleh dua teman untuk segera berangkat ke stasiun.
![]() |
| Foto 1. Saya menunggu gojek ditemani Upik dan Dhany. |
Waktu menunjukkan pukul 00.30 WIB. Ketika tiba di stasiun, saya melihat sekeliling, orang-orang tidur berhamburan di ruang tunggu, lengang, dan dingin.
Kereta saya berangkat pukul 02.55 WIB menuju Stasiun Tulungagung. Namun karena masih beberapa jam lagi, saya memutuskan untuk tetap terjaga sembari menulis ucapan terima kasih kepada Rumah Kepemimpinan via line.
Bermodalkan sebuah jaket, carier di punggung, tas gendong di depan, dan tas jinjing di tangan kanan, saya berangkat dengan perasaan cemas-bahagia dan menerka-nerka.
Bagaimana tidak, perjalanan ini adalah perjalanan penuh misi, misteri, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang siap menerkam kapan saja, di mana saja.
Saya tiba pukul 08.33 WIB di Stasiun Tulunggangung. Suasananya asing bagi saya. Selain bangunannya tidak begitu besar, stasiun ini juga tidak begitu ramai, mungkin karena bukan stasiun persinggahan
![]() |
| Foto 2: Suasana di dalam kereta. |
Saya menuju pintu keluar dengan langkah pasti, melihat sekeliling dan mencari-cari sekiranya transportasi apa yang harus saya naiki.
Saya berhitung dengan waktu, mempertimbangkan, dan mencoba untuk memahami navigasi kota ini.
Akhirnya, saya memilih becak untuk mengantar saya ke Terminal A Tulungagung. Disana, saya mencari bus menuju Kecamatan Durenan, Trenggalek.
![]() |
| Foto 3: Bapak tukang becak yang mengantar saya. |
09.01 WIB, bus saya tiba. Saya tergopoh-gopoh melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Bukan karena orang-orang di dalamnya yang berjejal penuh sesak, melainkan penumpang bus yang melebihi kapasitas. Namun karena saya membawa barang cukup banyak, belum mandi, dan terkesan seperti ‘anak hilang’ maka jadilah saya pusat perhatian mereka.
Saya berbincang sedikit dengan penumpang di samping saya, hanya untuk memastikan di mana saya akan turun. Sekilas, perhatian saya tertuju pada hamparan sawah yang menghijau, pegunungan yang berjajar rapi melukis pagi, dan alunan syahdu angin yang meniup khimar saya. Saya terbang!
09.21 WIB, saya turun di sebuah perempatan yang terbilang ramai-kondusif. Saya melihat sekeliling, ah damai sekali rasanya tinggal disini.
![]() |
| Foto 4: Pemandangan pematang sawah dari pinggir jalan di Tulungagung |
Saya kemudian mencari warung untuk sekedar mengganjal perut yang keroncongan sedari malam.
“Buk, ini benar sudah Durenan nggih?” saya membuka pertanyaan pada seorang ibu yang usianya mungkin lebih setengah abad. “Nggih mbak, sampean mau ke mana?” Jawab si ibu.
Saya masih menyantap bandeng asap yang tersaji nikmat, mencoba mengingat alamat.
Desa Durenan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek.
“Ini Desa Durenan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek, mbak. ” si ibu menoleh ke saya, menunggu jawaban.
“Emm, apa ya? Des… desa… Durenan, Bu. Ndaktau ‘RT-RW’ nya, emm. Saya mencari Pak Lamiran, Bu Nyamik, dan Pak Dugel,” saya menjawab ragu.
Si ibu berpikir, mengingat-ngingat nama warga di desa itu, kemudian berhambur ke luar menanyakan pada bapak-bapak di pinggir jalan”
Ketiga nama yang saya sebutkan di atas adalah nama anggota keluarga besar saya yang putus komunikasi sejak puluhan tahun. Perjalanan saya ke kota ini untuk mencari mereka, menyambung kembali silahturahmi, dan mendekatkan diri pada Allah. Note this.
“Wah, ndak ada e mbak kalo nama yang mbak sebutkan tadi. Coba mbak ke kantor kecamatan atau ke kantor desa. Nanti dari sini bisa naik becak. Kalau ke selatan ke kantor kecamatan, kalau ke kantor desa ke utara sekitar 300 meter” jelas si ibu yang kini bersama seorang bapak.
Saya mengangguk, kemudian bergegas membayar hidangan dan menuju musholla terdekat untuk bersih-bersih, sholat dhuha, dan tilawah.
![]() |
| Foto 5: Saat berada di musholla. |
Kemudian saya menuju kantor kecamatan.
Bangunan kantor Kecamatan Durenan ini terbilang besar dan bagus.
Saya menemui bagian informasi, berdialog dengan dua orang staff yang berjaga sambil menikmati rokok sembari satu kaki menyila diatas kaki yang lain. “Sampean kalau kesini, ya ndaknemu, mbak,” jawab salah seorang diantara mereka. Saya mengernyitkan dahi, Maksudnya? “Kecamatan itu luas mbak. Kalau mencari nama-nama tadi, ya sulit mbak” seorang yang lainnya menimpali sambil menghembuskan asap rokok, saya terbatuk.
“Memangnya ndak bisa dicari pakai bank data kecamatan ya, Pak? Mencari nama saja,” saya mulai memaksa.
Keduanya bertatapan. “Sampean ke kantor desa saja!” jawaban final tanpa ada usaha untuk beranjak dari kursi, membantu saya.
Saya diam. Menahan kesal. Mengalihkan wajah, takut jika hati saya kecewa dan malah menangis di depan mereka.
“Sampean ke kantor desa saja, ke utara sana, jaraknya sekitar 300 meter-an” Si Bapak sempurna menutup wajahnya dengan lembaran koran.
Saya berbalik, menahan diri, “Terima kasih,” lirih saya. Bukan hanya kebuntuan arah, sikap mereka berhasil menambah buruk moodsaya hari itu.
Saya berjalan menuju kantor desa dengan seluruh barang bawaan saya. Baru sekitar 10 meter, saya merasa meleleh dicerna terik mentari. Ya Allah, masih berapa ratus meter lagi?
Akhirnya, saya memutuskan naik becak saja. Seorang bapak tua, usianya mungkin setengah abad lebih, rambut kurakan berwarna putih meyeluruh, wajah keriput, dan tubuh melengkung sekian derajat dengan posisi menghampiri saya.
“Kantor desa nggih, Pak”
Si Bapak malah membawa saya ke pinggir jalan lain yang tidak jauh dari kantor desa. Dengan aksen tidak jelas si Bapak memberanikan diri bertanya,
“Sampean mau kemana, mbak?”
“Saya mau mencari pak Lamiran, Bu Nyamik, dan Pak Dugel, di Desa Durenan, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. ndak tahu RT-RW nya. Saya ndak tahu mereka itu seperti apa wajahnya, lagian, ini kali pertama saya kesini, saya.. saya.. “emosi saya mulai campur aduk.
Si Bapak yang lebih baik dipanggil kakek ini membawa saya ke desa yang tak jauh dari tempat kami berhenti, bertanya kesana kemari, ke penjaga toko, penjual mie, pedagang bakso, ke rumah-rumah warga. Sudah tak terhitung berapa kali bolak-balik di desa itu.
Allah, Kuatkan, Tolong Kuatkan
Setelah lelah berkeliling, saya berkata tegas ke si Kakek, “Pak, bawa saya ke kantor desa saja”
Si kakek akhirnya memutar becaknya, menuju kantor desa. Saya beranjak turun, melepas semua barang bawaan, menelisik bangunan kantor, mencari-cari.
Si Kakek tadi? Sudah berhasil meringsek masuk ke kantor desa yang pintunya terbuka lebar.
![]() |
| Foto 7: Kantor Kepala Desa Durenan dilihat dari depan. |
Tidak ada orang, lengang, hanya seorang pemuda ringkih yang terlihat bingung dengan lengannya yang di tarik si Kakek. Si kakek menoleh ke arah saya, matanya berbicara.
“Mas, saya mencari Pak Lamiran, Bu Nyamik, dan Pak Dugel, alamatnya ada di desa ini. Kira-kira mas bisa bantu saya untuk mencarinya?” kali ini saya berharap banyak.
Yang ditanya diam, berpikir, lantas menggeleng. “Ndaktau e mbak”
Hah? Apa?
Saya mengatur ulang emosi saya, sembari melanjutkan “Kalau perangkat desa yang saya bisa temui mas, ada?”
“Maaf mbak, ini kantornya kosong.”
Hah? Bagaimana mungkin di jam kerja seperti ini kantor kosong dan tidak ada pelayanan apapun.
Si Mas ringkih kembali dengan sapunya. Saya membuang muka ke jalanan, melihat langit, lalu kembali menatap kantor.
Si Kakek menunggu saya, “Mbak, kita ke rumah Pak Pamong saja, gimana?” si Kakek tidak kehabisan semangat.
Saya mengangguk lesu.
Sepanjang perjalanan, saya menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Saya menjerit di dalam hati . Perasaan kesal-lelah-ngantuk bercampur menjadi satu adonan yang membuat emosi semakin fluktuatif.
Ya Allah, saya ndak tau apakah saya kuat? saya capek, ngantuk. Sampai kapan saya disini, Ya Allah, mentari sudah mulai condong. Kalau sampai jam 5 sore ini saya belum menemukan mereka, maka atas izin-Mu, biarkan kaki saya melaju ke Kediri. Maka, misi di kota ini meringsek gagal, Ya Allah…
Saya menangis, sepuas saya. Sesekali saya mengusap wajah, sesekali terbatuk, sesekali melihat jalanan.
Ya Allah, tidak, tidak boleh menyerah!
Cengeng sekali diri saya ini.
Akhirnya, kami sampai di rumah Pak Pamong. Pamong adalah sebutan lain untuk perangkat desa selain mudin, carig, dan lainnya. Si kakek menurunkan saya di rumah yang cukup besar. Pak Pamong dan Istrinya menghampiri saya, mempersilahkan duduk.
Setelah berdialog, dan saya menjelaskan dengan lebih rinci perihal kedatangan saya ke kota ini, Pak Pamong dan istrinya akhirnya bertanya ke tetangga-tetangga sekitar. Si kakek pun tak mau kalah. Sementara saya hanya duduk bersandar di depan rumah Pak Pamong, mulai tertidur.
Sekitar 30 menit, angin sepoi-sepoi menerpa pipi kanan saya. Lantas saya bangun ketika seorang kakek dengan kemeja putih menghampiri saya.
“Mbak yang lagi nyari keluarga?” Sapanya.
Saya mengucek mata, mengumpulkan nyawa, berhitung dalam hati. Ya Allah, mengapa ramai orang di sini?
“emm nggih, pak, saya mencari Pak Lamiran, Bu Nyamik, dan Pak Dugel” balas saya.
Si Bapak mengajak saya ke rumah beliau yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah Pak Pamong. Beliau mengambil berkas-berkas, membuka silsilah, detail mencari nama yang saya sebutkan tadi.
![]() |
| Foto 8: Seorang kakek yang sedang membongkar berkas-berkas demi membantu saya. |
Hasilnya? Nihil
Saya kembali ke rumah pak Pamong, menunaikan solat zuhur, lantas kembali bersandar di dinding, lelah.
Istri Pak Pamong membawakan saya beberapa kue dan segelas teh. Saya dipersilakan.
Pak Pamong duduk di seberang satunya, menelepon semua kerabat, chat WA grup kantor desa, menelepon kesana kemari, ke perangkat desa sebelah, desa sebelah lagi, sebelahnya lagi, dan desa yang disebelah-sebelahnya lagi.
Saya tak bergerak, hambar menatap hidangan hangat di depan, lantas sayup-sayup angin membawa saya pergi, pulas tertidur (lagi).
Saya bangun beberapa menit kemudian, HP saya berdering berulang kali, yang berasal dari Bapak, Paman, dan Mamak. Panggilan tak terjawab.
“Nduk, sampai mana? Sudah makan? Baik-baik saja, kan? Tadi naik apa? Sekarang di mana? Sama siapa? Sudah ketemu?” suara bapak terdengar cemas.
Saya menarik nafas.
“Bapak, ini RT-RW nya berapa ya? Dari tadi ndak nemu pak. Paklek Man kira-kira tahu nggak? Pak, ini aku lagi bla bla bla” saya melanjutkan panjang lebar.
Selang beberapa menit, telepon ditutup. Paklek saya tiba-tiba menelepon. Setelah berbincang serius, dan mengerucutkan ke mana arah pencarian ini, Paklek kemudian mengirim foto via WA yang isinya adalah KTP zaman purba (re : 1980 an).
Disitu tertera, “Bapak Toredjo, Sambitan, Pakel, Tulungangung”
Seperti mendapat harapan baru, saya lantas meminta izin Pak Pamong untuk pamit menuju alamat tersebut.
“Mau naik apa mbak ke sananya?” tanya istri Pak Pamong.
“Kalau naik becak gimana, Buk? Saya mulai mencari rute, sepertinya tidak jauh, hanya beda kabupaten saja” jawab saya.
Pak Pamong dan istrinya saling tatap, mencari solusi terbaik. Lantas pak pamong beranjak, mengambil mobil.
Sore itu, dengan harapan baru, saya kembali ke Tulungagung, mencari si empunya KTP purba, Pak Toredjo.
![]() |
| Foto 9: Foto KTP Pak Toredjo yang dikirim paman. |
Lampiran Biaya Perjalanan (belum termasuk makan dan lainnya)
Asrama-Stasiun Lempuyangan : Rp20.000
Stasiun Lempuyangan-Stasiun Tulungagung : Rp91.500
Stasiun Tulungagung- Terminal A Durenan : Rp20.000
Terminal A Durenan-Desa Durenan : Rp13.000
Musholla-kantor kecamatan : Rp10.000
Kantor kecamatan-kantor desa-rumah Pak Pamong : Rp10.000










0 comments