Aku, Sumbing, dan Cinta yang (tak) Usang.

 
Sudah lama saya tidak bermain dengan kata-kata. Sudah lama pula, saya tidak mengisi ruang blog untuk berbagi kisah. Padahal, bisa jadi orang-orang diluar sana ada yang menantikannya. Benarkah?

Pada kesempatan kali ini, saya akan menuliskan perjalanan mendaki atap tertinggi ketiga di Pulau Jawa, atau gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah.

Well, saya mulai dari mana? Bebas saja ya.

Perlu saya jelaskan lebih dahulu, alasan setiap orang mendaki gunung berbeda-beda, dan pendapat orang tentang orang yang mendaki gunung juga beraneka ragam.

Saya kerap menemukan orang berkata demikian,

“Re, udah tahu gunung itu tinggi, masih aja didaki”.

“Re, kalo punya uang tuh buat makan, jangan buat naik gunung”

“Re, naik gunung kan capek, banyak mudhorotnya daripada manfaatnya”.

“Re, akhwat kok naik gunung”.

Dan masih banyak lagi.

Saya menghargai pendapat orang. Saya paham dari sudut mana mereka memandang. Tetapi, saya juga ingin orang memandang alasan saya sebagai sebuah alasan yang logis.

Jadi, apa alasan saya?

Semoga anda menemukannya ditulisan ini.

Pendakian kali ini adalah pendakian yang menurut saya tidak sengaja terjadi. Alur cerita seperti sesuatu yang mengalir tanpa kepastian, meskipun akhirnya terbentuk sebuat tim yang tidak saya duga sebelumnya.

Tim saya berjumlah 7 orang. Saya, Nisma (teman satu fakultas), Mbak Wijay (Kakak angkatan), Nesty (Teman kenal, lulusan Teknik UGM), Mas Fahmi (teman saya dari Javen), Mas Indra (temannya Mas Fahmi), dan Fadil (Adiknya Mas Fahmi).

Saya membuat sebuah grup yang saya beri nama “Goes To Sumbing”. Digrup itulah, segala hal yang berkaitan dengan persiapan keberangkatan dibahas. Mulai dari tenda, Sleeping Bag, logistik, nesting, kompor, dan perlengkapan lainnya.

Kami janjian kumpul di markas saya pukul 08.00 WIB, tanggal 31 Desember 2018. Tetapi, beberapa diantara teman saya harus menyelesaikan beberapa hal mendesak, sehingga pukul 09.45 WIB kami baru berangkat.

Jika dilihat dari peta, Gunung Sumbing terletak diantara tiga kabupaten. Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Sesuai dengan jalur yang akan kami gunakan, maka tim ini berangkat lewat Jalan Jogja-Magelang.

Pukul 10.06 WIB, kami berhenti untuk mengisi bahan bakar di POM Jalan Magelang.

Formasi kami ketika pergi adalah saya dibonceng Nesty, Mbak Wijay dengan Nisma, Mas Fahmi sendiri, Mas Indra dengan Fadil. Total ada empat motor.

Pukul 11.26 WIB, hujan mengguyur dengan derasnya. Kami memutuskan untuk berteduh sejenak. Kemudian, setelah beberapa menit hujan mulai reda, kami melanjutkan perjalanan.

Pukul 11.59 WIB kami berhenti di Masjid Kota Tulungangung. Solat zuhur dan ashar dijamak, kemudian bergegas melanjutkan perjalanan hingga pukul 13.44 WIB.

Kami sampai di Desa Garung ketika langit sedang cemberut, awan turun menjajaki bumi, menunjukkan ‘kepongahan’ bahwa hujan akan membabat harapan-harapan manis para pendaki.

Ah, sekali-kali tidak. Puncak adalah bonus, keindahan alam adalah bonus. Yang utama adalah perjalanannya, pembelajarannya, dan hikmah-hikmah yang berhasil dipungut untuk dibawa pulang.

Kami transit disebuah base camp milik warga setempat. Parkir motor dan mengeluarkan beberapa barang yang sebaiknya ditinggal di BC. Biaya parkir tiap motor sebesar Rp.10.000.

IMG_20190102_080210 

Base Camp dilihat dari depan
IMG_20190102_080150 
Peta Base Camp

Kemudian, tim bergegas menuju simaksi untuk register dan mengepak ulang barang-barang.

Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp.15000/ orang untuk memasuki wilayah gunung, ditambah dengan sebuah peta pendakian seharga Rp.5000.

Di simaksi, saya melihat beraneka ragam pendaki yang berasal dari kota-kota lainnya. Seorang laki-laki gondrong dengan asap rokok yang mengepul, seorang pemuda berkulit putih yang kedinginan, seorang perempuan yang terlihat sedang tidur karena lelah, seorang penjaga meja simaksi yang keheranan dengan pendaki perempuan pakai gamis hitam yang dipadankan dengan kerudung corak berwarna cokelat, lengkap dengan cadar dan kacamata. Lebih mirip ukhti-ukhti yang mau berangkat pengajian ketimbang naik gunung. #seriously

Sesekali orang-orang lewat, aroma tanah, aroma kepuasan sudah mencecap puncak.

Aroma sepatu, keringat, debu, gorengan, dan rokok. Yang terakhir yang paling saya benci.


IMG_20190102_080216 
Jalan menuju BC utama 

IMG_20181231_141250 
Kondisi didalam BC utama

Saya paham, mereka telah membakar ribuan kalori untuk perjalanan sejauh itu, tetapi mengapa mereka mau melakukannya lagi dan lagi?

Disitulah letak istimewanya. Ada sesuatu yang kadang tidak bisa dihitung dengan angka-angka, ada hal-hal yang tidak bisa dinilai secara kuantitas.
Something bigger.

 Something more than experiences.
Sekian lama saya mengalisa orang-orang ini, mata saya tertuju pada dinding ruangan ukuran 10x15 meter itu. Tulisan-tulisan yang sarat makna, “Cintai Gunung seperti kamu mencintai-Nya”.

Beberapa menit di simaksi, saya lapar, maka jadilah saya, Nesty, Nisma, dan Mbak Wijay  makan lebih dulu disebuah warung kecil yang pemiliknya seorang ibu muda usia 20 tahunan.

IMG_20181231_150032 
Warung Makan

Saya makan nasi, sayur, dan gorengan tempe yang gurihnya luar biasa. *efek laper sepertinya.

Setelah makan, kami kembali ke simaksi.

Hujan turun. Kami mengambil posisi di simaksi, menghangatkan tubuh dari terjangan H2O yang turun tanpa permisi, menghujami bumi dengan sesuka hati. Tak lama, semua menjadi putih. Ikatan ‘pernikahan’ hujan dan kabut membentuk oase malam yang menakutkan, padahal masih sore.

Saya sempat tertidur dan bermimpi. Lalu terbangun ketika langit sudah mulai menunjukkan senyumnya.

Katanya, hujan telah pergi dan tersisa kabut yang menyesapi.

Baiklah. Mari bersiap pergi.

Pukul 16.24 WIB, langkah pertama telah dihentakkan, carrier sudah dipundakkan, lengan sudah di sing-singkan, dan tidak ada alasan untuk menyerah dari pendakian.

Mantappss!

Pejalanan dari BC ke Pos 1 melewati lahan pertanian warga, kondisi tanah basah, kabut merajalela, dan nafas mulai terengah-engah.

Barangkali baru 60 meter, jalanan yang menanjak disertai carrier 65 L dipundak membuat saya harus mengeluarkan energi lebih banyak. Apalagi, beban carrier ini membuat tulang berasa hampir patah.

Dua puluh langkah berikutnya, saya sudah mulai kehilangan arah. Jarak pandang hanya sejauh 5 meter. Teman-teman sudah didepan, saya dan Nesty yang paling belakang.

“Re, perutku sakit”. Nesty duduk sambil mulai mengatur nafas.

“Re, aku pake balsem dulu”. Katanya kemudian.

Saya hanya mengangguk. Saya merasakan jantung saya berdetak teramat cepat, seperti ingin lepas tapi dia ada di dalam sana. Jantung saya tak karuan, saya mulai panik.  Inikah yang namanya cinta?

Jalanan menuju pos 1 berbatu dengan sudut 40,3 derajat. Sebenarnya, bisa ditempuh dengan naik ojek seharga Rp.25.000.

Ah, masa mendaki naik ojek?

Kami terus berjalanan, hujan turun lagi, kali ini lebih mirip sebuah kompetisi.

Berlomba jatuh kebumi untuk membasahi manusia-manusia kecil tanpa arti.

“Jas hujan! Ayok pakai jas hujan!”

Pakai jas hujan adalah solusi, tetapi bukan berarti semua sudah teratasi.

Kedinginan, kepanasan karena perjalanan.

Hampir-hampir tidak bisa dibedakan, apakah sebenarnya kita sedang kedinginan, atau sedang kepanasan. Keduanya bagai rasa tak bersekat, bagai dualisme rasa yang memikat, sampai-sampai manusia tak mampu membedakan mana yang melekat.

Dingin dan panas. Seperti aku dan kamu. Sangat berbeda namun bisa menyatu.

#RereNgomongApa

Okeh, Next ya.

Jalanan menanjak dengan kondisi bebatuan licin karena hujan terus mengguyur tanpa hasrat berbaik hati untuk reda. Suhu semakin rendah, sementara hari kian sore.

Kami mantap melanjutkan perjalanan, hingga samar-samar terlihat pos 1 yang ditandai dengan kelap-kelip nanar lampu.

“Sedikit lagi, sebentar lagi”.

“Semangat yaaaaa”.

Fadhil, Mas Fahmi, dan Mas Indra sudah jauh didepan. Kami, empat orang akhwat dibelakang berjalan bersisian, sesekali mengambil foto, dan sesekali berhenti untuk berteduh.

Diperjalanan seperti ini, seringkali saya kesal dengan apa yang saya rasakan.

Kedinginan karena cuaca, karena hujan, dan ketinggian. Disaat yang sama, kepanasan karena banyak berjalan. Dua rasa dalam satu waktu yang sama.

Pelan-pelan, saya pikir ini adalah sebuah keseimbangan. Ya, kan?

Keseimbangan yang diberi Allah dalam sistem metabolisme manusia. Bayangkan, jika kita hanya diberi rasa dingin, maka suhu tubuh akan drop, dan boooommmmm….. hipotermia! Sementara jika selalu panas, maka? Pikirlah sendiri :P

Kami berhenti di pos 1 tepat pukul 18.24 WIB. Disana, lumayan banyak pendaki yang sedang istirahat. Sebagian akan muncak, sebagian lagi baru turun dari puncak. Mereka menyeruput kopi hangat, sebagian memilih teh, sebagian lagi gorengan.

IMG_20181231_195828_HHT 
Warung di Pos 1

IMG_20181231_200110_HHT 
Istirahat sejenak di Pos 1

Pos 1 adalah kerumitan, keriwehan wajah-wajah tak terdefinisi.

Jas hujan bertebaran, tas-tas carrier diletakkan di atas kayu berbentuk dipan panjang, yang lain adalah aroma sepatu dan tanah. Khas sekali.

Kami memutuskan untuk ikut rehat sejenak, mengisi amunisi perut dan hati.

Wehh… ngapain?

Off Course makan dan solat.

Di ketinggian, hati merendah.

Di atas awan, hati bertahta.

Dimanapun manusia, hendaknya ia  ingat Tuhan-Nya.

Kami solat disebuah Musholla kecil yang lebih mirip kulkas. Dingin parah!

Sebelum solat, tentu saja ada drama air wudhu yang lebih mirip air es yang mencair, air kutub utara!

Tapi tak masalah, toh kebersamaan lebih hangat daripada apapun. *ciyee

Trust me! I’m not telling a lie.

Pukul 19.16 WIB solat magrib dan isya sudah selesai dilaksanakan. Janganlah dibayangkan sayup-sayup suara Muzzamil Hasballah, karena sebenarnya yang paling terasa adalah suara manusia-manusia menggigil. Kretek-kretek.

“Ya Allah….. dingiiiinnnn…….”

Kabar buruknya, sejak kemarin badai awan menyelimuti, cerah hampir tak pernah menyapa.

 Akankah besok juga demikian?

Akankah besok mentari berbaik hati untuk mampir?

Allah, kuserahkan kepadamu. Kuingin melihat keindahan alam sumbing, karya-Mu yang Maha Dahsyat.

Kumohon… lindungi kami…

Kemudian, satu-persatu bergegas kembali ke pos 1 yang lokasinya hanya 10 meter dari musholla.

“Bu, air putih panas satu nggih”.

Saya melihat rekan saya yang lain makan gorengan, memesan kopi, dan makan gorengan lagi.

“Re, mau kopi?” Nisma menawarkan.

“Aku nggak minum kopi”. Jawab saya.

“Kamu nggak pesan teh?” Tanya Mbak Wijay.

“Enggak minum teh juga”. jawab saya.

Yes, I only can drink mineral water.

20.01 WIB, carrier saya ditata ulang. Sebenarnya itu adalah carrier pinjaman milik teman.

(Ku belum bisa beli sekarang hiks)

Kami mulai berjalan satu persatu, tentu saja dengan segala perlengkapan untuk mendaki.

Bismillah.

Urutannya adalah Fadhil, Mas Indra, para akhwat, dan Mas Fahmi terakhir.

“Pakai jaket dulu ya gaes” kata saya keseluruh rekan yang akhwat.

“Jaket hanya untuk orang yang lemah”, Mas Fahmi menimpali.

Saya tak terima. Melihat dia memakai Jas ujan, saya lantang berkata, “Jas hujan hanya untuk orang-orang lemah!”

1-1, Bro!

Tolong jangan membayangkan jalanan mendaki Gunung Sumbing seperti landainya Merbabu, berkelok seperti Lawu, atau mungkin syahdu seperti Prau.

Tidak, Tidak, Tidak.

Jalanan gelap, air mengucur dari jalur, becek dan berlumpur, kanan kiri pepohonan tinggi yang sarat dengan nuansa seram, apalagi?

Langkah kaki yang tak hati-hati hanya akan menyebabkan tergelincir, merosot jauh entah kemana, kalau tidak patah tulang ya minimal terkilir.

Jalanan sepotong yang menanjak dengan sudut entah berapa derajat, mohon maaf belum sempat mengukur.

Kami terus berjalan dengan penerangan minimalis yang bersumber dari senter masing-masing. Lumpur mulai lengket disepatu, sandal, dan ujung-ujung gamis. Menambah beban perjalanan.

Setelah hampir satu jam berjalan, saya sudah mulai kalap membawa carier ukuran 65 L ini. Entah saya yang terlalu sok-sokan mau membawa dengan berat setengah dari bobot badan, atau memang saya lemah dan tak mau mengakuinya?

Sepertinya dua-duanya benar.

Soal carier, ada konsep yang perlu kita tahu.

Minimum weight, maksimum utility.

Bawa seringan mungkin, fungsi semaksimal mungkin.

Dengan 3 konsep P, yaitu; Presisi, Padat, dan Praktis.

Untuk seorang pendaki ala-ala seperti saya, teori-teori seperti ini banyak yang belum saya tahu.

Kalau mau tahu lebih jauh, bisa tanya the gengs Janaka Ventura di IG @janaka_ventura

Disana kalian akan menemukan orang-orang hebat yang rendah hati, tidak sombong, dan suka menabung. #apadeh *udah aku promosiin nih yeeee

Carier saya akhirnya dibawa Fadhil, dan saya membawa day pack-nya Fadhil.

Girl is always special.

Kami terus mendaki, belum ada tanda-tanda pos selanjutnya. Padahal waktu terus bergulir tanpa mau mengalah.

Saya akan cerita sedikit tentang Gunung Sumbing. Ketinggian gunung Sumbing 3371 mdpl. Pendakian Gunung Sumbing melalui Dusun Garung, Desa Butuh, Kec. Kalikajar, Kab. Wonosobo. Dapat ditempuh dengan salah satu jalur pendakian yang ada, yaitu jalur lama dan baru. Panjang rute/jalur gunung ini terhitung dari gapura Dusun Garung sampai puncak kurang lebih 7000 m. Pendakian dapat ditempuh dalam waktu enam sampai delapan jam (skala pendaki expert).

21.01 WIB, kami tiba di warung bawah pos 2.

Kami rehat sejenak, memperhitungkan waktu, dan minum beberapa tegukan.

“Berapa lama lagi?”

“Sekitar 15 menit lagi” Mas Fahmi menjawab yakin.

Saya menoleh ke jam ditangan kanan.

Beneran? Masa sih 15 menit lagi?

Jalan terjal dan berliku, akar-akar pohon menjuntai diatas kepala, sesekali menggelayut dikaki, diramaikan oleh dedaunan yang mengusap pipi.

Ah, nuansa perjuangan berbalut horror dan ekstrim.

Merinding euy. Maka setelahnya adalah lantunan kalimat takbir, tahmid, tahlil yang tiada jeda.

Hujan makin deras, aliran air dari atas semakin tak terbendung.

Badai! Berteduh!

Maka kami mampir di sebuah shelter kecil tak jauh dari warung bawah pos 2. Diskusi sejenak terkait pendakian, mempertimbangkan kondisi tim dan cuaca buruk.

Nafas tersengal, kedua tangan ditangkupkan, mencari kehangatan mahal sekali harganya. Maka bersyukurlah dengan kasur yang empuk, selimut yg nyaman, bantal yang hangat. Karena digunung, semua itu benda mewah.

Hujan masih tidak karuan derasnya, nafas terengah-engah tidak berjeda, frekuensi kekhawatiran semakin meningkat, pulsus linear mengikutinya. Harap-harap cemas dan pasrah menjadi satu adonan dibumbui rasa dingin tiada tara.

Ekstrem! Pendakian Ekstrem!

Saya melihat jam, pukul 21.36 WIB.

Setelah diskusi yang cukup alot, kami kemudian melanjutkan perjalanan.

Tebak apa yang terjadi?

Tentu saja sebuah pertanyaan dan penagihan janji 15 menit lagi sampai pos 2.

“Katanya 15 menit lagi? Ini udah 30 menit”.

“Katanya 15 menit lagi? Udah 45 menit”.

Akhirnya,  pukul 21.57 WIB kami sampai pos 2.

“15 menit lagi WIF ya? Waktu Indonesia Fahmi. 15 menitnya kamu itu 1 jam! Berarti 4 kali lipatnya”.

Mas Fahmi hanya senyum-senyum. Antara bahagia dan merasa bersalah.

Terserahlah!

Jadi begini ya wahai para pembaca blog saya yang perempuan, kalau kalian bertanya berapa lama lagi sampai puncak, lalu dijawab  “30 menit lagi”.

Itu kayak, “aku nikahi kamu 5 tahun lagi”.

JANGAN PERCAYA!!!!

Ritual di pos 2 adalah membangun tenda. Sudah tidak mungkin lagi melanjutkan ke pos 3 dengan kondisi cuaca buruk, kedinginan, berlumpur, dan kelaparan.

IMG_20190101_082633 
Tenda di Pos 2

Jangan tanya bagaimana kondisi saya, karena jawabannya seperti kerbau selesai membajak sawah. Eksotis, narsis, skeptis.

*mulai engga jelas

Di pos 2, banyak drama yang terjadi. Rekan-rekan saya yang ikhwan membangun tenda, sementara kami yang akhwat menunggu di shelter sembari menghangatkan diri. Ada beberapa tenda yang sudah berdiri diarea pos 2. Baru 15 menit, segerombolan pendaki mendarat ke pos 2, salah seorang dari mereka terindikasi hipotermia.

“Mas, ada nesting?”

“Mas, ada air dan makanan? Temen saya kedinginan”.

Lalu grasah-grusuh. Korek api. Nyalain kompor. Cangkir. Nestingnya mana?

Saya melihat si pendaki laki-laki yang kuyu dan membuat panik sekitar 15 orang pendaki lain dengan perasaan penuh tanya. Salah seorang pendaki perempuan yang paling care terlihat berusaha menyuapi makanan, juga air hangat.

Pacarnya? Entah.

Nisma meminta saya untuk memvideo keriwehan itu. Alih-alih melakukannya, saya memlilih cuek dan diam saja.

Bukan apa-apa, saya pernah pingsan di puncak Gunung Prau, dan tidak ada orang yang tau. Lebih parah daripada si Mas-mas berwajah pucat yang mulutnya membiru ini.

Mas Fahmi pun bilang, “Alay itu Mbak, si Indra pernah lebih parah daripada itu”.

Saya mengangguk sepakat. Dan kalau boleh dibandingkan dengan kondisi kami malam itu, tangan kami juga pucat dan suhu tubuh mulai turun disertai rasa  menggigil.

Tapi toh, kita tetap harus tolong-menolong ketika bertemu dengan pendaki yang butuh bantuan. Setiap pendaki adalah saudara bagi pendaki lainnya. Itu mottonya.

23.37 WIB, tenda sudah selesai didirikan, tentu saja ditengah guyuran hujan yang semakin lama semakin deras.

Kami masuk ke tenda ukuran 4 orang, merapikan barang, menyampirkan jas ujan, ganti baju, menyalakan nesting, membuat minuman hangat.

Didalam tenda, saya dan Nesty berbincang-bincang. Nisma dan Mbak Wijay sepertinya sudah tidur. Ah ya maaf, dibagian ini tidak bisa diceritakan dengan detail.

“Jadi sebenernya project yang kamu buat fokusnya kemana, Re?” Nesty memulai.

“Jadi, project nya tentang social movement, Indonesia tuh masalah utamanya sumber daya manusia kan? Nah kita mencoba untuk blablabala” jawab saya.

“Jadi, sebenernya blablabla, sama ini juga ya?”

“Iya, eh by the way kamu kan Bengkulu ya. Kalo boleh jujur, kenapa Bengkulu itu nggak terkenal, enggak populer, padahal hasil buminya lumayan, negeri Raflesia”

Kami masih berbincang-bincang, sampai akhirnya senyap, saya sudah pulas.

01.34 WIB, Nesty keluar tenda, pengen pipis katanya. Saya antara sadar dan tidak. Tapi tetap memutuskan untuk tidak menemaninya, tidak keluar tenda.

Di jam itu pula, Nisma kedinginan, karena hanya dia satu-satunya yang tidak memakai sleeping bag.

04.01 WIB, Nesty terbangun. Sayapun sudah sadar. Lantas menggerakkan kaki kiri dan kanan yang merosot dan terasa basah sampai lutut.

Kalian mau tahu? Satu-satunya orang yang paling beruntung adalah saya. Nesty, Nisma, dan Mbak Wijay basah seluruhnya karena air hujan meresap masuk ketenda kami. Sayalah yang beruntung, karena hanya basah sampai selutut dan masih bisa tidur nyenyak.

Bekalangan saya tau, kalau Nesty tak bisa tidur malam itu. Apa pasal? Water everywhere.

Bagaimana dengan rekan yang lain? Hangat dalam tenda yang berada didalam shelter L

“Re, subuh”.

“I-y-a”.

Saya mulai mencari tetesan hujan paling deras, wudhu dengan kondisi hujan, di gunung, dan pagi hari, maka sudah tidak bisa djelaskan lagi bagaimana dinginnya.

04.44 WIB, subuhan sudah, ma’surat juga sudah. Maka tugas selanjutnya adalah membangunkan yang lain.

“Nisma, Mbak Wijay, gantian solat. Mas Fahmi, Indra, Fadhil, ayuk bangun, solat. Mau sholat sekarang atau disolatkan?”

Tak perlu ditebak, saya memang yang paling berisik kalau soal membangunkan orang. Hehe. Kudu sabar kalo muncak bareng saya.

05.11 WIB, kami masak, minum, menghangatkan diri, dan berfoto di area pos 2. Nisma sempat goyah ingin turun, tapi diyakinkan oleh Mas Indra untuk tetap lanjut.

IMG_20190101_070121_HDR 
Saya di Pos 2

IMG_20190101_082615  
Penampakan Kondisi Pos 2

08.27 WIB, kami berangkat menuju pos berikutnya.

Awalnya tanjakan biasa, kemudian berkelok-kelok, kemudian jalanan sempit nan licin, lalu gambut, lalu menanjak curam, menanjak level berikutnya, dan menanjak level dewa.

“Ini belum engkol-engkolan, nanti deh rasakan sensasinya”.

Saya mendesis, apalah itu engkol-engkolan. Seberapa menyebalkan dia?

Omaigattttt.. Reallly??

Sudut 90 derajat dengan kondisi basah, tanah hitam, dan ranting-ranting disana-sini.

That was an amazing track I ever saw.

Ya Allah, bisa nih? Ya Allah, kok serem? Ya Allah, help me.

Astagfirullah. Lahaula wala quwwata ilabillah. Subhanallah. Allahu akbar. Ya Allah sereemmmmmm……. Allahumma…. Eh, Allahumma….. Allahu Akbar….

Saya yakin, pendaki selalu punya cara dan alasan untuk senantiasa meningkatkan spiritualitasnya. Jika tiap langkah adalah kalimat-kalimat meminta ampun, maka sudah berapa banyak istigfar yang terlantun dalam pendakian?

That’s why banyak orang yang tidak akan pernah berhenti mendaki, salah satunya adalah yang mengetik tulisan ini.

09.17 WIB. Uji nyali dan uji mental berhasil kami lalui.

Saya tidak bisa menjabarkan dengan jelas bagaimana sulit dan menyebalkannya engkol-engkolan, tapi kalian bisa searching di IG Mountenesia.

I’ll never forget you, engkol-engkolan!

09.28 WIB, menuju Pestan. Pestan adalah akronim dari Pasar Setan. Hampir setiap gunung di Indonesia memiliki pasar jenis ini. Mengapa dinamakan pasar, dan ditambahi kata ‘setan’? Apakah terjadi transaksi jual-beli antara setan-setan disana? Kalau iya, apa yang mereka perdagangkan? Berapa harga elastisitas antara permintaan dan penawaran? Apakah harga mereka telah mampu mengembalikan break event point dalam skala dunia setan? Atau mungkin, kemanakah barang-barang dagangan itu digunakan? Mengingat bahwa setan tidak bisa selfie, tapi sok-sok ikut manusia selfie.

Pertanyaan-pertanyaan itu, tidak bisa saya jawab disini. Kalau kalian bertemu saya didunia nyata, sayapun masih tak bisa menjawabnya.

Tapi yang jelas, lokasi Pasar Setan kerap dikaitkan dengan hal-hal ghaib, mistis, horror, dan menakutkan.

Tapi enggak semenakutkan ketemu calon mertua kok. Jadi dibawa santai aja. #apadeh

9.44 WIB. Already Pestan.

Tebak apa yang dilakukan generasi Millenial? Ya, Foto. Apalagi?

Dari pestan, kabut menyambar-nyambar seperti hendak memangsa manusia.

Pestan juga dikenal dengan Pos 3. Lokasinya  berada di 2625 mdpl.

Beberapa bagian adalah tanah cokelat kosong, pinggirannya adalah  dedaunan hijau buram yang dipadankan dengan bebatuan disekitar lokasi foto.

“Kenapa dinamakan Pasar Setan?”

Hening.

“Besok mau aku namain Pasar Malaikat aja deh”

Hening.

“Yeayy… hari ini resmi kunamakan Pasar Malaikat”

Hening lagi.

Dibagian utara, kabut tampak menyelimuti kemegahan Gunung Sindoro. Dua gunung yang disinyalir sebagai kemegahan Provinsi Jawa Tengah sedang dipenjarakan oleh cuaca tak bersahabat.

Tapi toh, kabut atau cerah, badai atau berawan, tidak akan mencabik-cabik semangat para pendaki. Malah sebaliknya.

Kami terus berjalan, jarak antar orang 10-30 meter.

Mas Indra dan Fadhil, saya menyusul, dan rekan-rekan yang lain dibelakang. Tak tahu sampai mana.

11.17 WIB, Pasar Watu.

Mengapa pasar? Dan mengapa watu? Pasar watu adalah pos selanjutnya setelah pasar setan.  Disini, batunya segede mobil, sebagian ada yg sebesar gajah, jerapah, juga gorilla.

Tidak ada yang sebesar kenangan mantan.

Mohon maaf saya gapunya mantan :P *kamu tuh kenapaaa Reeeeee

Heuheu. #becanda

Kami terus berjalan, sesekali saya mengemut gula merah, sesekali minum.

Sungguh air terasa sangat nikmat diketinggian.

Saya dan Mbak Wijay bertemu diantara jurang curam yang dipotong dengan jalan setapak. Tak jauh dari sana, kelokan tajam nan licin menanti kami, makhluk-makhluk lemah bernama wanita. Empat puluh langkah berikutnya, kami dihadapkan dengan tebing yang saya beri nama tebing 89,9 derajat.

Specchless adinda. Tebingnya Masyaa Allah.

“Mbak, gimana naiknya? Aku bahkan engga terbayang cara kita turun”

“Iya Rain, curam banget. Licin juga, hati-hati Rain”

“Mbak, salah-salah bisa merosot kita”

Tak jauh dari situ, tiga orang mas-mas usia 25 tahunan keatas melihat kami, mereka berbalik arah dan menjulurkan tangan, membantu kami untuk naik.

“Ayuk Mbak, saya bantu, pegang tangan saya”. katanya dengan nada tulus.

Saya bertatapan dengan Mbak Wijay.

Sedetik, dua detik, tangan itu masih terulur kesaya.

Haruskah? Haruskan kuterima?

Oh tidakkkk…. I don’t want someone touch my hand except my mahram. No!

“Saya bisa kok Mas”. Kata saya sambil mencengkram batu kecil yang ada ditebing.

Saya naik pelan-pelan. Bismillah.

Mendapati saya yang tidak menggapai uluran tangan, Si Mas menjawab.

“Oh ya, saya suka perempuan mandiri”.

Antara sadar bahwa dia merasa kecewa dan bangga, saya lantas membungkuk dan berujar, “Makasih banyak ya Mas, semoga Allah balas”.

Setelahnya, saya dan Mbak Wijay hanya senyum-senyum.

“Hatinya engga potek-potek kan, Mbak? Walaupun di gunung, harus tetap pada prinsip”.

“Iya”

14.19 WIB, kami sampai di salah satu puncak. (Sumbing punya 3 puncak, Buntu, Rajawali, dan Sejati)

Awalnya kami tak yakin bisa sampai sana, terlebih saya pribadi. Jalur yang terus menanjak, hujan kabut dan belantara edelweiss, bebatuan yang bergerombol menyulitkan langkah, ditambah lagi nafas yang tak beraturan, juga hidung yang perih disesapi aroma belerang.

But yeah. Disanalah kami.

Alam telah mengalir dalam darah, memberontak, mendobrak, memompa jantung untuk kemudian menjadi helai-helai nafas.  Sementara petualangan adalah perjalanan lahir batin yg tidak akan pernah mampu dibeli dengan apapun.

-Reni Anggraini-

Dipuncak, saya memfoto beberapa tim yang sampai lebih dulu, lalu mereka bergantian memfotokan tim kami.

Kami bersepakat untuk tidak berlama-lama dipuncak, setelah foto dan mengisi perut, kami harus segera turun, agar tidak turun gunung di malam hari.

14.36 WIB, langkah pertama turun gunung.

Biasanya, waktu untuk turun gunung setengah dari waktu untuk naik. Tapi Wallahu’alam, tak perlu memburu waktu.

Alon-alon asal kelakon.

15.53 WIB, sampai dipasar watu, lalu dilanjutkan ke Pos 3 untuk makan siang.

Di pos 3, sebuah warung kecil berdiri kokoh, gorengan tempe harga 2000 rupiah. Dengan harga segitu dan kondisi pendaki yang kelaparan, maka sudah bisa dipastikan antrean panjang gorengan akan mengular.

“Bu, air putih panas ya satu” saya memesan ditengah kerumunan.

“Bu, sausnya mana ya? Tempenya tadi 8 ya, Bu” seorang Mas-mas disebelah saya ikut memesan.

“Bu, ini tempeenyaaa….. “ saya mencomot satu (Bukan punyamu Re, bukannn).

“Eh, Mbaknya gelis…….pisan…..” si Mas tadi bicara dalam bahasa sunda.

Lalu dia memandang saya. Merasa risih diperlakukan demikian, saya mundur dan tidak jadi mengambil tempe.

Bukannya merasa sok cantik atau gimana, pakai cadar ketika muncak adalah salah satu ikhtiar saya untuk tidak dipandangi oleh laki-laki. Risih euy. Risih banget.

Udah pakai cadarpun, masih aja ada yang godain.

“Oii adek berjilbab cokelat… cantik maniss…. Hati terpikattt…. “

Saya tidak menoleh, lalu dia menyanyi lebih keras.

Lain waktu, seorang pendaki menoleh ke arah saya, waktu itu menuju pos 4.

“Eh, ada Nissa Sabyan”

“Lah, kok ada bidadari dipuncak”

“Assalamualaikum Ukhtiii… “

Kalau bukan karena rasa malu, ingin sekali saya keluarkan jurus taekwondo yang diajarkan sewaktu di RK.

Satu tonjokan mungkin tidak akan meninggalkan rasa sakit, tapi rasa bersalah atas pelecehan secara verbal.

Dan lagi, sudah pakai pakaian yang menutup, wajah tertutup, juga masih berpotensi dilecehkan.

Maka dari itu, Islam hadir sebagai penyempurna. Menutup aurat dan menjaga pandangan, perintahnya begitu.

Back to tempe goreng.

Eh, back to pendakian.

Di pos 3, kami bergantian solat (dijamak), pesan gorengan, menunggu, melamun, menunggu lagi, makan tempe, minum, sampai semua selesai.

Musholla diwarung itu berukuran 2x2 meter dengan alas terpal yang lusuh. Didalam ruang solat, 3 orang pendaki duduk bersantai sambil ngopi. Merdeka sekali ya mereka.

Saya duduk di bangku persis dibagian depan, ada beberapa pendaki duduk diseberang. Satu orang kira-kira berusia 20 tahun dengan wajah tampan tapi perokok. Seorang bapak usia 40 tahunan yang berambut keriting dan mencecap kopi, dan satu orang anak kecil beserta rombongan diseberang yang lain. Mbak Wijay dan Nesty bergantian solat.

Fadhil? Mas Indra? Sudah tak tampak lagi batang hidungnya.

Sewaktu turun dari puncak, mereka berdua memang berjalan cepat menyusul Nisma yang memutuskan untuk turun sesampai di Watu Putih. Kabar baiknya, Mas Indra dan Fadil akan mempercepat dan mempermudah prosesi pembongkaran tenda, juga mempermudah bawaan karena mereka akan membawa perlengkapan mendaki.

Really thanks ya!

17.26 WIB, hari sudah mulai gelap, kami beranjak menuju pos 2.

Jangan, jangan tanyakan bagaimana menuruni engkol-engkolan. Hanya orang-orang kuat mental yang mampu melakukannya. Hanya mereka yang paham hakikat pendakian yang akan sabar menghadapinya. Hanya mereka-mereka yang rindu rumah yang akan melakoninya.

Yang pasti, dari engkol-engkolan saya belajar. Belajar tentang diri sendiri.

Never stop learning because life never stops teaching.

18.26 WIB, hari sempurna gelap. Kami sampai dipos 2 dengan lumpur yang semakin banyak kuantitasnya. Dipos ini, kami membereskan tenda, menata kembali barang-barang bawaan, dan hujan yang tadinya agak reda kembali hadir untuk kesekian kalinya.

Menuju pos 1, saya berangkat lebih dulu. Rekan-rekan yang lain berada dibelakang, perkiraan jarak kami 30-50 meter.

Sialnya, senter yang saya bawa tidak menyala. Maka saya memburu langkah masuk ke rombongan pendaki didepan tim kami. Perkiraan jumlah mereka sebanyak 30 orang. Saya menyusup diantara mereka. Memanfaatkan penerangan yang mereka miliki. Sekitar 5 menit berjalan, saya terpeleset, lalu tertinggal tim ini.

Antara ingin memanggil tim saya yang masih jauh dibelakang dan ingin meminta bantuan didepan, saya lantas diam sejenak.

Gelap adalah ketiadaan cahaya, Re.

Sendiri adalah ketiadaan teman, Re.

Tapi kamu punya Allah yang menerangi dan menemani. Jangan takut!

Saya membaca Al-Fatihah, lalu Ayat Kursi, lalu tiga surah Quul, ditutup dengan do’a, “Ya Allah kirim malaikatmu, please. Aku tanpa-Mu butiran debu yang hina”

Dan apa yang terjadi?

Saya mantap melangkah mengejar rombongan lain dengan kondisi gelap dan hanya mengandalkan pantulan cahaya seadanya. Jalanpun butuh bantuan tangan.

Tapi apa yang menjadi penenang? Adalah perasaan sedang dijaga.

Saya merasa ada dua makhluk dibelakang saya, bukan mengganggu, tapi menjaga.

Siapa mereka? Saya yakin malaikat yang dikirim langsung dari langit.

Allah kan gapernah tidur, dan Allah pasti jawab do’a hamba yang tak punya daya upaya.

I believe it.

Saya kembali ke rombongan tadi, mereka baik sekali memberi penerangan, sesekali menawarkan bantuan.

Terharu :)

21.09 WIB, kami tiba di Pos 1.

Hujan masih rintik-rintik, Nesty dan Mbak Wijay memesan minum. Fadhil bergegas turun lebih dulu. Saya duduk didekat perapian, minum air panas, makan cemilan, diskusi dengan seorang bapak yang solo traveler.

Malam boleh saja mencekam jengah, tapi tak ada yang lebih seru daripada diskusi hangat yang renyah.

21.39 WIB, perjalanan menuju base camp dengan segala kondisi tidak terdefinisi, lalu tiba pukul 23.00 WIB.

Kalau boleh jujur, ini adalah pendakian paling malam turun dari puncak, diantara seluruh pendakian yang lain.

23.19 WIB, sampai di BC transit, lalu mandi, beres-beres, dilanjutkan solat.

23.27 WIB Nesty masak dan kami makan malam bersama.

00.49 WIB, selesai makan dan beristirahat.

04.21 WIB Saya terbangun lalu pindah ke kursi, kemudian solat subuh.

08.14 WIB kami pulang ke Jogja dan sampai 2 jam setelahnya.

Sumbing adalah tentang perjalanan istimewa.

Ia menjelma rona-rona hikmah dibelantara.

Pada pijakan awal dan akhir yang menyarut bahagia.

Sumbing adalah tentang ketenangan hati dan jiwa.

Sebuah Puisi, Karya Reni Anggraini.

Saya tidak akan berhenti mendaki, pun ketika sudah menikah nanti, saya akan tetap mendaki. Karena pendakian dan petualangan adalah teka-teki dalam hidup. Maka dari itu, saya akan memastikan betul bahwa suami saya kelak akan bersedia diajak menjajaki atap-atap tertinggi Zamrud Khatulistiwa.

Jikapun waktu berkata lain, maka kecintaan saya pada petualangan tak akan pernah hilang. Karena kepada alam, kita tahu harus jatuh cinta kepada siapa, cinta yang tak boleh usang sedikit saja.

Saya jadi ingat sebuah quotes bagus.

Bawalah dirimu keliling dunia, tapi tunjukkan bahwa jiwa ragamu untuk Tuhan dan Indonesia!

 -Ir. Soekarno-

You Might Also Like

2 comments

  1. Kebetulan sdg rindu sumbing hingga sampai ke blog ini, sama juga dulu kena kabut, hujan hingga badai. Ternyata penulisnya cadaran ya, saya penasaran dengan dua tipe pendaki, perokok dan pemakai cadar. Just wonder how could they manage their breathing.
    Pernah jg ndaki sama wanita2 berpakaian syari, trus banyak pendaki yg memuji, saya kira wanita senang kalau diperlakukan demikian, ternyata setelah membaca tulisan mbak, risih juga ya.
    Btw tulisannya mantap jg bnyk pesan2nya, cuma hal2 absurdnya kebanyakan wkwwk peace

    BalasHapus
  2. Terimakasih untuk sudah membaca. Semoga bermanfaat. Mohon maaf kalau banyak hal absurdnya.

    BalasHapus