Ar-Rahman, Lawu, dan Kamu
Aku tidak berjanji untuk kembali.
Aku berjanji untuk mendaki lagi dalam kondisi sudah tidak sendiri lagi.
(Reni Anggraini)
Hari itu, saya lupa hari apa. Seingat saya, siang menjelang sore. Saya menge-chat sahabat saya, Ulil.
“Lil, aku udah nggak sanggup. Aku butuh ke alam. Aku butuh naik gunung”.
“Re, harus alam? Bagaimana kalau kita menyusuri malam di jalanan Malioboro? Oke, itu bukan alam. Harus gunung banget, Re? Gimana kalau pantai? Nanti kita nge-camp sambil memandang bintang dilangit”.
“Iya Lil, harus gunung. Aku cuma mau gunung. Aku mau ketemu Allah di alam, dan itu gunung”.
Saya berharap Ulil berkenan menemani saya, karena kalau di pikir-pikir, kami memiliki masalah yang sama. Beban yang hampir sama, serta kedilemaan yang juga nyaris sama.
Ulil akhirnya berkenan. Tentu saja setelah dengan banyak pertimbangan.
Begitulah mekanisme kerja seorang teman imaji. Menemani untuk mewujudkan semua imajinasi.
Percakapan kami selanjutnya adalah tentang penentuan tanggal, pengosongan jadwal, dan menentukan gunung mana yang akan didaki.
Setelah berdiskusi lama, pilihan kami jatuh pada tanggal 9-10 Oktober 2018.
Gunungnya? Masih belum jelas yang mana.
Di musim kemarau seperti ini, hujan hampir tidak pernah turun di Jogja, mungkin juga Jawa seluruhnya. Berbeda dengan Sumatera yang saya dengar sering disambangi hujan.
Konsekuensi dari pendakian di musim kemarau adalah perubahan cuaca dari panas menuju panas sekali karena kebakaran lahan di atas gunung. Hal ini tentu saja tidak hanya membuat kulit merah padam terbakar, melainkan tulang belulang yang bisa hangus dimakan kobaran si jago merah.
Merapi di tutup. Merbabu di buka hanya sampai 8 Oktober 2018. Prau sepertinya tidak mendukung. Sumbing ditutup. Slamet jauh. Pilihan mengerucut pada Sindoro, Lawu dan Andong.
Saya mengajak beberapa teman, demikian dengan Ulil. Kebanyakan teman-teman saya tidak siap, mereka juga tidak memiliki kesukaan yang sama dengan saya. Ulil mengajak beberapa teman. Hasilnya? Beberapa mau, beberapa tidak.
“Lil, jadinya ngajak siapa?”
“Ngajak temenku, Re. Dia anak UII, udah sering naik gunung”.
“Kamu kenal dekat? Kamu kenal dimana? Kamu yakin mereka baik?”
“Aku kenal di TPA, sewaktu ada acara koordinasi TPA. Masnya pendongeng anak-anak TPA”.
Bukan apa-apa, saya hanya ingin memastikan bahwa kami tidak salah mengajak teman untuk mendaki. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti ketika naik Merapi.
“Re, tapi kita harus izin dulu ke orangtua”.
“Siyyaaappp”.
Kami sama-sama meminta izin untuk pergi. Ulil meloby keluarganya, Bapaknya Ulil tidak mengizinkan kami pergi bersama laki-laki. Pertimbangannya karena dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara Mbaknya Ulil tidak setuju jika kami tidak berangkat dengan laki-laki. Harus ada laki-lakinya. Pertimbangan ini lebih kearah keamanan.
Ulil sendiri akhirnya memaparkan kedua pertimbangan tersebut ke saya, hingga akhirnya kami memutuskan dengan beberapa catatan dan kesepakatan.
“Kalau nggak ada laki-lakinya, kita perempuan berdua aja. Aku nggak masalah, tapi bahaya. Siapa yang bantu kita kalau susah turun atau mendirikan tenda?”
“Terus baiknya gimana?”
“Menurutku, tetap ada laki-lakinya. Tapi kita harus menjaga sikap, kita buat kesepakatan. Kita harus jaga-jaga juga”.
“Kamu udah izin Ibu Bapakmu?”
“Udah, aku chat adekku. Mau tau aku bilangnya gimana?”
Gini, “Dek, kakak mau naik gunung. Tolong sampaikan ke Bapak. Diizinkan atau enggak diizinkan, kakak tetap pergi. Adekku jawab, bilang sendiri. Besoknya pas nelpon aku jelaskan. Alhamdulillahnya bapakku demokratis”.
Tujuan gunung yang akan didaki masih belum fix sampai H-2. Saya galau bukan main. Selain tugas-tugas, urusan pekerjaan, dan ‘ujian’ hati terus menumpuk, kegagalan mendaki akan membuat saya semakin terpuruk.
“Re, Mas nya gabisa kalau Sindoro. Kalo Andong bisa, Re”
“Andong ndak papa, walaupun aku udah pernah naik. Tapi ya it’s okelah”.
7 Oktober, malam hari. Kami membaca berita bahwa hutan Gunung Andong terbakar.
Batal sudah!
Saya semakin risau, saya buka akun official instagram gunung-gunung area Jogja-Jawa Tengah. Mendapati foto lembaran-lembaran yang berisikan “Gunung X ditutup sampai waktu yang belum ditentukan”. Saya cari lagi, sembari membuat kemungkinan yang akan terjadi.
“Telomoyo, Re. Kata temenku lumayan bagus”.
Searching, Telomoyo! Saya pelajari beberapa foto yang muncul di hastag-nya. Hasilnya? Bahkan motor bisa sampai puncak. Sepertinya tidak begitu menantang.
“Gimana kalau Ungaran?”
“Oh ya boleh”
Tanggal 8 Oktober, sore harinya, Lahan hutan Ungaran terbakar.
Batal Part 2!
Allah, ada apa ini?
“Sindoro gimana? Eh Lawu bisa nih”.
“Masnya gabisa kalo Lawu, Re”.
“Yaudah, kita berangkat berdua aja”
Kalimat saya yang terakhir adalah sebuah keputusan paling nekat. Selain memang belum pernah ke Gunung Lawu, pendakian dua orang akhwat adalah keputusan ceroboh jika tidak dipertimbangkan dan dipersiapkan dengan baik.
“Kamu yakin?”
“Yakinlah! Kamu nggak yakin?”
“Eh Re, temenku bilang kalo temennya yang biasa mendaki baru sampai Jogja. Temennya ini mau kalau ke Lawu”.
“Oke, Lawu ya”.
Dalam sebuah grup bernama “Bismillah Lillah” yang membernya hanya saya dan Ulil, grup ini lantas menjelma menjadi berisik. Isinya semua percakapan untuk mendaki. Mulai dari perlengkapan pribadi, perlengkapan tim, persiapan logistik, pinjam sleeping bag, tas carier, bahkan sampai ke pakai baju yang kembaran.
Yang mengagetkan, 8 jam sebelum kesepakatan kami berangkat. Salah satu jalur pendakian ke Gunung Lawu terbakar. Kalau tidak salah, jalur cemoro sewu.
Saya mencari informasi lagi, DM akun komunitas Gunung Lawu, baca berita, dan melakukan segala hal yang menguatkan apakah kami batal atau tetap jadi.
Tidak ada informasi yang benar-benar menyatakan bahwa Lawu ditutup.
Maka pergilah kami!
YEAYYYYYY………..
Kalau boleh jujur, saya sebenarnya tidak ingin menceritakan perjalanan ini secara detail. Tetapi, jika saya menceritakan pada bagian yang hanya saya inginkan, akan ada banyak bagian yang sumbang. Saya khawatir, ada pesan yang tidak tersampaikan dengan jelas, ada hikmah yang terlewatkan, atau bahkan memunculkan banyak pertanyaan.
Alright, Rere akan bercerita semuanya. Bismillah.
Perlu saya beritahukan bahwa pendakian ini terdiri atas 5 orang. Saya, Ulil, Mas Richi (temennya Ulil), Mas Fahmi (temennya Mas Richi), dan Mas Imam (lebih sering dipanggil BG, juga temannya Mas Richi).
Kami berangkat pukul 07.36 WIB, hari selasa, tanggal 9 Oktober 2018. Titik kumpul di markas saya.
Perjalanan ini melewati Kabupaten Sleman, Klaten, Surakarta/Solo, dan Karang Anyar. Saya dibonceng Ulil, Mas Fahmi dan Mas BG, Mas Richi sendiri.
Kami tiba di Base Camp pendaki jalur Candi Cetho pada pukul 11. 21 WIB. Udara dingin dan pemandangan yang indah menyambut dengan mesra.
Kami membongkar carrier, menyusunnya menjadi lebih ringkas, barang yang penting dimasukkan dan dipastikan keberadaannya. Sementara yang tidak penting-penting amat dimasukkan ke jok motor.
Di base camp, kami solat zuhur dan ashar, dijamak. Makan seadanya, tidak banyak. Saya menyempatkan update story untuk minta doa.
Jam menunjukkan pukul 12.50 WIB, kami berkumpul di depan base camp. Carier sudah dipundak, semangat sudah berkobar, tersisa satu lagi, yaitu melantunkan doa-doa agar selalu dijaga, agar mampu mencecap hikmah, dan kembali ke Jogja tanpa kurang apa-apa.
Kemudian, berjalan menyusuri tangga.
“Selamat datang, Pos pendakian Lawu via Cetho”
Kami terus berjalan, melewati Pinggiran Candi Cetho. Saya dulu pernah rihlah ke candi ini bersama teman-teman Rumah Kepemimpinan. Sewaktu akan pulang, saya mengucapkan sebuah janji untuk kembali lagi. Benar saja, janji itu terbayar sudah.
Setelah sepuluh menitan, kami sampai di posko Simaksi. Si Bapak penjaga posko memberikan peta, lalu menjelaskan beberapa rute perjalanan, saran-saran bermalam, pencatatan data diri, dan diakhiri dengan prosesi membayar biaya masuk Lawu sebesar 15 ribu.

Kami berjalan lagi, mungkin sepuluh langkah.
“Selamat Mendaki Gunung Lawu Via Cetho”
Jalanan masih berupa bebatuan yang rapi, masih sangat gampang untuk dilewati.
Tak jauh dari batas ujung Candi Cetho, terdapat sebuah candi kecil bernama Candi Kethek. Candi Kethek, dalam bahasa Jawa artinya Candi Monyet. Memang ada semacam patung monyet di bagian tengah candi, kalau tidak salah, untuk pemujaan, upacara sakral.
Candi Cetho sendiri adalah Pura Suci milik umat Hindu. Biasanya, pada hari-hari kebesaran mereka, akan ada ritual untuk berdoa dan upacara-upacara yang saya tidak tahu namanya.
Kami terus menyusuri jalan, dibagian kiri jalur terdapat tanaman bawang yang menghijau. Bagian kanan adalah ilalang ukuran sedang dan pohon-pohon kecil yang tidak begitu rindang.
Beberapa plang-plang bertuliskan ‘jalur pendakian’ menjadi sebuah etalase menarik yang dibalut dengan harapan untuk segera sampai puncak.
Ah, yang benar saja!
Kami terus berjalan. Mas Fahmi didepan, saya kedua, dianjutkan Ulil, Mas Richi, dan Mas BG. Jarak kami 5-10 meter setiap orang.
Nafas saya mulai tidak beraturan. Katakanlah, ngos-ngosan.
Dulu, guru biologi saya pernah bilang, “Kalau naik gunung, satu langkah satu nafas”.
Sayapun mempraktekkannya.
Apa yang kamu rasakan, Re?
Rasanya satu langkah satu nafas? Tentu lebih menggembirakan daripada tidak bernafas. *kriiikkk
Oukeh Next.
Sudah 30 menitan, puncak belum juga terlihat. Yaiyalah! Pos 1 aja belum.
Saya menyandarkan diri kesebuah pohon.
“Ya Allah, kuatkan hamba-Mu yang lemah ini”
Beban dipundak tidaklah seberat beban hidup. Beban dipundak tidaklah seberat beban untuk terus berjuang. Tapi, karena beban dipundak, saya tak perlu memikirkan semua beban. Mengapa? Karena saya sedang sandaran. *Ecieee udah punya sandaran
Ah tapi, sebaik apapun sandaranmu, satu-satunya tempat bersandar terbaik adalah Allah Subhanahuwata’ala. Tidak ada yang lain.
Pukul 14.07 WIB, kami sampai di pos 1, Mbah Branti. Mengapa Mbah Branti? Mungkin, Mbah Branti adalah orang pertama yang sampai pos 1, atau mungkin Mbah Branti yang ketiduran di pos 1 sampai tidak jadi mendaki? Entah. Kenapa jadi mikirin Mbah Branti?
Pos 1 berada di ketinggian 1702 mdpl (meter diatas permukaan laut). Kira-kira, setinggi Gunung Andong (1726 mdpl).
Fasilitas di pos 1 adalah shelter disebelah kiri jalur pendakian. Vegetasi yang dominan adalah pohon pinus. Jarak tempuh dari base camp ke pos 1 kurang lebih sejauh 764 meter. Waktu rata-rata yang dibutuhkan adalah 42 menit-1 jam, dengan medan yang landai dan agak terjal.
Kami beristirahat, meneguk sekumpulan H2O yang Masyaaaaa Allah nikmatnya.
Tips ketika kehausan saat mendaki, minumlah secukupnya, sebutuhnya, karena kalau kebanyakan, nanti berbahaya.
Kami masih melanjutkan perjalanan, debu mulai menebal. Kalau diukur dengan mikrometer sekrup, ketebalan bisa mencapai angka yang tidak ada disana. Yaiyalah -_-
Hehe.
Menurut pengukuran seorang Rere, debu dijalur ini berkisar 2-15 centi meter.
Saya ingat sesuatu, dulu saya sering bilang, “Aku hanyalah butiran debu”. Sekarang saya tau itu salah, butiran debu mengusik kemerdekaan hidung para pendaki. Tidak lagi, tidak akan berkata begitu lagi. Wkwk.
Perjalanan menuju pos 2. Diawal jalur pendakian, kami disuguhi pinus-pinus. Setelahnya sudah beda vegetasi.
“Mas, pos 2 masih jauh, ndak?”
“Ndak, Mbak. sekitar satu jam, Mbak”
Jalanan agak terjal, berliku.
Ah tapi, lebih terjal dan berliku hidupku. *Apadeh
Dipertigaan yang tidak ada lampu merahnya, Ulil sejenak berhenti. Nafasnya sudah lari-lari.
“Gimana? Capek? Mau minum?”
Hanya sebuah gelengan.
“Aku mau istirahat juga, kamu kalo mau minum, bilang ya”.
Lalu sebuah anggukan.
Kami mendarat di pos 2 pukul 15.16 WIB. Pos 2 dinamai Brak Seng. Berada di ketinggian 1906 mdpl. Fasilitas di pos ini adalah shelter yang lebih tertutup, letaknya dibagian kanan. Sekitaran shelter terdapat lahan terbuka yang bisa digunakan untuk mendirikan 5-6 tenda dengan kapasitas sedang. Vegetasi dominan pohon damar dan puspa. Jarak pos 1 ke pos 2 sejauh 1034 meter dengan waktu tempuh 52 menit dengan medan agak terjal.
Satu lagi, dibagian selatan pos 2 berdiri pohon besar yang batangnya dililit kain berwarna kuning. Pohon ini tidak saya foto karena seuuureeemmmm……
Hehe beneran.
“Mas, ini pinus?”
“Yang tadi itu pinus. Pinus di Merapi dan Lawu itu beda, Mbak. Beda letaknya, kalau pinus di Merapi dibagian atas, Lawu dibawah”
Kepadamu, pinus-pinus.
Runjungmu terbakar hangus.
Dalam dekap dan rindu yang memberangus.
Kau harus kokoh meski dalam tandus.
Lalu kurasakan hidungku…..
Menahan perih dengan nafas mendengus.
Sajak Pinus, karya Reni Anggraini.
Kami masih terus berjalan, sesekali tersandung bebatuan. Sesekali tersandung akar. Nafas sudah memburu, jantung berdegup lebih kencang daripada biasanya. *inikah cinta?
Keringat membasahi tubuh, mata mulai liar memandang salju. Manaaa adaaaaa -_-
Eh maksudnya kumpulan awan yang mirip salju
“Lil, ayok foto disini”
“Sek bentar, pake timer?”
“iya”
Cekrek! Cekrek! Cekrek!
Ceker Ceker Ceker!
*jadi pengen makan ceker
“Re, kamu udh baca tentang Gunung Lawu?”
“Udah..”
“Terus setelah baca, kamu memutuskan apa?”
“Aku….. memutuskan untuk gamau baca lagi (Tentang Gunung Lawu)”
“Hahahah aku jugaaaaaa”
“Hahahah kok sama?”
“hahaha”
Setelah merasa cukup, kami melanjutkan perjalanan untuk segera menuju pos 3.
Haus menyergap. Keringat membanjir bagai bendungan meluap. Alhamdulillah hati ini belum mau di tangkap. *udah kayak ayam aja
“Mas, masih jauh, ndak?”
“Bentar lagi kok, Mbak”
Pertanyaan yang sama, dengan ‘kebohongan’ yang sama.
Masih 30 menitan untuk sampai di pos 3.
“Nanti sebelum pos 3 ada mata air, kita berhenti dulu, biar kalian merasakan air Gunung Lawu”.
Kami bersepakat.
Mata air yang dimaksud adalah air dari gunung yang dialirkan dengan pipa ukuran kecil. Air ini mengalir dengan deras meski musim kemarau. Kami tiba di mata air ketika jam menunjukkan pukul 16.02 WIB.
“Cobain airnya, Mbak”
Allahumma ya Allah. Airnya dinginnnnnnnn sekaliiiii. Allahumma airnyaaa….
Tangannnnku beku, Allah. Ya Allah tanganku tidak berasa apa-apa.
“Minum, Mbak”
“Hah? Gapapa diminum langsung?”
“Gapapa, kan dari gunung”.
Kalian mau tahu apa rasanya air itu?
Lezaaaaattttttt zekaliiiiiiii. Nikmaaaaaatttttt sekaliiiiiiiii….
Air ternikmat setelah zam-zam, air ter-ter-ter lah pokoknya.
Diperjalanan mendaki gunung, kita akan merasakan betapa nikmatnya air yang mengalir ke kerongkongan. Kita sering kali mendapatkannya dengan mudah, tapi tidak demikian diatas sini. Air harus dihemat, minum harus secukupnya. Merasakan nikmat tiada tara ketika butiran-butirannya membasahi bibir yang mulai pecah.Dear, Allah. Engkau menciptakan sesuatu tidak asal-asalan.
Selalu ada manfaat dan kegunaan.
Karya-Mu, Maha Sempurna.
Aku, hamba-Mu yang hina ini, terpesona.
Dear, Allah. Perjalanan ini adalah suratan takdir.
Terimakasih untuk H2O yang mengalir.
Allah Maha Baik.
Manusialah yang kadang kurang bersyukur, bahkan tidak bersyukur.
Sering kali, ketika kita kekurangan sesuatu, berada di titik limit, bahkan kehilangan, kita baru bisa mensyukurinya.
*Kayak kamu kehilangan aku? *ini Rere kenapasiiihhh
Botol minum yang sudah kosong diisi satu persatu, wajah yang berdebu diusap dan disapu. Tangan yang hitam berdebu dicuci hingga terasa membeku.Kami sampai di pos 3 pukul 16.26 WIB.
Matahari sudah mengufuk, siluetnya membuat hati terketuk, untuk terus menikmatinya tanpa rasa kantuk.
“Kita istirahat disini dulu ya”.
“Iya”
“Kita nge-camp dimana? Pos 5?”
“Iya boleh”.
“Kita makan dulu disini, udah pada laper kan?”
Kami beristirahat sejenak, minum, lalu makan, lalu minum lagi.
Sore itu, mentari seolah terburu-buru meninggalkan bumi. Gelap hampir menjajah suasana yang seindah pagi. Mengapa waktu teramat cepat bergegas pergi? Seperti tak mau berlama-lama dengan makhluk-makhluk seperti kami.
Mas Richi merasa tak enak badan. Katanya, tubuhnya gemetar. Kurang tidur, kurang makan.
Sementara senja sebentar lagi, Mas Fahmi memberi pertimbangan bahwa sebaiknya bermalam di pos 3. Karena untuk melanjutkan perjalanan, artinya kami harus menerabas malam yang gelap dan menyeramkan. Selain itu, mempertimbangkan kondisi fisik tim ini.
“Kalau kita nge-camp disini, kita bisa istirahat dengan cukup. Jam 3 bangun, subuhan, makan, jam 5 atau jam 6, kita berangkat lagi. Kemungkinan sampai puncak jam 11 siang, gimana?”
“Manut Umara”
Hemmm… tentang pos 3.
Pos 3 dinamai Cemoro Dowo. Artinya cemara yang tinggi.
Pos ini berada pada ketinggian 2251 mdpl. Fasilitasnya shelter disebelah kiri jalur pendakian. Jarak tempuhnya sejauh 723 m dengan waktu tempuh 76 menit dengan medan yang terjal.
Kami mendirikan dua tenda, yang satu kapasitas 4-5 orang. Satunya kapasitas 2 orang.
“Kalau tenda ini, satu set harga berapa, Mas?”
“Tergantung merk, Mbak. Kalau yang ini harga 1.250.000”
“Kalau nesting dan alat-alat masak?”
“Kompornya hargaa… lupa. Kalau nesting nya 150 ribuan keatas”.
“Hemm.. ya ya ya”.
Kami makan, lalu dilanjutkan solat magrib dan isya dijamak. Sembari menunggu isya, saya dan Ulil menyempatkan Ma’suratan lebih dulu.
“Sebelum tidur, Ar-Rahman dulu ya, Re”
“Okeeee”
Setelah solat, kami memasak mie yang kami beli beberapa waktu lalu. Memasak air hangat dan membuat beberapa minuman, ada yang kopi, susu jahe, energen, saya air putih hangat saja.
Pukul 21.30 WIB, Saya dan Ulil beranjak tidur.
Angin berhembus menusuk hingga kerusuk, saya kedinginan. Jaket oh jaket.
Beberapa detik kemudian, saya tidak merasakan jantung saya berdetak. Dia berhenti. Nafas saya hampir tidak ada, dingin luar biasa.
Seketika, sekujur tubuh saya seperti hilang, terbang.
Inikah kematian?
Pukul 03.00 WIB, saya tersentak.
Dingin masih menyusup, saya melihat jam di tangan kanan, lalu terseok menarik kaki yang terlipat didalam sleeping bag.
“Lil, bangun. Udah jam 3, kita solat terus subuhan, yuk”.
“Hem….”
“Lil, ayuk bangun, sepertiga malam. Sayang kalo lewat”.
“Hem..”
“Lilll……”
Ulil bangun, mengucek-ngucek mata. Lalu menarik kaki, mengumpulkan nyawa.
“Solat dimana?”
“Shelter”
“Mereka juga kan?”
Kami membangunkan Mas-Mas yang lain dengan memanggil-manggil. Biarlah berisik. Yang penting kesepakatan kami harus berangkat seusai subuh harus terlaksana.
“Mas, udah jam 3. Ayuk tahajjud, terus nanti sekalian subuhan, terus makan, terus berangkat lagi”.
“Ya Mbak, duluan aja”.
“Mas, ayuklah. Kan kita udah sepakat”.
“Hemmm..”
“Lil, gimana? Masa kita berdua aja. Lil, gimana laki-laki mau membangun rumah tangga, kalau membangunkan diri sendiri untuk sepertiga malam aja susah”.
“Hem iya”
Daaannnn…… mereka bangun!
Congrats!
Untuk sudah berhasil mengalahkan hawa nafsu.
“Sambil nungguin mereka, Kita Ar-Rahman dulu ya”
Kami berdua tilawah bersama.
Jujur, saya tidak pernah membayangkan mendapatkan sahabat yang selalu sepemikiran, sevisi, setujuan. Dia sosok yang selalu mau diajak berbuat kebaikan, Ulil. Salah satu harta termewah yang saya miliki. Salah satu pemberian Allah yang tidak ternilai.
Surah ke 55, ayat 55.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Deg.
Yang mana Re? Yang mana yang kamu dustakan?
Allah yang Maha Baik. Orangtua yang penyayang meski jauh. Sahabat-sahabat yang luar biasa. Lingkungan yang kondusif. Tempat menuntut ilmu yang sesuai. Apalagi? Yang mana lagi?Hatiku terenyuh. Ada yang menyesaki.
Apakah semua nikmat itu telah kudustakan?
Sayup-sayup, kudengar hatiku menangis. Lirih sekali.
Kenapa dia menangis?
Apa karena dia merasa telah banyak berdosa?
Telah banyak berdusta?
Kenapa, Re?
*pas ngetik ada yang ngalir dari mata
Mas Fahmi yang menjadi imam. Tahajjud dilanjutkan witir, dianjutkan solat fajar dan subuh.Diwaktu seperti ini, segalanya menjadi romantis.
Menatap bintang dilangit, melihat kelap-kelip lampu seperti gemintang yang berhambur di bumi.
Memanjatkan syair-syair doa yang manis.
Ya Allah, jagalah tim ini. Sampaikanlah kami ke puncak, kuatkan kami. Jauhkan kami dari segala mara bahaya. Biarkan kami mengambil hikmah yang teserak. Selamatkan kami sampai Jogja lagi.
Ya Allah, sayangi Ibu Bapakku, Kakakku, Adekku. Jagalah mereka, murahkan rejeki-Mu.
Ya Allah, sayangi RK, Besarkanlah RK.
Ya Allah, sayangi orang-orang yang menyayangiku.
Ya Allah, 2019 ganti status ya….
Mau yang soleh, baik, progresif, massif, rendah hati, seiman, sevisi, sepemikiran, seprinsip, setujuan, mau diajak naik gunung, tidak mengekang, mengerti diriku dengan baik, yang bisa jadi ayah terhebat untuk anak-anakku, guru ngaji terlembut untuk desaku, bupati yang merakyat untuk kabupatenku, gubernur yang bijak untuk provinsiku, presiden yang amanah untuk Indonesiaku, dan yang kalau bersamanya surga terasa dekat denganku.
Ya Allah, blablabla……
Kami sarapan. Seingat saya, saya hanya minum air putih hangat dan beberapa potong wafer.
Setelahnya, saya dan Ulil kembali ke pos mata air. Cuci muka dan sikat gigi.
Pukul 06.00 WIB, kami melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya. Mas Fahmi didepan, dilanjutkan saya dan Ulil, lalu Mas BG dan terakhir Mas Richi.
Mas Fahmi dan Mas Richi berkomunikasi via HT (Handy Talky).
“Javen 1, disini jalur menuju pos 4 terpantau aman. Kedua akhwat sedang minum, ganti”.
“Javen 2 masuk, saya yang dibelakang terpantau aman, ganti”
Saya menoleh ke Ulil. Memberikan sebuah kode untuk mengikuti mereka
“Honey 1, saya berjalan didepan anda, apakah anda lihat? Ganti”.
“Honey 2 masuk, iya saya lihat”
“Beb 1, saya bersandar di pohon, ganti”
“Akuuuuu dibelakaaanggg kamu Reeeeee”
“Hahahahahahah”
Jalanan menuju pos 4 lumayan menantang, pohon-pohon mulai rindang, debu luar biasa.
Saya menyumpal hidung dengan tissue. Perih sekali rasanya. Saat seperti itulah, saya menyadari betapa organ yang bernama hidung adalah bukti kebesaran-Nya. Allah menciptakan sedemikian rupa. Fungsinya pun luar biasa. Allah, makasih.
Beberapa pohon tumbang menutupi jalanan.
“Huaaa.. Edelweisss”
“Iya, disini udah banyak edelweiss. Tuh disana juga, tuh yang itu juga”
Setelah 35 menit, Ulil tertinggal agak jauh, saya berjalan didepan, Mas Fahmi kedua.
“I lovee you, Edelweiss”
“Kenapa edelweiss, Mbak?”
“Karena menurutku, dia bunga yang terhormat. Dia ada dipuncak gunung, tidak bisa sembarangan dipetik, dia indah tapi tidak sombong”
“Hemmmm… gituuu…… Edelweiss itu, tetap kuat meski diterjang badai dan topan. Tetap indah dan sederhana. Tapi ada satu kekurangannya, bagian bawah edelweiss yang kering ini, sering disalahgunakan oleh pendaki”
“Oh ya? Disalahgunakan gimana?”
“Dibakar, jadi rokok, terusss… apa namanya….”
“Terus…. Ngerasa fly?”
“Iya”
“Hoooo baru tau”
“Kalo diatas sana, nanti ada pohon Cantigi
“Apa istimewanya?”
“Dia kuat dan kokoh meski diterjang badai dan topan. Dia indah tapi tetap merendah, tidak sombong. Dia memberi manfaat ke pendaki, jadi tempat bersandar ketika lelah, memberikan kebermanfaatan, dia kan ngasih oksigen buat kita. Kalau disana nanti, padang sabana”
“Waahh. Iya bener”
I LOVE YOU EDELWEISS, I LOVE YOU CANTIGI, I LOVE YOU SABANA.
AKU INGIN MENJADI SEPERTI MEREKA!
Pukul 07.04 WIB. Kami sampai di Pos 4. Meluruskan kaki, lalu membasahi kerongkongan.
Allah, lezat sekali rasa air ini. Allah, sungguh tidak ada bandingannya.
Pos 4, Penggik. Berada di ketinggian 2550 mdpl. Fasilitasnya shelter disebelah kiri jalur. Area camp di pos ini bisa ditempati oleh 3-4 tenda berkapasitas sedang. Vegetasi didominasi oleh pinus gunung dan beberapa tempat terdapat sabana. Jarak tempuh sejauh 824 meter dengan waktu 80 menit lebih, disertai medan yang terjal.
Dari pos, bayang-bayang puncak dan padang sabana telah menyusupi perasaan. Menjadikannya was-was, ingin segera bertemu.
Seperti kata seseorang, bukan menaklukkan gunung. Tapi, menaklukkan diri sendiri.
Perjalanan masih berlanjut, trek berikutnya adalah jalanan terjal yang curam. Sebelah kanan adalah jurang. Salah-salah, bisa terpeleset, jatuh entah sejauh apa.
] Ilalang tumbuh dalam oase warna yang indah.
Allah melukisnya dengan porsi senada.
Semua warna-warna yang saya suka. Biru muda, hijau muda, putih, cokelat.
Saya menyempatkan mengambil beberapa foto sembari menunggu yang lain.
Perjalanan dilanjutkan hingga 09.32 WIB.
Sudah pos 5.
Hamparan sabana yang baru saja terbakar, menyisakan debu hitam pekat dan kegundulan lahan.
Dibalik itu, ada spesies yang kehilangan anak dan orangtuanya. Sementara pepohonan mulai menangisi sahabat-sahabatnya.
Sebagian terbakar, sebagian selamat.
Sebagian mati, sebagian hidup, sisanya mati dalam hidup.
Saya jadi ingat kata-kata Frank Lloyd Wright.
“Study nature, love nature, stay close to nature, it will never fail you”
Gunung adalah sahabat yang selalu punya cerita. Alam selalu punya cara untuk mengajarkan arti hidup pada manusia. Sekarang tergantung siapa yang bersedia meraup segala hikmah.
“Yang mengatakan bahwa gunung berbahaya, berarti belum sadar betapa berbahayanya terpenjara di dalam kota. Yang mengatakan bahwa gunung itu dingin, artinya belum sadar hangatnya persahabatan” -Fiersa Besari -
Ah… Begitulahhh…“Mas, mana Gupak Menjangannya? Masih jauh?”
“Bentar lagi”
Kalau kalian naik gunung, kalian akan menemukan pertanyaan yang sama, jawaban yang sama, cinta yang sama, kasih sayang dan kehangatan yang sama. *Eaakkk
Eh tunggu. Tergantung perginya bersama siapa.
Setelah terlalu bersemangat berjalan, pundak saya mulai berasa cenat-cenut, kaki saya mulai terasa agak kebas.
Saya meminta agar kaki saya dikuatkan. Karena saya tahu betul kalau saya ini makluk lemah.“Jangan meminta beban yang ringan, mintalah pundak yang kuat. Jangan meminta jalan yang mudah, mintalah kaki yang kuat. Jangan takut kalah, mintalah agar mental ditangguhkan”
Astagfirullah.
Alhamdulillah.
Hasbunallah wani’mal wakil. Ni’mal maula wani’man nashir.
Oh ya, sampe lupa.
Pos 5, Bulak Peperangan. Berada pada ketinggian 2861 mdpl. Pos 5 tidak memiliki shelter. Vegetasi didominasi oleh pinus dan sabana. Jarak tempuh sejauh 1541 m dengan waktu 65 menit lebih dengan medan landai dan agak terjal.
“Ini kebakar?”
“Iya, ini sisa-sisa kebakar”.
“Kalian haus? Minum dulu”
Semua berhenti, kami minum. Saya minum pocari sweat, dan mengemut gula merah. Hitung-hitung tambahan energi.
“Bentar lagi Gupak Menjangan”.
Mata saya sudah berbinar-binar. Gupak Menjangan menyuguhkan hamparan luas mirip padang di Australia. Ilalang berwarna putih cokelat bergoyang diterpa angin. Merahnya cantigi memberi nuansa seni yang eksotis. Sebelah kiri bukit yang dindingnya berwarna hijau royo-royo. Kanan adalah sisa-sisa terbakar yang menghadirkan degradasi warna paling epic. Sementara bagian tengah adalah jalanan setepak yang membuat kamu seperti sedang foto prewedding. *Haaaaaaaaaa kok bisaa prewedding -_-
(Kayaknya seru juga pasca-wedding di gunung) *hehe
Yeay.
Already Gupak Menjangan.
Gupak artinya bekas. Menjangan artinya semacam hewan. Jadi kalau diartikan bekas jejak hewan, atau bekas hewan. Kira-kira begitu.
Gupak menjangan berada pada 2952 mdpl, hampir setara dengan Gunung Merapi yang 2913 mdpl. Tidak ada shelter, tetapi terdapat area camp yang cukup luas. Jarak tempuh dari pos 4 ke Gupak Menjangan 451 meter, dengan waktu tempuh 40 menit, kurang lebih.
Vegetasinya adalah pinus dan savana yang luas. Jika cuaca baik, pos Gupak Menjangan akan menjadi sudut fotografi yang menarik dengan background padang savana yang luas. Kalau musim hujan, akan ada telaga yang muncul.
Kepadamu, Gupak Menjangan.
Jikalau hidup adalah seni mempersiapkan kematian.
Maka bagaimana jika hidup dalam kematian?
Bukankah kebebasan dan penjajahan adalah mematikan kehidupan?
Kepadamu, Gupak Menjangan.
Aku akan merindukan pesonamu yang menghanyutkan
Dalam larik-larik doa yang kupanjatkan
Aku ingin mencecap telagamu dengan orang yang memperjuangkan
Memperjuangkanku untuk menjadi sahabat seumur hidupnya dalam pendakian.
Sajak Gupak Menjangan, Karya Reni Anggraini.
“Mana puncaknya? Aku belum lihat”
“Kita ke Mbok Yem dulu, makan pecel legendaris”
“Dimana?”
“Setelah pasar Dieng, kita ke Mbok Yem, makan dulu. Terus ke puncak”.
Saya akan ceritakan sedikit tentang Mbok Yem kepada kalian.
Saya masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang yang mau tinggal diatas gunung. Berjualan pecel pula.
Saya rasa, hanya Mbok Yem lah satu-satunya di dunia. Itupun kalau memang ada.
“Kok bisa tinggal diatas gunung?”
“Ya coba nanti kamu tanya kalo udah sampai sana”.
“Ah, aku ndak percaya!”
“Ya nanti lihat”
Zaman seperti ini? Semodern ini?
Masih ada orang yang bisa hidup tanpa internet? Tanpa wifi? Mana Mungkin!
Siapalah laki-laki yang ‘tega’ membawa Mbok Yem jauh dari peradaban manusia. Siapalah yang rela naik-turun gunung sejauh ini. Yang seorang Rere pun perlu usaha ekstra untuk bisa sampai kepuncak.
“Kok Mbok Yem mau diajak tinggal disana?”
“Aku penasaran siapa suami Mbok Yem”
“Mbok Yem mandinya gimana?”
“Emangnya nggak dingin disana”
“Kok Mbok Yem……”
“Kok, kalo Mbok Yem….”
“Kenapa Mbok Yem?”
Blablabla.
Begitulah cerewetnya Rere. Saya kira, telinga mereka gatal sekali mendengarkan saya bercuap-cuap tanpa henti.
“Kenapa Mbok Yem mau disana? Karena diajak suaminya”
“Siapa suami Mbok Yem? Pak Yem”
“Hahahahaha”
“Hahahaha”
Anda lucu sekali.
Saya benar-benar tidak habis pikir.
“Kalau jualan pecel, siapa yang belanja?”
“Anaknya Mbok Yem, seminggu sekali”
“Kok dia mau?”
Tidak ada jawaban.
Intinya sudah jelas, saya harus bertanya sendiri. Wawancara ekslusif.
Skill reporter seorang Rere akan digunakan di sesi ini.
Wui wuiii wuiii….
It was so interesting!
“Seseorang akhirnya menarik diri dari kerumunan. Memilih jalan sepi. Memasuki hutan dan membiarkan dirinya hilang. Dan, baginya itu bahagia”. (Boy Candra)
“Apa Mbok Yem bahagia?”
“Apa Mbok Yem nggak kesepian?”
Reeeeee!!!! Berhentilahhh!!!
Sampailah kami di Pasar Dieng. Jam menunjukkan pukul 10.12 WIB.
Kalau saya boleh jujur, Pasar Dieng adalah salah satu lokasi mistis Gunung Lawu.
Pohon-pohon Cantigi, bebatuan besar, sebuah gapura.
Tidak direkomendasikan untuk melewati Pasar Dieng pada malam hari, berbahaya. Bisa tersesat karena jalurnya agak membingungkan.
Pasar ini kerap dijadikan sebagai ‘tempat ritual pemujaan’.
Menurut kabar yang saya dapatkan, Prabu Brawijaya (Raja Kerajaan Majapahit) melakukan mokhsa di tempat ini. Mokhsa artinya bertapa sampai akhir hayatnya.
Mengapa Prabu Brawijaya melakukannya?
*Waahh belum sempat nanya pula ke Bapak Prabu Brawijaya.
Ehhh…. Ciyuuussss Reee!!
Hehehe.
Waktu itu, Prabu Brawijaya sebagai raja terakhir, telah medapatkan ‘alarm’ bahwa Majapahit akan runtuh. Sehingga, ia memilih bertapa ditempat ini.

Hal itulah yang kemudian membuat beberapa tempat dikeramatkan.
Pasar Dieng berada di ketinggian 3104 mdpl. Kalau diperhatikan, banyak bebatuan yang tersusun rapi, vertikal.
Bebatuan ini adalah saksi bisu kegamangan.
Sementara pohon-pohon Cantigi adalah prajurit setia area Pasar Dieng.
Mereka menjadi barikade yang melindungi pasar ini.
Oh ya, jarak tempuh Gupak Menjangan ke Pasar Dieng sejauh 712 m dengan waktu 30 menitan.
“Kok batunya begini?”
“Iya, untuk ritual”
“Re, foto Re, foto Re”
“Siyyaaaapppp”
Puncak masih belum kelihatan. Apakah saya yang memang tidak sabar?
Allah, sabarkan hatiku. Kuatkan langkahku. Lembutkan sikapku.
Kami bertemu beberapa pendaki. Melakukan beberapa dialog untuk saling memberi informasi. Sebenarnya sejak awal pendakianpun, sudah bertemu pendaki yang lain.
Tapi, saya kira, kalau ditulis semua, tulisan ini bisa jadi buku nantinya. Hehe.
Untuk hari ini saja, saya bisa menulis hingga 20 halaman A4. Berarti saya punya kemampuan untuk melakukannya. Hanya saja saya yang tidak mau. Wkwk.
“Bentar lagi Mbok Yem”
Ketika Mas Richi berkata demikian, saya sangat penasaran.
Memang benar, diatas sana ada beberapa pondokan kecil (mirip rumah) yang berjajar membentuk sebuah kawasan ritual.
Mistis. Eksotis. Romantis. Saya terhipnotis.
Hargo Dalem. Berada di ketinggian 3142 mdpl. Setara dengan ketinggian Gunung Merbabu (3145 mdpl). Jarak tempuh dari Pasar Dieng 382 m dengan waktu tempuh sekitar 25 menitan dan medan yang terjal.
Jam menunjukkan pukul 11.14 WIB.
“Kalian mau makan apa?”
“Saya telor dadar ndak pake garam, sama nasi”
“Saya soto”
“Okeh, berarti soto 1, pecel 3, nastel 1”
Mas Richi dan Mas Fahmi berbincang-bincang dengan Bapak-Bapak yang juga mampir ke warung Mbok Yem. Mas BG? Sudah dialam mimpi. Orang satu ini bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun selama perjalanan. Hemat bicara kali ya.
“Mbak, Mbok Yem yang mana, Nggih?”
“Oh itu dibelakang”
“Mbak, siapanya Mbok Yem?”
“Tetangganya, Mbak”
“Ohh…”
“Mbak, mau nanya, boleh? Kok mau tinggal digunung?”
“Iya, ikut suami”
“Tapi Mbak suka?”
“Suka nggak suka ya dijalani aja, Mbak”
Saya mengangguk. Teman-teman yang lain menoleh kearah saya.
“Mbak, tapi kenapa gunung?”
“Kalau di kota, saingan udah banyak. Kalau belum besar, susah Mbak. Kalau digunung, sudah jelas pembelinya para pendaki”.
“Terus ini dapet airnya darimana?”
“Ohhh jauh Mbak. Sekitar 4 kilo kalau dari sini”
“Hemm… ya ya ya”
“Mbak, boleh foto?”
“Oh boleh-boleh
Lalu kamipun berfoto.
Mbok Yem adalah bukti. Tentang pengabdian seorang istri pada suami.
Mbok Yem adalah kunci. Pada laparnya perut-perut pendaki.
Mbok Yem adalah Mbok-Mbok. *Ya masa Bapak-Bapak
Dear, Mbok Yem. Aduh Bingung Rere mau bilang apa. Dear, Mbok Yem.Makasih ya. Untuk sudah mengajarkan arti setia.
“Re, kamu mau nggak kalau tinggal digunung?”
“Ya kalau ada yang ngajak”
“Ya suami kamu”
“Mau, kalau dia memang ngajak tinggal digunung”
“Maksudnya gunung dalam artian yang beda. Tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, didesa mungkin, jauh dari keramaian”
Detik ketika tulisan ini diketik, Rere tak sudi tinggal di kota yang penuh retorika.
Rere maunya didesa, memancing ikan disungai, berjalan-jalan ketepian sawah, mengajar anak-anak mengaji, mendirikan Sekolahnya Manusia, memberdayakan perempuan, memperbaiki sektor pendidikan. Itupun, harus bersama dengan seseorang yang membuat hati ini nyaman.
Kalau suamimu ngajak tinggal dikota?
Dalam sebuah file bertuliskan “Nikah 2019” dilaptop Rere. Di dalamnya terdapat file tipe suami Rere. Salah satu tipe nya adalah…………
*gausah kepo deh -_-
Eh tapi, sekarang kan kamu di kota? Lah iyaaa…..
Back to Mbok Yem.
Eh salah.
Back to Pendakian.
Setelah energi tercukupi, kami bergegas kepuncak.
Jalanan menanjak, batu-batu besar, debu menguap kepermukaan.
Jangan tanya bagaimana kondisi saya.
Kerudung berdebu, kaos kaki sudah hitam karena debu, jaket kotor tak berbentuk, wajah menghitam, tangan seperti main arang, kuku kontras merah-hitam, pokoknya enggak banget kalo dibilang cantik. Ini baru naik, belum turunnya.
Eh tapi, eh tapi.
Saya merasa cantik, apa adanya.
Saya merdeka dengan keputusan saya. Saya merasa bahwa itulah saya.
Saya merasa bahwa saya menjadi diri saya sendiri, tanpa paksaan standar dari orang lain.
Kalau katanya Jenn Proske, “Love yourself. It’s important to stay positive because beauty comes from the inside out”
Yeah. Beauty isn’t only physically.
Hargo Dumilah. Puncaaaaaakkkkkkk!Aku tidak mau bangun pagi untuk sesuatu yang tidak kusukai.
Aku tidak mau menua untuk sesuatu yang tidak kucintai.
Aku hanya mau hidup untuk sesuatu yang akan kuperjuangkan sampai mati.
(Reni Anggraini)
Huehueee…
Kubahagiaaaaaaaa….
Masih tidak menyangkaaaaaaa….
Aaaaaaaaaaa Terharuuuuuuuuu….
Hargo Dumilah berada di ketinggian 3265 mdpl. Jarak dari Hargo Dalem sejauh 260 m, waktu tempuh 15 menit dengan jalan yang terjal.
Sebuah bangunan berdiri kokoh. Apalah namanya? Sebut saja tugu puncak.
Angin kencang menyambar, birunya langit memancar kedamaian hingga ke hati.
Awan menggulung menyapa manusia-manusia belum mandi dua hari.
Kalau dia bisa berkata, mungkin dia akan bilang “Kalian kucel sekali”.
Tapi tidak untukku, dia akan bilang “Hei kamu, manis sekaliii”
“Gimana perasaan kalian?”
“Seneng. Terharu. Speechless”
“Makasih udah nganterin ke puncak”
“Iya, maksih udah sabar”
Kami berfoto bersama, berfoto sendiri-sendiri, menuliskan ucapan-ucapan.
Waktu itu, jam 12.38 WIB.
Kami hanya punya waktu tidak sampai satu jam untuk menikmati tanah tertinggi Gunung Lawu.
Ternyata aku mampu!
Karena apa? Karena Allah yang memampukan.
Pukul 13.27 WIB. Kami bergegas turun, khawatir terlalu malam sampai Jogja.
Perjalanan turun biasanya setengah dari perjalanan naik.
Oh ya, total perjalanan naik adalah 10,5 jam. Total jarak dari base camp ke puncak adalah 16 kilometer. Total seluruh perjalanan naik-turun gunung 32 km. Selama 16,5 jam.
Terimakasih puncak. Terimakasih Alam.
Terimakasih Janaka Ventura. Terimakasih Allah.
“Dunia itu seluas langkah kaki, jelajahi dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya”
-Soe Hok Gie-
16.07 WIB kami sampai di pos 3. Sewaktu menuju pos 3, saya sempat terjatuh beberapa meter. Kaki kiri saya terlipat entah bagaimana, menyisakan rasa ngilu dibagian betis. Beberapa meter sesudahnya, saya jatuh lagi, kali ini kaki kanan yang menatap akar.
Sempat ingin menangis, tapi saya tahan. Lagian, saya setengah berlari menuruni jalanan terjal. Salah sendiri.
Walhasil, saya berjalan terseok-seok sambil membungkam mulut diperjalanan.
“Re, kamu kenapa?”
Geleng.
“Re, kamu sakit?”
Geleng.
“Re, kamu kok diem aja?”
Ngangguk.
Percayalah, kalau ada perempuan yang tadinya ceria, terus tiba-tiba berubah, berarti ada sesuatu yang tidak beres.
Di pos 3, kami solat zuhur dan ashar. Dilanjutkan makan sedikit, packing, dan bergegegas turun. Perjalanan dari pos 3 ke base camp baru dimulai pukul 18.00 WIB.
Senja sudah tiba, hari ini berbeda.
Rere yang tadinya ceria menjadi diam tanpa aksara.
19.00 WIB, pos 2.
19.40 WIB, pos 1.
Sewaktu dijalan, saya banyak-banyak beristigfar.
“Allah kuatkan kakiku”
“Allah, kuatkan aku"
Lahawla wala quwwata ilabillah.
“Ya Rabb, aku lemah, tolong kuatkan”
Dari pos 1 menuju Candi Kethek.
Sebuah percikan api muncul dari balik pepohonan. Sayup-sayup, saya merasa ada energi lain selain kami. Energi yang besar.
Energi yang membuat saya merinding.
Saya semakin banyak beristigfar. Membaca ayat kursi, membaca semua yang bisa dibaca. Berdoa sebanyak-banyaknya.
Semakin lama, energi itu semakin besar. Entah apa.
Lalu menghilang.
Sungguh, Allah Maha Menjaga.
20.20 WIB kami tiba Candi Kethek.
20.35 WIB, Sampai di Simaksi, mengambil KTP.
20.46 WIB, mendarat di base camp.
Lalu bersih-bersih, mandi, solat, makan, beres-beres, istirahat.
Sejujurnya, saya lebih sering mendaki di malam hari. Lalu turun pagi atau siang hari. Baru pertama kali, saya naik ketika pagi dan pulang ketika malam.
Perjalanan turun gunung ini lebih seperti ‘Ekpedisi Gila’.
Pohon-pohon menjulang, gelap mencekam, jalan setapak yang menjanjikan suram.
Suara angin keras menghantam. Dingin menusuk hingga lebam. Lelah sudah membuncah ruam.
Saya melihat bintang, dia terasa dekat. Saya melihat pohon, dia mengerikan. Saya melihat ilalang dan dedaunan, dia menggerayang. Langkah saya sudah terseok-seok tak karuan.
Mengerikan, Horror.
Percayalah.
Kami bersepakat untuk pulang ke Jogja esok pagi. Setelah mentari rapi menyinari bumi.
06.02 WIB, Hari Kamis. Kami kembali ke Jogja. Tiba dimarkas saya pukul 09.51 WIB Alhamdulillah.
Allah, segera pulihkan hamba-Mu.
Jatuh cinta yang tidak akan pernah patah hati adalah jatuh cinta kepada alam.
Pada detik yang sama ketika tulisan ini kuketik, aku tidak ingin jatuh cinta.
Aku ingin membangun cinta. Padamu yang nanti mengucap janji setia, sembari menjabat tangan Bapak disaksikan ribuan pasang mata.
Kelak, kaupun akan kuajak menjajaki atap-atap tertinggi Zamrud Khatulistiwa.
Baiknya, siap-siap saja.
Tak perlu bertanya kabarku, mengechatku, atau mau tahu kegiatanku. Karena ada Allah yang selalu menjagaku. Cukup fokus pada dirimu untuk berani mengetuk pintu rumahku.
Sesegera yang kau mau.
Tapi ingat, aku tidak butuh cokelat, bunga, dan puisi-puisi indahmu.
Semua itu terlalu murah bagiku.
Kau juga tak perlu menunjukkan kekuasaan, capaian, segudang prestasi, apalagi sederet angka-angka yang menunjukkan kemapanan.
Aku benar-benar tidak membutuhkannya. Setidaknya untuk saat ini.
Aku butuh visi besar yang sejalan, misi rahasia yang sepemahaman, cara yang setujuan, tekad dan kemauan untuk berjuang mengukir peradaban.
Biarlah waktu yang akan menjawab, bahwa kita akan saling menghebatkan.
Biar sejarah yang mencatat, bahwa kita akan menabur benih perubahan dan kebaikan.
Disini, alam sudah berbaik hati, untuk telah menunjukkan ke-Maha Dahsyat-an Illahi.
Disini pula, aku ingin segera menyelesaikan skripsi. Supaya bisa kau bawa pergi.
Mengarungi samudera luas tak bertepi.
Atau mungkin nanti, berjalan bersisian di tepian pantai melepas senja pergi. Menghancurkan belenggu hedonisme yang membuat menusia tak mampu membeli kemerdekaannya sendiri. Membiarkan langkah kita jauh dari sorot kamera dan televisi.
Untukmu, yang namanya tak mampu kueja.
Yang selalu kuselipkan dalam doa.
Yang sebenarnya akupun tak tau siapa.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita. Kalau tidak didunia, mungkin dialam yang sudah disiapkan oleh-Nya.
Sekarang, bolehkan aku fokus berbenah untuk menjadi sebaik-baik perhiasan dunia?
Selamat Malam, Selamat mengukir mimpi.
Untukmu, (calon) Teman Imaji.
Sebuah Sajak, di Gunung Lawu (GUndah meNUNGgu LAmaran dan Wacanamu kerumahkU)
3265 mdpl.
Karang Anyar, Jawa Tengah- Magetan, Jawa Timur.
Ditulis di Perpustakaan Kota Yogyakarta.
10 Oktober 2018
23.09 WIB

0 comments