Social Movement : Sejarah Dimulai!

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, kalau yang bagian satu terkesan ‘curhat’ mungkin bagian kedua akan sedikit berbeda, yaitu mengungkapkan isi hati. ( Lahapa bedanya?)

Kalian mungkin perlu tahu, saya sudah mandi, sudah rapi, dan sudah wangi ketika menulis tulisan ini.

Kalian juga perlu saya beri tahu, matahari tersenyum bahagia diluar sana, udara segar  tidak begitu panas, dan burung berkicau di atap asrama. Jogja memang selalu menghadirkan suasana nyaman bagi seorang pujangga.

Rumput di halaman belakang tumbuh subur, sesekali mereka melirik ke arah saya yang senyum-senyum sendiri di depan kaca. Mereka seolah tahu, bahwa hati saya sedang berbunga-bunga. (Tapi ndak tahu kalau setelah ini ada yang mengubahnya).

Tulisan ini adalah kisah dirumah, tolong di note bahwa apapun yang ada didalamnya adalah yang sebenarnya terjadi. Baiklah, saya akan mengutarakan dalam beberapa bagian.

Pertama, semuanya bermula pada 25 Juni 2018, H-2 menuju penentuan pemenang pilkada 2018. Ada beberapa diskusi yang terjadi antara saya dan Ibu.

Foto 1: Desa saya

Foto 2: Desa saya dan saya.

Mom, paslon Gubernur ama Bupatinya kampanye ke sini?”
“Iya, kalau Bupati ada  paslon yang ngasih sendok, ada yang ngasih ikan lele, minyak goreng, kemarin janjinya mau ngaspal jalan kampong kita” Ibu saya menjelaskan.

Deg. Berpikir

Terus Mom, ada ngomongin visi misi kah? Program unggulan yang mau dibawa, apa Mom?” kali ini saya ingin mencari sesuatu.

Ibu saya diam, berpikir, lalu menggeleng.

Saya belum paham betul mengenai teknis dan segala aturan mengenai pilkada, tapi yang jelas, money politics apapun bentuknya adalah hal yang tidak dibenarkan.

Masyarakat memang tidak diberi uang secara langsung, karena uang tersebut sudah berubah menjadi ‘barang’ yang bisa mereka manfaatkan. Maka, kalau ada pihak yang menuduh “Hei kamu, politik uang” maka mereka akan menjawab “kami hanya meminta do’a dan dukungan, lalu kami memberi sesuatu untuk mereka, sebagai tanda terima kasih, we didn’t give any money” Selesai!

Sayangnya, masyarakat selama  ini terkesan acuh tak acuh. Selama menguntungkan, take it!

Ini fenomena yang jelas terjadi di daerah saya. Wallahu’alam di daerah lain. Sepertinya sama saja.

Hari itu saya gelisah. Selain memang Medan suhunya lumayan membuat tubuh meleleh, ada yang lebih mampu mengutak-atik perasaan ini, birokrasi.

Maka, malam harinya, besok paginya ditanggal 26 Juni, siang harinya, sore harinya, sampai malam lagi. Saya mengontak beberapa teman, meminta berdiskusi, mencari referensi, mengamati yang sudah terjadi, kemungkinan dan peluang terburuk.

 

 

 


Keterangan : Beberapa screenshot percakapan dengan orang-orang strategis.


Saya mengontak Habibie, salah satu Sultan 8 yang belakangan saya tahu punya banyak data dan memungkinkan untuk membantu memberi saran. Saya berdiskusi dengan Razi, Prabu 8 yang dikabarkan  pernah diminta nyaleg. Saya berdikusi dengan Abiyyu, salah satu Nakula 8 yang juga tinggal di Sumut. Saya juga meminta berdiskusi dengan pengurus bahkan ketua salah satu komunitas di Medan, Turun Tangan.

Hasilnya? Konsep pencerdasan politik untuk masyarakat.

Then, What? Nothing.

Waktu 24 jam tidaklah cukup untuk mencerdaskan 1,1 juta penduduk (di kabupaten). Apalagi saya sendiri masih ‘bodoh’ perihal politik dan segala hal didalamnya. Yang paling menyebalkan, saya tidak punya tim yang sevisi untuk ini.

Karena semua orang ‘ogah’masuk ke ranah politik, selain berbahaya, mereka bilang politik itu jahat.


“Buta terburuk adalah buta politik, orang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung pada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar ‘Aku benci politik’. Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk; korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri” – Bertolt Brecht

Sudah terlambat untuk ‘menyelamatkan’ pemahaman masyarakat tentang pilkada 2018, tapi tidak ada kata terlambat untuk memulai perbaikan.

Maka hari itu tiba, 27 Juni 2018, Pilkada serentak.

Saya Rere, ‘bocah’ paling gusar selama hari itu berlangsung.


Foto 3: Setelah nyoblos. Keren kan fotonya?
Selanjutnya, masuk ke bagian kedua.

Setelah sejenak mencoba melupakan perihal pilkada, saya disibukkan dengan acara pernikahan teman yang akan berlangsung 3 hari lagi. Sebuah acara yang kemudian membuka mata saya, untuk selalu bertanya apa yang terjadi di desa, informasi apa yang harus saya dapat, tanpa harus menunggu, namun memulai untuk bertanya.


Ini bukan tentang saya yang menjadi salah satu panitia diacara tersebut, ini juga bukan tentang saya yang menangis ketika teman saya akad (siapa yang nikah, siapa yang nangis), ini juga bukan tentang jantung saya yang berasa mau copot ketika prosesi sungkem si pengantin baru.

Tidak, bukan tentang itu.

Ini adalah tentang fakta yang baru saya ketahui.

Bahwa sesungguhnya kasus pernikahan dini di desa saya persentasenya cukup tinggi. Memang tidak ada data spesifik yang bisa saya cantumkan disini, namun kalau di hitung-hitung dari puluhan anak remaja di desa, hanya satu, dua, tiga orang yang menikah karena memang mau menikah. Maksudnya begini, kebanyakan menikah karena ‘accident’atau lebih dikenal dengan ‘married by accident’. Usia rata-rata yakni 16-17 tahun dan sudah ketahuan  hamil duluan.

Ya Allah, Ya Muqqalibbal Qulub. Tetapkanlah hati kami dalam nikmat iman dan islam. Jagalah kami dari godaan syaitan, lindungilah kami dari segala mara bahaya.

(Sejujurnya saya sendiri khawatir perihal ini, karena saya seorang perempuan).

Data dari Reni Kartikawati, seorang peneliti dari Program Magister Kriminologi Peminatan Perlindungan anak menjelaskan bahwa di tahun 2016 menunjukkan bahwa 22.000 perempuan muda di Indonesia berusia 10-14 tahun sudah menikah, terutama terjadi di pedesaan. Selain itu, usia kehamilan umur remaja yakni usia 15-19 tahun sebesar 1,97 pesen. Dari data ini, angka pernikahan anak di Indonesia tertinggi kedua di ASEAN (Netral news, 2016).

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani pernah mengungkapkan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia terjadi pada usia di bawah 18 tahun, atau setara dengan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Dikutip dari Republika edisi Maret 2018.

Let See this one !

Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, batas usia menikah bagi perempuan 16 tahun, sedangkan pria 19 tahun. Lalu dijelaskan dalam pasal 2 ayat 1, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Mereka menikah dibawah umur jika dilihat dari yang ditetapkan undang-undang. Jika mengajukan ke Pengadilan untuk pernikahan dibawah umur yang sudah terlanjur ‘accident’, biasanya diizinkan. Ini kata teman saya yang anak hukum.

Ah.... Ntahlah..

Yang paling parah adalah pemahaman orangtua dalam menyelesaikan masalah anak-anak mereka yang sudah terlanjur ‘harus menikah segera’.

“Ada yang ketahuan hamil sekian bulan, tapi yang laki-laki nggamau tanggung jawab. orangtuanya orang terpandang, dihormati, akhirnya orangtuanya ‘lelang’. Siapa laki-laki yang bersedia menikahi anaknya akan diberi imbalan”

“Haaaaahhhhhhh???? Mommmmm….. seriusssss?????”

Maka setelah mengetahui kabar tersebut, saya lantas mengajak diskusi di grup Nakula Srikandi 8. Saya butuh pandangan dari segi hukum, agama, kesehatan, gender, sosial, antropologi, dan aspek lainnya.

Maka, diskusi yang terjadi membuat saya menyimpulkan sesuatu,

Pertama,  mengapa ini bisa terjadi?  Kedua, kira-kira apa solusi terbaik?

Mencari akar masalah, hadir bersama mereka, duduk bersama mereka, menghirup aroma tanah, maka persoalan ini akan menjadi jelas.

Saya jadi ingat sesuatu, sekitar 4 tahun yang lalu, teman SD saya ketahuan hamil diluar nikah. Keluarga besarnya meminta pertanggungjawaban ke pihak laki-laki. Namun bukannya bertanggung jawab, keluarga si laki-laki malah menjawab “memangnya anak itu darah daging anak saya? jangan-jangan itu anak orang lain”

Teman SD saya itupun meronta “Sumpaaahhh demi Alllaaaaaahhhhh ini anak Mas X, aku tidak pernah melakukannya dengan orang lain, silahkan tes DNA, Aku nggatakutttttt”.

Tangisnya pecah, hatinya hancur.

Hingga ia melahirkan, ia menjadi orangtua tunggal anak itu. Laki-laki yang menghamilinya? Hilang ditelan bumi.

Suatu sore, menjelang hari-hari menuju kelahiran, saya menyempatkan main kerumahnya.

Gimana-rasanya -hamil?” saya bertanya dengan perasaan ragu dan berusaha tetap tersenyum.

“Rasanya? Campur-campur. Kadang kaget ada yang nendang-nendang diperut, kadang bahagia ada kehidupan di dalam sana, tapi kadang sedih ngga karuan”.

Saya menatapnya. Lamat-lamat.

Sore hari menuju senja, dua orang perempuan muda duduk bersama. Hati mereka hancur lebur.
Ya Allah, hatiku retak, pecah, berkeping-keping.

Sambil mengalihkan mata yang mulai membanjir, saya berkata lagi. “Aku pengen gendong anakmu, tapi dirumah 3 hari lagi, terus udah harus pergi, kira-kira udah lahir belum?”

“Aku ngga tau, doakan saja”

Memori sore itu masih melekat jelas dikepala saya, saya ingin menyampaikan sesuatu ke anaknya, ‘kamu harus jadi anak yang kuat, jaga ibumu, jadilah anak yang baik’.

Senja yang paling menyakitkan untuk saya, karena sampai detik ketika tulisan ini di ketik, saya belum bertemu anaknya, belum menggendong, belum mengucapkan  kalimat itu.

Anak itu sudah diambil orang lain!

(Nulisnya sambil nangis beneran)

Ya Alllah nyesek banget nginget ini.

(ngeliat kekanan, kekiri, ngga ada bahu buat numpang nangis barang sebentar saja)

Baiklah, lanjut.


Kabar baiknya, Tahun 2014, Sekretaris Jendral Perserikaan Bangsa-Bangsa (PBB) merekomendasikan target khusus dalam tujuan pembangunan berkelanjutan pasca 2015 untuk menghapus perkawinan usia anak. Rekomendasi ini didukung 116 negara anggota, termasuk Indonesia.

Tambahan lagi, lebih dari 100 komitmen untuk menghapus perkawinan usia anak dan mutilasi genital perempuan di deklarasikan pada KTT Anak Perempuan yang diselenggrakan oleh UNICEF dan pemerintahan Inggris.

Awal Juli, satu-satunya solusi yang muncul di kepala saya adalah “Edukasi Pernikahan Dini”. Pencerdasan ke orangtua melalui media kajian/wirit bersama.

Saya perlu bergerak, karena diam artinya mati.

Namun, untuk yang kedua kalinya, saya benar-benar tidak punya tim, dan ini saya sadari ketika semuanya sudah terkonsep sedemikian rupa.

Dear, My Self. Bisakah engkau bekerja lebih cerdas?

Kalau melihat salah satu kabupaten di DIY, yaitu Gunung Kidul. Angka pernikahan dini menyabet yang tertinggi se-DIY. Malahan, menurut teman saya yang tinggal disana (sekarang sudah sarjana dari Fakultas Kedokteran UGM), anak-anak disana juga mengalami MBA, married by accident.


Foto 4: Pernikahan (sangat) dini.

Yang mencengangkan, seorang remaja perempuan di perkosa, hamil, lalu dinikahkan dengan orang yang memperkosanya.

Logikanya, si perempuan ini adalah korban, dia trauma berat, bagaimana mungkin dia dinikahkan dengan laki-laki yang sudah mengancurkan hidupnya? Bagaimana mungkin dia mampu hidup bersama dengan orang yang merampas kehormatannya?

Itu sama saja dengan membunuhnya secara perlahan.

Gila, sebuah tindakan dan keputusan Gila !!!!

Dear, all men in da world……….
I am specchless.

Oke, bagian ketiga,  fakta lain yang baru bisa di dapat paska lebaran adalah ‘kondisi pemuda’ di desa.

Selama penghujung bulan ramadhan, saya berusaha ‘menghadirkan’ diri ditengah masyarakat, tadarus sore hari bersama anak-anak, ikut ibu belanja ke pasar, ikut ibu ke ladang, membagikan undangan teman, main bersama anak-anak, dan lainnya.

Upaya itu adalah bentuk ‘memperlihatkan’ bahwa saya pulang, saya ada, saya bisa bantu apa?

Meski tak jarang muncul pertanyaan “Kakak, kakak anak siapa? Kakak rumahnya dimana?  kakak orang baru ya?”

Yeah.. 7 tahun meninggalkan kampong halaman  bukanlah waktu yang sebentar. Wajar saja kalau orang-orang lupa atau bahkan tidak tahu saya siapa.

Kalaupun mereka ingat, satu-satunya yang ada dalam ingatan mereka adalah ‘oh itu anak Pak Ali yang paling sering nangis’.

Tapi saya tidak mempermasalahkan hal itu. Saya pulang untuk mengabdikan diri. Melepas label yang kadang disematkan tanpa diminta.

“Ciyee… anak Jawa” Whatever.

Anak remaja di desa saya adalah mereka yang sedang maruk-maruk nya dengan gadget. Ibarat air minum, mengakses ‘sesuatu’ di gadget adalah hal yang harus selalu dikonsumsi setiap saat.

Generasi merunduk, generasi x,y,z, generasi zaman now.

Foto 5: anak-anak dan gadget.

Memang benar, teknologi menggerus kesulitan-kesulitan manusia. Mempermudah segala hal, katanya.

Oh ya? Emangnya masuk surga pakai teknologi? *iya, teknologi iman dan taqwa.

Well, teknologi digadang-gadang sebagai sesuatu yang mendekatkan kita dengan yang jauh, dan menjauhkan kita dari yang dekat.

Lihat saja sekeliling, rapat berlima, maka sudah bisa dipastikan kelima orang itu punya dunia masing-masing.

Dunia gamang, orang-orang terkekang dalam dunia tidak nyata. Dunia yang melenakan.

Mungkin perlu nonton ‘Ready Player One’.

Ini terjadi di kalangan remaja, atau sebut saja pemuda di desa saya. Mereka mengakses yang tidak perlu diakses, mereka ditelan over information yang bias, sulit dibedakan.

Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018, jumlah pengguna aktif smartphonedi Indonesia lebih dari 100 juta orang (Kominfo)

Gambar 1: Grafik Pengguna Internet di Asia

Faktanya? Angka penggunanya memang benar-benar meningkat.

Appreciate!

Dari total 262 juta penduduk Indonesia, 143,26 juta jiwa di antaranya diperkirakan telah menggunakan internet, baik dari komputer desktop, perangkat mobile, atau dari fasilitas lainnya. Angka ini naik dari tahun 2016 dimana penetrasi menyentuh angka 132,7 juta jiwa (Techinasia.com, 2018).

Gambar 2: Data penetrasi internet di Indonesia berdasarkan wilayah


Gambar 3: Data komposisi pengguna intenet di Indonesia berdasarkan pekerjaan


Gambar 4: Data komposisi pengguna internet di Indonesia berdasarkan usia

sumber : https://www.google.co.id/amp/s/id.techinasia.com/penetrasi-internet-di-indonesia-2017/amp/

Lalu?

Begini, teknologi ibarat dua mata pisau.


Jika kita tidak benar-benar bisa mengontrol diri, memanfaatkan dengan baik, maka kita yang akan terjerumus.


Poin inilah yang saya khawatirkan terjadi pada anak-anak, remaja, ataupun pemuda desa.

Solusinya?

Mungkin benar yang dikatakan Mas Hamzah Hafiq dalam story IG yang sempat beliau posting beberapa waktu lalu. (akun ig nya @hamzahhafiq)

Mas Hafiq menyoroti perihal teknologi, internet, dan anak-anak yang menyalahgunakan atau menyalurkan ekspresinya dengan media semacam tiktok dan kawan-kawannya.

Salah satu solusi yang ditawarkan Mas Hafiq (kira-kira begini bunyinya) ; pembatasan usia dalam penggunaan HP.

Ada satu kalimat Mas Hafiq yang menurut saya bagus “Biarlah anak saya kelak ketinggalan zaman, daripada dia kehilangan adab dan sopan santun karena HP nya, toh dulu sewaktu kita SMA, belum ada akses internet semudah sekarang, kita baik-baik saja kan?”


That’s right!!!!!

Sayapun pernah hidup 3 tahun diasrama tanpa TV, HP, Laptop, dan tiktok.

Semuanya baik-baik saja!

Tapi, untuk urusan anak di desa? Bagaimana caranya agar mereka tidak memakai HP, gadget, internet, atau yang lain-lain untuk sesuatu yang tidak benar?

Bagaimana caranya? Tolong beri tahu!

Maka ditengah kegelisahan yang sudah menjadi-jadi, saya akhirnya berdiskusi dengan Riyana. Salah satu srikandi favorit yang kalau ada versi laki-lakinya saya mau.

Riyana bilang, “Re, masalah itu sudah jadi masalah bangsa ini, kita perlu meluaskan pandangan. Jangan-jangan mereka seperti itu karena orangtua yang tidak perhatian, orangtua yang pola asuhnya belum baik. Jangan-jangan itu bentuk mereka mencari kesenangan yang lain, mengekspresikan diri. Kalau kita mau menyelesaikan masalah anak-anak yang kecanduan gadget atau salah pergaulan atau salah menggunakannya, maka kita harus hadir disana. Kita harus ada untuk mereka, kita harus tau duduk masalahnya, dan mengalihkan hal yang negatif ke hal postif”

Riyanaa,,, I love you !
Malam harinya, setelah scroll up scroll down layar handphone, saya memutuskan sesuatu.

“LAKSDA (Latihan Kepemimpinan Anak Desa) harus segera di eksekusi”

Ini adalah konsep pembinaan anak-anak remaja yang isinya adalah pelatihan, diskusi, dialog tokoh, games, team building, yang kalau boleh jujur, ini adalah RK versi desa.

LAKSDA sendiri  bertujuan untuk memberi fasilitas kepemimpinan pada anak-anak di desa. Tentu saja ini konsep 'mengalihkan' ke arah yang positif.

Saya berencana mengajak Sultan 8 untuk ikut dalam agenda ini. Sayangnya mereka pulang kampong and….Untuk yang kesekian kali, I am alone!

Tidak ada tim, tidak ada sumber daya manusia.

Dikerjakan sendiri? Bisa!

(Bisa masuk rumah sakit) hehe.

Maka, untuk yang kesekian kali, dengan berat hati saya katakan  agenda ini batal.

Sedih? Iya. Tapi Allah Maha Baik, kan?

Tak berselang lama, tepatnya lebaran ketiga, saya seperti mendapat secercah harapan. (sudah ditulis di blog, judulnya Sepenuh Hatiku, Untukmu Langkat). *sebaiknya dibaca terlebih dahulu untuk yang belum baca.

Sepanjang jalan pulang dari acara reuni teman-teman SMA Bapak, saya berdiskusi perihal what to do for the next.

Alhamdulillah saya punya Bapak yang tipikalnya demokratis. Mengutarakan ide, berdiskusi, memberi pertimbangan, menyepakati, lalu eksekusi.

“Permasalahan yang seabrek ini amat berat kalau diselesaikan dengan metode bottom-up, maka ini harus diselesaikan dengan cara top-down

Ide untuk melakukan “Audiensi Bupati Terpilih 2019-2024” menjadi jalan yang akhirnya membuat cerita selama dirumah menjadi lebih berwarna.

Saya mengontak Awi, salah satu Sultan 8 untuk membantu saya dalam agenda ini. Mengapa sultan? Dan mengapa Awi? Karena Sultan (RK Medan) adalah saudara yang paling saya percaya, sedangkan Awi adalah salah satu Sultan yang tinggal sekabupaten dengan saya.

Awi mengontak teman-teman yang sekiranya sepemahaman dengan visi ini. Sementara saya mengonsep, memikirkan sesuatu.

And then, kami akhirnya kumpul bersama di alun-alun kota.


Foto 6: Dialun-alun Kota Stabat
 Sore hari yang cerah, dibawah langit yang indah, dan dengan secangkir es kelapa.

Berdiskusi perihal masalah, fakta-fakta, dan bagaimana penyelesaiannya. Hari itu 6 Juli 2018, pertemuan perdana kami.

Mohon maaf saya tidak bisa menuliskan apa hasil pertemuan ini. Semata-mata untuk keamanan bersama.
Pertemuan selanjutnya hari minggu, 8 Juli 2018 di rumah saya.

Diskusi menarik, kami membahas something bigger untuk kabupaten Langkat. Perjalanan kami akan panjang, maka dari itu kami berjanji untuk tetap bersama.
Mohon do'anya.

Singkatnya begini, Kami ingin perubahan di kabupaten Langkat. Perubahan dalam artian pemerintah benar-benar melaksanakan visi misi beserta programnya selama menjabat. Pemerintah tidak menyalahgunakan birokrasi, tidak berbuat curang, serta menepati janji kampanye. Pemerintah semata-mata mengutamakan kepentingan rakyat, kepentingan bersama, bukan golongan atau bahkan pribadi.

Kami ingin agar kabupaten ini bersih, birokrasinya baik, pendidikan dan infrastruktur diperbaiki, sistem dan segala aspek didalamnya juga dibenahi.

Kalau Bupati atau katakanlah pemerintah kabupaten melakukan sesuatu yang tidak benar, menyalahi aturan misalnya korupsi, maka kami yang akan menjadi garda terdepan untuk menyuarakan kebenaran.

Kami sedang menulis sejarah.

Berat banget ini mah.

Kalau semuanya sudah berjalan, maka gerakannya ke masyarakat, metodenya bottom-up.

This is “Social Movement”

Terlepas bagaimanapun kedepannya, saya percaya bahwa nafas perbaikan harus segara dihembuskan.

Cause static condition means death.

Jangan peduli omongan orang.


“Sarjana kokpulang ke desa? Ngga ada kerjaan ya di kota?”

Atau mungkin yang ini; “sarjana di kota terus, lupa kampong halaman, tidak mau membangun daerah”

Kita perlu menjadi katak yang tuli untuk bisa meloncat lebih tinggi.

Dan…. Mau tahu kebahagiaan terbesar saya?

Tentu saja “Tim Terbaik”. Dikirim langsung dari Langit.



Baiklah, tentang pembangunan, perbaikan, pemberdayaan, dan saudara-saudaranya. (sesi yang lebih serius)

Kita mungkin perlu melihat kembali tracee empiris bangsa mengenai ‘pembangunan’ dalam skala luas.

Pertanyaannya, membangun untuk siapa? Petani? Buruh? Nelayan? Atau,  tuan tanah? Majikan? Taipan?  Untuk rakyat atau si konglomerat?

Kira-kira begitu pertanyaannya.

Kalau berkaca pada daerah kita, yang kecil saja, skala desa. Sudahkah pembangunan di desa berjalan sebagaimana mestinya?

Dana Desa (APBDes), bantuan pemerintah, dan lain-lainnya kerap diselewengkan. Tentu saja ini ‘perwajahan’ buruknya pembangunan.

Indonesia Corruption Wtach (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110  kasus, pelakunya rata-rata adalah kepala desa, (detik news, 2017).

Pak Kades ‘maling’ nya orang kecil. Sebuah fakta yang akan membuat nenek-nenek ringkih di desa terserang stroke. Harapannya untuk diperhatikan kandas seiring dana desa mengalir ke kantong pemimpinnya.

“Wong susah yo makin susah, wong sugih yo makin sugih”

Teruntuk, seluruh sarjana di Bumi Pertiwi, orang-orang cerdas Zamrud Khatulistiwa, atau kalian anak TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, pemuda, kakek nenek, tukang sayur, tukang bubur, pemulung, pengamen, penyapu jalanan, pedagang asongan, semua orang, dimanapun kalian berada, Indonesia butuh kepedulian kita, Indonesia butuh kita.

Indonesia butuhh…
 “SINERGI PERUBAHAN, KOLABORASI KEBAIKAN”

Masalah terbesar untuk membuat perubahan adalah diri kita sendiri yang tidak mau berubah menjadi lebih baik.

Sarjana yang pulang ke desa bukanlah sarjana gagal. Karena kepulangannya adalah bentuk peduli pada orang-orang di desa. Sarjana yang tidak pulang kedesa bukanlah sarjana yang lupa desanya, dia hanya sedang berjuang dalam skala yang lebih penting.

Setiap desa memiliki masalahnya masing-masing. Kita tidak perlu mengutuki, kita hanya perlu berjalan, menyalakan lilin.

Atau, kita sendiri yang menjadi cahayanya.

Terkhusus, kalian Mahasiswa Sumut, Aceh, Langkat, Padang Sidempuan, Padang, Jambi, Riau, Bengkulu, Lampung, Palembang, Bandung, Semarang, Magelang, Bali, Kaltara, Makassar, Palu, Raja Ampat, Sumbawa, Derawan, Waimital, Bawean, Halmahera sampai ke Merauke.

Bangkit, Bangunlah, Lihat sekitar!

Indonesia needs more leaders in every sectors.

Sudah saatnya kita berpegangan tangan, menggenggam jiwa, mengantongi janji-janji masa depan yang lebih baik.

Tidak harus hal besar, karena hal kecilpun mampu berdampak besar.

Cause small change could make big difference.

Semoga Allah senantiasa membukakan hati kita, menuntun kita pada langkah untuk terus menjadi yang lebih baik.

Semoga allah mengetuk relung hati terdalam, untuk kemudian membiarkan kita bekerja, berusaha, mendapatkan Ridho-Nya.

Karena kita tidak pernah tahu amalan mana yang membawa kita ke surga.

Semoga amalan kebaikan, berjuang untuk ummat adalah salah satu alasan yang layak menerbangkan kita pada Jannah-Nya.

WAKTUNYA MENOREH TINTA, MEMULAI SEJARAH !!!

Selamat Berjuang Wahai Para Pejuang!

For any questions please contact me by email : renirain14@gmail.com

Kota Rindu,

17.10 WIB















 

You Might Also Like

0 comments