Kepada, Yth : Kaum Perempuan

 


Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman, sahabat, dan seluruh perempuan di dunia. Jika kalian (yang membaca) adalah seorang laki-laki, maka tolong, mengertilah.

April 2018.

Bermula dari rasa sakit disertai nyeri hebat ketika datang bulan, tepatnya semenjak kuliah, membuat saya memikirkan sesuatu terkait kondisi kesehatan, khususnya organ reproduksi.

Kalau boleh jujur, siklus datang bulan selama ini relatif stabil, namun yang membuat resah adalah rasa nyeri hebat di bagian perut bawah yang membuat saya tidak bisa bangkit, berjalan, atau beraktivitas sedikitpun. Nyeri ini tentu saja hanya akan berlangsung sehari dua hari selama menstruasi.

Ah, tapi… rasanyaaaaaa…

Waktu itu, saya sedang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Pertanian Yogyakarta. Akhir bulan, seperti biasa, saya dihadapkan dengan nyeri itu lagi.

Maka, setelah berdiskusi dengan salah seorang Ibu yang merupakan pegawai di tempat saya PKL, saya mencoba mengikuti saran si Ibu.

Pergi ke dokter kandungan, Re.

Obgyn.

Dengan hati yang masih gusar, hari itu saya memutuskan untuk pergi ke salah satu rumah sakit pemerintah di Jogjakarta.

Bermodalkan maps, perjalanan dari kantor dinas ke rumah sakit membuat hati saya was-was.

Setelah 30 menit menyusuri jalanan Jogja, saya memasuki area rumah sakit, berjalan santai ke ruang pendaftaran. Kemudian melangkah ke ruang tunggu, dilanjutkan menuju lorong-lorong rumah sakit yang kala itu di jejali manusia dengan wajah-wajah sayu.

Deg.

Bismillah. 

Saya sengaja pergi sendiri ke rumah sakit, selain karena tidak ingin merepotkan yang lain, saya juga tidak nyaman karena ini menyangkut ranah privasi.


Well, saya mengisi formulir pendaftaran, memasukkan ke bagian informasi, lalu menunggu antrian. Sayang, hari itu saya datang terlalu siang, sehingga bagian pemeriksaan kandungan sudah tutup dan harus kembali esok harinya.

It’s okay! 

Keesokan harinya, saya pergi lebih pagi. Kali ini langsung memasuki ruangan bagian kandungan.

Disana, puluhan orang sudah mengantri.

Seorang perempuan muda dengan perut yang mulai membesar ditemani suaminya, mereka terlihat serasi sekali. Seorang Ibu yang perutnya sudah membuncit ditemani seorang suami yang diwajahnya tergoret jelas simpul ketegaran. Di bagian yang lain, seorang perempuan yang saya kira berusia setengah abad bersama anaknya, harap-harap cemas.

Diujung, tiga perempuan muda masing-masing bersama suami mereka, saya tebak mereka pengantin baru. Program Hamil? Ntahlah.

Ditengah, seorang nenek berusia 60 tahun-an duduk menyendiri.

Maka sudah bisa ditebak saya duduk dimana, tepat di samping si nenek.

Saya memberi senyum.

 “Simbah sendirian?”

Nggih, Nduk” (Iya, Nak). Jawabnya kemudian.

Saya mengalihkan pandangan ke seorang Mbak yang duduk di meja tugas, memanggil antrian.

Saya antrian ke-7.

Dan yang di dalam ruangan adalah antrian pertama.

Maka, demi menunggu antrian pertama hingga ke enam, saya menghabiskan waktu dengan buku.


Beberapa menit kemudian, seorang Ibu dengan perut yang lumayan besar duduk di samping saya. Usia kandungannya sekitar 7 atau 8 bulan.

Si Ibu tersenyum. Saya membalas sekenanya. Lalu memilih kembali ke buku.

Si Ibu mungkin berpikir, “ini si Mbak masih muda, ke dokter kandungan sendirian, kok tidak bersama suaminya”

Itu memang hanya perasaan saya yang berpikir demikian, tapi saya paham betul tatapan mata yang sedari tadi melihat penuh ke arah saya.

Nanti, kalau ada yang bertanya “Mbak, sendirian? Suaminya mana?” maka saya akan menjawab “Suami saya kerja, dia sibuk”.

Then…..

Alhamdulillah nya tidak ada yang bertanya. Saya tidak jadi berbohong. Hehe.

Setelah menunggu lama, dan buku saya sudah berhasil saya lahap setengah.

Panggilan itu hadir, “Atas nama Reni Anggraini”

“Iya, saya Mbak”

“Timbang berat badan ya,Mbak.”

Sayapun menimbang berat badan, 45 kg.


Si Mbak kemudian menarik tangan saya, tensi darah. Lalu mengecek bagian bawah dalam kedua mata, kemudian mencatat. Menanyakan tinggi badan, menanyakan keluhan, mencatat lagi.

“Mbak, sudah menikah?”

Ingin ku menjawaaaabbbbbbb……………….

Si Mbak menunggu jawaban, saya malah cengengesan.

“Apakah saya terlihat seperti sudah menikah, Mbak?” (menjawab pertanyaan dengan pertanyaan)


Hehe, Mbaknya ditanya kok malah nanya balik. Saya mana tahu, Mbak”

Saya hanya tersenyum. Lalu dipersilahkan masuk ke ruangan dokter.

Ruangan yang asing bagi saya, seorang dokter perempuan yang usianya mungkin sepantaran usia Ibu saya terlihat duduk di meja kerja.


Saya di persilahkan berbaring.

“Keluhannya?” Tanya Bu dokter.

“Setiap kali saya haid, saya merasakan nyeri yang membuat saya tidak bisa jalan, tidak bisa bergerak, tidak bisa beraktivitas selama seharian.”

“Selama ini di obati dengan apa?” kali ini sambil mengambil stetoskop.

Em…. Kalau nyeri nya kambuh, saya minum jus alpukat (tanpa es, tanpa susu, gula super sedikit), atau kalau ada kurma, saya makan kurma”.

Bu dokter mengangguk. Kemudian mengecek detak jantung.

“Saya mau ultrasonografi (USG) rahim saya, Bu.” Lanjut saya.

“Oh iya, sebentar.”

Bu Dokter meminta bantuan asistennya untuk menyiapkan USG.

Saya diminta untuk mengoleskan sesuatu ke perut. Seperti balsem, namun rasanya dingin.

Tak lama, perut saya di USG.

Muncul gambar dua dimensi di monitor.

Mata kami tertuju ke layar.

Ya Allah, semoga segalanya baik-baik saja.

Tolong kirimkan Malaikat-Mu untuk menjaga Rahim hamba-Mu ini.

“Ini rahimnya… bagus kok..Normal… “ Bu dokter menggeser alat ke bagian yang lain.

“Minta tolong yang bagian kiri, Bu.”

Si Ibu menggeser ke bagian kiri. Lalu ke tengah. Menyeluruh.

“Bagus, ini ovariumnya, ini uterusnya.. tidak ada apa-apa, Mbak”

Alhamdulillah. Wa Syukurillah.

“Saya boleh minta print-anhasil USG nya, Dok?”

“Iya ini saya cetak buat Mbak.”

Saya mengangguk. Merapikan posisi duduk.

“Kalau memang masih sakit, mungkin bisa meminum obat peredam nyeri, Mbak. Jangan stress, pola makan dijaga, pola hidup diperhatikan, dan olahraga yang teratur.”

Maka sore itu, saya pulang dengan perasaan lebih lega.

Gambar 1: Salah satu contoh hasil USG (Punya saya rahasia)

Begini, saya bukan overthingkingpada diri saya sendiri, khususnya bagian penting satu ini.

Saya hanya sedang mengantisipasi, menghitung kemungkinan yang terjadi, dan bersiap dengan segala kondisi.

Bolehkah saya bercerita? Insyaa Allah sudah diizinkan oleh mereka.

Saya punya sahabat sejak kecil, yang setahun lalu di diagnosa memiliki kista di rahimnya.

Dokter memberi pilihan, mengoperasi atau memiliki keturunan lebih dulu. Kondisi kista ini sudah cukup besar dan posisinya dekat dengan ovarium.

Kalau diangkat, sahabat saya berpotensi tidak akan memiliki keturunan, sedangkan jika memiliki keturunan lebih dahulu, itu artinya sahabat saya harus segera menikah.

Kalian mau tahu apa yang sahabat saya pilih?

Dia berobat jalan, mengubah pola makan, mengubah pola hidup, dan sudah melangsungkan pernikahan 4 bulan yang lalu.

Usianya baru genap 20 tahun, dan itu adalah keputusan besar.

Yeah, Life is choice.

Membahas kista?

Kista adalah  tumor jinak yang paling sering ditemui. Bentuknya kistik, berisi cairan kental, dan ada pula yang berbentuk anggur. Kista juga ada yang berisi udara, cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya. (Di akses dari Wikipedia, 27 Juli 2018).

Gejalanya?

Kalian bisa cek di salah satu referensi ini :  Kista

Untuk sahabat saya satu ini, saya tahu betul apa yang sering dia makan.

Fast food. Junk Food.

Bakso yang saus nya merah merekah, saya curiga saus tersebut diberi campuran tekstil.

Belum lagi, makanan berpengawet yang kita tidak tahu apa saja bahan kimianya, atau bahkan sewaktu-waktu mengendap di dalam tubuh.

Wallahu’alam.

Yang membuat saya mantap menulis blog ditengah gempuran laporan dan skripsi adalah kejadian beberapa hari belakangan ini.

I don’t know how to explain my feelings.

Mungkin begini isinya : abdgansdfjsjfgagdahbdasdporfwpekrfkdkdcvalasfjsdna@$#$$%%%&^#$%%@%$#%$

Perlu ahli JavaScript atau pembaca kode hati untuk menjelaskannya.


Ah, No! Seriously!

Sahabat saya yang beberapa waktu lalu pernah mengeluh memiliki rasa sakit di bagian perutnya akhirnya melakukan cek kesehatan di salah satu rumah sakit di Jogja.

And She is…..

Panggil saja Si Beb. (Ini saya sering memanggil dengan sebutan Beb).

Beb adalah sohib saya yang sangat pengertian, baik, solihah, dan nyaman kalau diajak bicara.

Saya kerap kali curhat masalah kehidupan, keluarga, target-target kedepan, pekerjaan, bahkan tentang ikhwan yang sedang mendekat.


Sohib saya pernah bilang begini, “Re, lika-liku hidupmu kayak sinetron, tapi itu menjadikan kamu kuat, you’re the stronger girl I ever met

Saya menggeleng. Setiap kali orang bilang saya kuat, tangguh, maka saat itu saya sadar bahwa saya ini lemah.

Back to My Sohib,

Sohib saya beberapa waktu belakangan mengeluh ada yang mengganjal di bagian perut kiri. Sesuatu yang mengganjal ini belakangan diketahui adalah benjolan yang posisinya sudah mengganggu.

Sohib saya sering merasa tidak enak ketika berlari, push up, sit up, dan kegiatan olahraga lainnya.

Waktu itu, dia hanya menepis “Ah, nggak papa kok. Ah, nggak ada apa-apa, masa cuma ada rasa sakit gini cemen banget.”

Lama kelamaan, sahabat saya tidak tahan. Maka ia pun memutuskan untuk segera ke rumah sakit.

Dan benarlah yang menjadi ke khawatiran sohib saya ini.

“Beb, gimana? Sudah jadi ke rumah sakit? Gimana kabarmu?” Saya mencoba bertanya sore itu.

“Alhamdulillah.” Jawabnya singkat.

Kalian tahu apa artinya? Artinya kira-kira begini: Alhamdulillah aku diberi banyak nikmat, tapi hari ini aku sedang tidak baik-baik saja.

I am trying to understand you, honey.

Esoknya, tanpa harus di minta, sebuah pesan WA masuk.
“Re, dimana?”

“Markas Beb. Mau kesini? Ayuk…. Siniiiiiii……. Aku tunggu di ruang tamu.”

Sore itu, Bebke markas saya. Dengan wajah pucat pasi ia berjalan ke kamar, melepaskan penat setelah bekerja seharian.

“Re, aku sholat ashar dulu,setelah itu aku mau cerita.”

Tanpa pikir panjang, girl session membutuhkan tempat nyaman untuk benar-benar mendapatkan quality time. Selama sohib saya sholat, saya menyiapkan tempat untuk kami mengobrol.

Di teras markas. Dua gelas air. Semangkuk kurma.

Ditemani angin sepoi-sepoi. Burung berkicau ria, denting waktu yang bergulir.

Hari itu Jogja bersuhu 21 derajat. Tambahan, matahari sudah mengufuk barat.

Dua orang perempuan muda duduk berhadapan, yang satu menyiapkan telinga dan perhatian terbaik, sementara yang satu getir untuk melontarkan bait-bait kalimat.

“Jadi kemarin aku udah ke rumah sakit, Re. Awalnya aku pikir benjolan di perut kiri ini karena aku punya masalah di bagian kolon, tapi ternyata memang bukan. Aku udah buat program untuk makan makanan sehat, teratur, isitirahat cukup, tapi ternyata efeknya memang tidak signifikan.”
Saya mengangguk.

“Aku udah cek, ginjal, paru-paru, pencernaan, dan ternyata semuanya baik-baik aja. Benjolan di perut kiri itu ternyata…..”

Kali ini kalimatnya terputus. Suara sohib saya mulai parau.

“Re, mulai dari Ibuku, tanteku, tanteku yang lain, mereka punya riwayat kista. Dan aku punya faktor resiko secara genetik. Ibuku terdiagnosis kista setelah punya dua anak. Tanteku juga ketahuan kista setelah punya anak.”

Kali ini si Beb mulai berkaca-kaca. Ia menarik nafas, mengumpulkan keberanian.

Saya masih memperhatikan. Antara tega dan tidak tega.

“Re, aku di diagnosa kista di bagian kiri. Ukurannya sudah lumayan besar. Aku… Aku bener-bener nggak nyangka secepat ini…. “

Tangisnya pecah. Beb Terisak.

“Aku.. aku bener-bener ngga tau, aku masih.. aku… aku…. “

Kali ini tangis Beb semakin menderu.

Saya berdiri, memeluknya erat. Membiarkan ia menangis sejadi-jadinya.

“Aku nggakmungkin cerita isi hatiku ke Ibu Bapak. Mereka juga butuh menguatkan diri. Mereka bahkan ngga nyangka ini terjadi ke aku secepat ini. Aku masih punya banyak mimpi, Re. Aku masih mau mengejar cita-citaku, aku masih mau S2, aku … aku… “

Beb meluapkan seluruh isi hatinya. Sambil tetap bercerita, ia mengusap air mata yang membanjir seolah tanpa henti.

Saya mendekapnya erat. Saya merasakan apa yang ia rasakan.

Kalau boleh jujur, saya menangis kala itu. Tapi tidak mungkin saya meluapkan tangis di depan Beb. Saya menahan sekuat tenaga, sembari tetap memeluknya.

“Aku yakin Allah udah punya rencana terbaik, aku yakin Allah itu Maha Baik. Aku yakin Allah itu… “

Suara Beb terbata. Ada sesak, sakit, sedih bercampur padu dalam hatinya.

“Beb, Allah itu sayang sama kamu. Sayaaaaaaanggggg bangeeeeeetttt. Allah nggak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuan. Allah kangen sama kamu, Allah pengen berduaan terus sama kamu…”

Beb masih terisak.

“Aku masih pengen kerja, riset, S2, fokus ke mimpi-mimpiku, aku pengen mewujudkan yang aku mau…. “

Beb masih dalam dekapan saya, kali ini menghapus air matanya.

(Note : Kalau ada orang yang menangis bersamamu, jangan pernah beri tissue, sapu tangan, atau bahkan menghapus air matanya. Biarkan ia menangis sepuasnya, sampai ia sendiri yang merasakan cukup, merasa tenang. Kita hanya perlu menjadi telinga dan tempat meluapkan isi hatinya)


Maka setelah sekian menit begulir, dan senja semakin dekat, Beb berhenti dari tangisnya.

“Kira-kira kemungkinannya gimana?” Saya sudah duduk kembali di depan Beb.

“Dokter menyarankan untuk operasi, tapi aku masih mikir lagi. Aku masih mau mengikhtiarkan banyak jalan, aku besok masih mau cek lanjutan ke dokter kandungan, mohon doanya ya, Re.”

Saya Mengangguk

“Beb, Allah selalu punya skenario terbaik.”

Maka sore itu, saya dan Beb pergi ke salah satu rumah sakit. Bukan untuk mengecek rahim si Beb, namun urusan pekerjaan.

Beb bekerja di sebuah instansi yang saat ini sedang melakukan banyak riset pada anak-anak. Beb sendiri sangat passion pada anak-anak, dan kesehariannya selalu berhubungan dengan anak-anak.

Gambar 2: Kista ovarium.

Apakah kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya?

Ketika diri kita menyukai anak-anak, sehari-hari bersama anak-anak, dan masalah yang sedang dihadapi berhubungan dengan ‘anak’ ?

Bisakah? Bisakah kalian merasakan?

Setelah seluruh pekerjaan selesai. Saya dan Beb pergi menuju Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta.

“Re, aku pengen minum Wedang Ronde.”

Malam itu, kami duduk lesehan di bagian timur Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta. Dua mangkuk wedang ronde lengkap dengan bulan purnama, disertai Venus yang menyala.

(Wedang ronde adalah wedang jahe yang didalamnya terdapat potongan roti tawar, ronde, kacang, dan kolang-kaling).

Kami bercerita panjang lebar, what to do for the next.

Beb bercerita tentang keluarga, apa yang akan dilakukan berikutnya, project, buku, hingga ke persiapan menikah segera.

Saya sendiri lebih banyak membicarakan tugas akhir, kerja, dan plan untuk menikah di 2019.

“Aku inget banget, dulu aku yang paling sering mikir nikahnya nanti-nanti aja, aku yang selalu mikir kenapa banyak yang pengen nikah muda. Waktu itu kamu bilang, hati-hati, yang pengen nikah lama berkemungkinan jadi yang paling cepat. Aku bener-bener inget kata-kata kamu, Re.”

Saya tersenyum.

“Kita memang nggapernah tahu kalau hati kita mudah terbolak-balik. Kalau sekarang yang ada dikepalaku, bulan depan ada yang ngelamar aku, aku mahsiap. Tapi siapa yang tahu, gitu dilamar, hatiku berubah. Sama juga dengan kamu, Beb.”

Kami mengangguk. Maka, salah satu kesepakatan dari pembicaraan kami adalah untuk segera menyelesaikan proposal nikah.

Hah? Beneran? Ya dong! 

Kalau menurut pengamatan sohib saya ini, dia sudah ‘agak’ terlambat untuk mengecek kondisi rahimnya. Sehingga, kista ini sudah terlanjur membesar.

Malam itu, saya menginap di kosan Beb. Menunggu dirinya tertidur pulas. Karena menurut keterangan Beb, setiap kali dia ingin tidur, dia akan kepikiran masalah ini. Sehingga mengakibatkan insomnia yang tak berkesudahan. Maka, hadirnya saya adalah untuk memastikan bahwa dia akan baik-baik saja.

Pagi harinya, Beb bekerja seperti biasa. Dilanjutkan sore harinya pergi ke dokter kandungan untuk cek lanjutan.
Sejujurnya agak berat untuk mengatakan ini.

Kista yang ada di rahim Beb adalah tumor  yang ukurannya sudah besar, keberadaannya di dekat ovarium.

Si Beb sudah tidak bisa menangis lagi ketika mengetahui fakta ini.

Kabar baiknya, Beb sudah mulai berpikir lebih tenang. Beb dan keluarga sudah memikirkan solusi apa saja yang akan mereka ambil, termasuk jika harus mengoperasi.

Mari sama-sama doakan Beb agar mendapat yang terbaik dari Allah.

Dear, Seluruh Perempuan.


Tanpa perlu saya jelaskan inti dari tulisan ini, saya kira kalian sudah bisa menyimpulkan sendiri. 

Hari itu, saya bertanya ke beberapa teman (laki-laki) mengenai tanggapan mereka tentang kondisi ini.

Kira-kira begini.


“Bagaimana laki-laki menanggapi atau menerima atau apalah itu, pada perempuan yang dia ngga bisa punya keturunan karena ada beberapa hal. Apakah laki-laki mau punya pasangan yang gabisa ngasih dia keturunan?” 

Dari empat orang yang saya tanya, kira-kira jawaban mereka begini. Sebut saja mereka Mas A,B,C, dan D.

A : Saya mah mikirnya, salah satu tujuan menikah adalah untuk mewarisi. Tapi kalau memang bukan rejekinya, ya tetap dilalui bersama sampai akhir.  Untuk saat ini, saya jawab belom bisa menerima dia, karena jujur, saya pengen segera punya anak. Saya mandangnya, anak itu jadi hiburan untuk saya ketika suntuk seharian bekerja. Ini pendapat yang sekarang, tapi ya ngga tau kalau memang benar-benar cinta. Katanya cinta itu membutakan.

Kesimpulan : Tidak Menerima

B : Aku takut ngejawab. Peluangnya kecil. Aku gak bilang gak bisa, hanya saja peluangnya sangat kecil. Keturunan itu penting dalam keluarga. Tentang membangun keharmonisan rumah tangga, setidaknya tingkat perceraian berkurang dengan adanya keturunan. Ada yang harus dipertahankan dan diperjuangkan bersama-sama.

Kesimpulan : Tidak Menerima

C : Mostly enggak. Terkecuali dia ngga tau kalau perempuan itu gabisa ngasih keturunan sebelum menikah. Hanya 1-5 dari 100 laki-laki yang bersedia.

Kesimpulan : Tidak Menerima
 
D : Saya coba jawab semampunya keadaan saya apabila saya mendapatkan hal-hal tersebut, saya juga sebelumnya pernah berfikir bagaimana kalau saya susah punya keturunan ya, tapi bahasan itu sepertinya sudah terlalu jauh.

Keadaan saya menanggapi wanita yang gabisa punya keturunan itu ya biasa aja sih. saya sudah berhadapan dengan beberapa wanita yg mengalami hal itu, bahkan rahim yg lemah dengan bisa hamil tapi tidak tahan lama (keguguran), ada yg karena kecelakaan, ada yg karena sakit, dan lain-lain sudah pernah saya jumpai...

Sudut pandang apabila ini dalam konteks sudah memasuki pernikahan, saya rasa disini ujian.  Yaah saya ga tau banget, tapi ini fikiran secara logika dan hati nurani. "Allah tidak akan memberikan cobaan melampaui batas kemampuan umatnya" cara saya menanggapi hal-hal ini dengan kematangan pola berfikir saya, bukan semata-mata kasihan atau apapun. Cuma iyaa, menurut saya laki-laki berhak mendapatkan apa yg harus didapatkan (keturunan) dan sebisa mungkin apabila dia merestui (istri) untuk melakukan poligami, saya rasa bukan menjadi masalah tinggal kematangan hati untuk menjalaninya.

Saya : Berarti kamu menerima?

D : Menerima.

Saya : Tapi, kamu mau poligami?

D : Saya juga salah seorang yang mendukung poligami, tetapi dibalik itu dengan kesepakatan bersama, agar tidak ada yang dirugikan satu sama lain.

Saya : Saya juga mendukung poligami. Asal bukan suami saya aja yang poligami. Oh ya,yang diatas tadi konteksnya masih calon. Apakah kamu menerima kalau calon kamu ternyata berpotensi tidak bisa punya keturunan?

D : Saya belum bisa jawab.

Kesimpulan : Ragu.
Dari jawaban diatas, kita bisa melihat bahwa ada analisis tingkat lanjut dalam mencerna masalah ini. Beberapa bulan lalu, saya pernah menulis status di WA.

“Apakah ada laki-laki yang mau menikah dengan perempuan yang gabisa punya anak?”

Lalu, ada puluhan teman perempuan menjawab “Ada”. Kemudian, ada dua orang laki-laki yang ikut menjawab. Sebut saja Mas E dan F.

E : Saya pernah baca hadis yang bercerita tentang ini. Rasulullah menganjurkan sekali untuk menikahi perempuan yang penyayang dan subur. Walaupun kedudukan wanita itu tinggi. Kalau saya pribadi bukan tidak mau, tapi sunnah dan anjuran Rasulullah untuk menikah wanita yang penyayang dan subur inilah jawabannya. Rasulullah juga menyukai umatnya yang banyak keturunannya. Agar apa? Agar bisa menjadi pelanjut risalah keluarga.

Kesimpulan : Tidak Menerima.


F : Aku ngga pernah mempermasalahkan bisa punya anak atau tidak. Alasanku untuk menikah adalah untuk ibadah kepada Allah. Kalaupun tidak ada anak biologis, masih ada anak-anak TPA, anak-anak ideologis.

Kesimpulan : Menerima.
 
Menurut saya pribadi, caseyang terjadi disini terletak pada salah satu pihak. Kalau perempuan yang dinyatakan tidak bisa punya anak, maka laki-laki akan berpikir tidak mau menerima, menerima, atau mencari solusi lain dengan poligami.

Mari Kita balik Case nya! 

Jika laki-laki yang ternyata dinyatakan tidak bisa punya keturunan, entah itu karena Aspermatozoa (tidak punya sperma), atau karena gangguan yang lainnya.

Lantas, apakah yang akan menjadi jawaban dari laki-laki?

Apaaaaaa????? Tolong Kataaakaaan!!!

Apakah kalian akan menjawab untuk melakukan poligami?

Sebuah jawaban tidak masuk akal.

Posisinya, jika laki-laki yang ternyata tidak bisa punya keturunan, maka perempuan akan memiliki dua pilihan. Pertama, tidak menerima. Kedua, menerima dengan catatan akan mengadopsi anak.

Maka, jawaban yang sekiranya lebih adil untuk kedua case ini adalah anak tidak selamanya harus biologis, ada anak ideologis, ada anak-anak lain yang bisa kita jadikan anak sendiri.

Wallahu’alam

Ladies, kalian boleh simpan pertanyaan diatas untuk laki-laki yang melamar kalian kelak.

Tanyakan padanya, “bagaimana kalau ternyata aku tidak bisa memberimu keturunan?”

Dari jawaban si laki-laki, kalian bisa menganalisa sedalam apa dia berpikir dan mempertimbangkan.

#THANKMELATER.

Bukan apa-apa, hal ini menjadi penting untuk kedepannya. Lebih baik, periksa dahulu  kedokter. Apakah ada faktor resiko, kemungkinan, atau seperti apa.

Saya jadi ingat kisah seorang nenek yang ditakdirkan tidak bisa memiliki anak, lalu berulang kali menemui Nabi Musa, dan jawabannya tetap sama. Namun, tiap pulang dari menemui Nabi Musa, si nenek senantiasa berucap “Ya Rahim, Ya Rahim,” dibarengi dengan do’a yang tiada henti. Suatu hari, nenek itu kembali menemui Nabi Musa, dan sudah menggendong seorang anak.

Allah Mengubah Takdir dengan do’a.

Emm……baiklah, yang paling penting, untuk kaum perempuan (berlaku untuk laki-laki juga), selama kita masih muda, cobalah untuk menjaga makanan kita, menjaga kesehatan kita, menjaga pola tidur, olahraga teratur, dan jangan takut periksa ke dokter. (Ini self reminder)

Mengapa diawal saya bercerita tentang saya pergi ke dokter, atau tentang teman saya, semata-mata untuk memberi gambaran kepada kalian (pembaca).

Bukankah cara belajar terbaik adalah lewat kisah? Sementara hasil belajar yang baik adalah dengan mengajarkan kepada yang lain.

Dear Mas (calon suami), bersiaplah untuk menerima pertanyaan yang sama dariku.

Then…..

Kekurangan manusia : mudah melakukan kesalahan.

Kelebihan manusia : mudah belajar dari kesalahannya.

Terakhir, saya tidak tahu apakah besok, lusa, atau bahkan sedetik setelah tulisan ini di post, saya masih diberi jatah untuk hidup.

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Sementara bekal yang kita bawa untuk mati bergantung pada diri kita sendiri.

Maka, kalaupun malaikat maut ‘melamar’ saya terlebih dahulu, setidaknya saya sudah mencoba untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Kalau kata teman saya (sekarang masih teman, ndak tau kalau bulan depan kerumah, tunggu aja), Hidup adalah seni mempersiapkan mati.

Tambahan, untuk sementara waktu saya akan jarang memposting tulisan, saya sedang sibuk mengerjakan laporan, skripsian, dan lain-lain.

Mohon do’a semoga dimudahkan.


 

You Might Also Like

3 comments

  1. I am extremely impressed with your writing skills as well as with the format
    to your weblog. Is this a paid subject or did you customize it your self?

    Anyway stay up the excellent quality writing, it's uncommon to see
    a nice weblog like this one nowadays..

    BalasHapus
  2. Its like you read my mind! Yoou seem to knjow a lot about this, like you
    wrote tthe book iin itt or something. I thinhk tgat youu coould do withh
    a few pics to drive the message home a little bit, but instead of that, this is magnificent
    blog. An excellent read. I'll certainly be back.

    BalasHapus
  3. Masyaa Allah barakallah mbak Rere, rasanya pengen nnya ke diri "Kenapa baru mampir ke blog ini do seai yg ini sekarang sih. Kenapa gak dri kemrin-kemarin?" Tapi setidaknya ini benar² bisa membuat new paradigm buat saya pribadi. Semoga menjadi ilmu yg manfaat dan shodaqoh jariyah untuk mbak Re. Barakallah fiik 😊😊

    BalasHapus