Menuju Sepasang



Bagian Pertama; Air dan Muara

Rere

Nyerah! Saya sudah hampir menyerah.

Perjalanan saya sepertinya berakhir pada bagian paling tragis, menyudahi. Perjalanan mencari, menemukan, melabuhkan, tampaknya hanya menyisakan banyak tangisan, luka, juga drama-drama di dalamnya.

Saya bertanya, apakah ini muaranya? Muara pencarian panjang yang berujung kekecewaan. Saya sudah lelah, sudah ingin menghilang dari riuh redam dunia. Namun nyatanya, takdir selalu punya caranya sendiri. Tidak bisa ditebak. Tidak ada rumus algoritmanya. 

Menyerah bukan muara, jika saya sadar tujuan penciptaan manusia. 

Azzam

Terlahir ditengah miliaran umat manusia, disebuah negeri yang sangat kaya wilayahnya, melimpah sumber dayanya, ragam budaya serta  nilai history didalamnya. Saya menyadari bahwa saya memang belum menjadi siapa-siapa. Tetapi kekhawatiran dan keresahan itu ada, bukan hanya keresahan tentang masa depan saya sendiri, tapi juga bangsa ini.

Jauh sebelum itu, beribu pertanyaan muncul. Mengapa Allah menghadirkan saya dimuka bumi? Mengapa Allah mengizinkan saya ada dinegeri ini? Mengapa Allah memperjalankan saya bagai air yang mengikuti derasnya arus kehidupan? Apakah setitik ‘mata air’ ini akan mengalir bersama alirannya menuju muara yang tepat?

Keresahan tak kunjung  menemukan jalannya, hingga ramadhan kala itu, disepuluh malam terakhir. Saya berharap Allah SWT mengizinkan untuk mempertemukan “mata air” ini dengan alirannya yang sudah mengalir jauh, lantas ditakdirkan melintasi bagian-bagian penting kehidupan, mengalir, menghidupi sekitarnya. Hanya satu pengharapan dimalam itu segala ketetapan-Nya menjadi yang terbaik, bahkan lebih baik daripada seribu bulan, kemudian disampaikannya sebuah urusan, hingga ia berakhir kembali pada sebenar-benar muara. 

Bagian Kedua; Gayung Bersambut

Azzam

Akhir tahun 2020, saya mengikuti tes CPNS BAPPENAS di Jakarta. Disana, saya berjumpa dengan seorang mentor di asrama dulu, kami berbincang saling menggali maksud dan niat baik tentang rencana hidup berikutnya akan seperti apa. Kami berdiskusi hingga larut, berbincang mulai dari urusan pekerjaan, karir, hingga asal-usul petir. Di sela-sela obrolan, beberapa kali disinggung mengenai kehidupan rumah tangga, pernikahan, dan kriteria-kriteria seseorang, ternyata pada kesempatan itu beberapa “anonymous” juga naik kepermukaan. Semacam mencoba mencocok-cocokan saya dengan seseorang yang saya sendiri tidak tau siapa mereka, tapi ‘mantan’ mentor saya ini terus meyakinkan bahwa saya mengenali mereka, “ya mungkin saya kenal mereka..” jawab saya sambil tersenyum melihat jam yang sudah menujukkan pukul 00.30 WIB.

Enam bulan berikutnya, saya tidak melanjutkan tes CPNS dan memutuskan untuk “berlayar dengan kapal ke Indonesia Timur”. Saya berkesempatan mendampingi direktur Yayasan tempat saya bekerja untuk mengunjungi NTT. Bulan April, pertama kali saya menginjakkan kaki di Bumi Timor Nusa Kenari. Selepas roadshow, saya bertemu dengan beberapa stakeholder provinsi, dipenghujung hari sembari menyantap hidangan berbuka puasa yang kami pesan, memasuki malam ke-11 Ramadhan, saya mendapat sebuah pernyataan dan pertanyaan tentang bagaimana hidup berumahtangga. Beliau bertanya tentang kesiapan untuk menikah juga memberi nasihat-nasihat seputar pernikahan. Saya sadar betul saat itu, saya menyaksikan dari matanya, orang yang ada di hadapan saya ini sedang benar-benar tulus menawarkan kebaikan untuk membantu saya. 

Sesampainya kembali di Bandung. Di malam ke-12 hingga tiba dipenghujung malam bulan Ramadhan, tanda memasuki bulan Syawwal, rasa-rasanya diskusi malam ke-11 waktu itu memberi kesan amat mendalam. Berkelibat kegundahan dan kekhawatiran akan masa depan terbentur dengan mimpi-mimpi dan visi yang tipis bedanya dengan angan-angan, membuat hati diliputi rasa syukur karena telah diingatkan kebaikan yang mampu mengikat keyakinan, memantapkan pilihan untuk terus melangkah maju menyongsong masa depan, salah satunya ialah kehidupan rumah tangga yang dimulai dari ikatan pernikahan. Pada momentum inilah terpanjat kembali harapan pada-Nya, meminta jawaban atas perkara kemana aliran “mata air” ini akan berlabuh sementara sebelum ia sampai ke muara akhirnya.

Kalau tidak salah hari ke-13 Syawwal, sepulang dari aktivitas kantor,  masuklah sebuah pesan WhatsApp dari mantan ‘mentor’: “Lg lowong ni, mau agak serius”. Keseriusan inilah awal mula semua proses berlangsung hingga saya dipertemukan dengan seseorang dalam lembaran tulisan berisi informasi tetangnya. 

Proposal formulir CV saya buat lagi dari awal, berhubung semua data saya mengendap bersama laptop lama yang tak mau menyala, sehingga mengharuskan saya membuatnya lagi dan menuntaskannya saat itu juga menggunakan laptop kantor. Selesai. 

“Jadi, maka jadilah..”. 

Setelah membaca dan saya yakin, saya menghadap kepada orang tua dan kembali meminta restu. Mereka turut membaca formulir CV seorang perempuan yang kelak akan menjadi pendamping hidup anak pertama sekaligus menjadi menantu mereka. Kami mendiskusikannya dengan sangat serius.  

Oh ya, karena proses diawal ketika bertukar formulir CV ini difasilitasi oleh mentor lama masing – masing. Maka demi menjaga kebaikan dan keberkahan proses di dalamnya, serta menghormati, berikut adab seorang mentee kepada mentor yang saya pahami. Saya mengambil langkah untuk memulai lagi dari awal bersama mentor terakhir (terbaru) saya. Di dapatkanlah nomor kontak mentor calon pasangan dari mentor lama, kemudian segera saya forward ke mentor baru, segera komunikasi antar kedua mentor ini dilanjutkan pembahasan bagaimana proses berikutnya. 

Atas izin-Nya, diikuti rasa cocok dan kesamaan visi-misi hidup berumah tangga, kami sepakat melanjutkan proses menuju diskusi yang lebih mendalam. Satu hal pertimbangan saya waktu itu, hanya ingin mengkonfirmasi terkait visi dan mimpi seorang yang akan menjadi pasangan hidup saya seterusnya. Itu saja. 

Dikarenakan kendala jarak yang relatif jauh, online meeting menjadi alternatif kami untuk perjumpaan dan diskusi awal.

Langsung kepada tujuan inti perjumpaan virtual dan perkenalan setelah saling mengetahui informasi dasar pada formulir CV. Saya fokus mengkonfirmasi visi dan mimpi yang menurut saya sangat principal. Jawabannya begitu lugas dan jelas, justu ketika saya balik ditanya terkait beberapa hal, saya melihat mata saya dilayar laptop, saya tampak meragukan diri saya sendiri.

Rere

Akhir Mei, saya ditawari untuk meng-update CV Ta’aruf, dan baru saya selesaikan awal bulan Juni. Saya sedikit ragu untuk menulis bagian keluarga, maka saya memberi sebuah catatan khusus tentang keluarga saya. Pertengah Juni, masuklah sebuah proposal ta’aruf dari seorang Ikhwan yang saya tidak kenal sebelumnya. Namun yang pasti, saya ingat betul bahwa hari itu hari jum’at, dan kalimat yang paling saya ingat adalah, “Rere, selesaikan Al-Kahfi dulu ya, setelah itu solat hajat, nanti CV nya Mba kirim”.

Malam yang syahdu, saya menerima sebuah proposal dari perantara kami (maaf tidak bisa sebut nama). Saya membaca perlahan, kata demi kata.

Siapa orang ini? Apakah dia adalah jawaban dari do’a-do’a Ibukku? Do’a-do’aku?

Tidak ada yang benar-benar istimewa kecuali dua hal, pertama dia adalah alumni RK, kedua, bagian akhir di CV nya tertulis, “Membentuk generasi The Next Salahuddin”.

Bagian terkahir di CV Azzam 

Deg. Saya terdiam beberapa saat.

Semalaman suntuk saya berpikir tentang “The Next Salahuddin”. Sebuah cita-cita yang saya pendam jauh direlung hati. Membentuk generasi Pembebas Baitul Maqdis!


Saya terkejudd karena  menemukan narasi yang sama disebuah proposal ikhwan yang belum pernah saya kenal. Ajaib.

“Azzam? Siapa dia?”

Apakah dia yang dikirim sebagai pelengkap diri yang tak utuh? Apakah dia tempatku berlabuh untuk menyelesaikan pencarian ini, untuk kemudian berjalan pada muara akhir tak berkesudahan? Apakah dia orangnya?

Malam itu, saya sempurna tak nyenyak tidur.

Keesokan harinya, saya menceritakan tentang Azzam ke orangtua saya. Alhamdulillah Bapak Ibu saya mendukung dan menyerahkan keputusan kepada saya. 

“Pernikahan itu kamu yg menjalani, kamu yang tau kebutuhanmu, kalau memang dia orang yang selama ini kamu cari, ya mau apalagi?”. Kata Ibuk saya.

Akhir Juni, kami bertemu secara virtual untuk pertama kalinya. Di forum itu, kami saling bertukar pertanyaan. Jujur saya agak gugup, tetapi orang diseberang sana terlihat santai dan membuat saya yakin dengan pertemuan itu. (Saya ingat dia pakai kemeja biru, rapi sekali).

“Saya sudah baca CV nya Mba Rere, boleh didetailkan  visi misi Mba Rere seperti apa?”

Sayapun menjawab pertanyaan itu dengan yakin.

Dia mengangguk.

Kemudian kami melanjutkan diskusi perihal yang ada diproposal kami. Sesekali perantara kami menimpali, memberikan nasihat, forum menghangat.

“Azzam punya rencana poligami gak?” Tanya saya.

“Mba Rere pertanyaan nya to the point sekali ya”. Sambung perantara kami.

Saya tersenyum.

“Belum ada rencana”. Jawab Azzam.

“Kamu ada masalah gak dengan aku yang dari Sumatera?”

“Enggak”.

“Menurut kamu, sosok  Ayahmu seperti apa?”

“Ada ekspektasi tentang suami kah?”

“Keluargaku dulunya korban perang, kamu ada masalah ngga dengan itu?”

Forum malam itu menghadirkan diskusi strategis. Menghadirkan ruang narasi ummat, narasi peradaban, bahwa pernikahan adalah bersatunya dua kekuatan hebat, untuk saling berkolaborasi, menyempurnakan misi-misi penciptaan manusia dimuka bumi.

Saya merasa malam itu adalah salah satu momen yang berharga, sulit terlupa. Seseorang diseberang sana menawarkan janji-janji masa depan yang saya impikan. Seseorang diseberang sana secara baik-baik menawarkan rencana hidupnya, kemudian mengajak saya untuk terlibat, menjadi bagian dari perjalanan panjang, perjalanan mimpinya, perjalanan menuju-Nya. 

Bagian Ketiga; Pertanyaan-pertanyaan

Azzam

Kaku dan gugup pada awalnya, berikutnya saya yakin bisa lebih rileks. Rencana perjumpaan virtual lanjutan sudah menemukan tanggal (tapi saya lupa tanggal berapa). Agenda berikutnya masih dengan topik yang sama, ditambah perkenalan khusus tentang keluarga. Kembali berempat, saya ditemani mentor, begitu juga dirinya. 

Waktu terasa begitu cepat berlalu, tapi kami belum sempat membahas tentang keluarga, kami sibuk saling mengkonfirmasi hal – hal urgent menurut kami; masih seputar visi hidup masing – masing, lalu visi hidup ketika nanti bersama akan seperti apa, kelebihan – kelebihan, kekurangan diantara kami, karakter personal, hingga beberapa penyikapan yang kedepan tak bisa ditolelir sama sekali. Seperti sumber penghasilan hanya boleh dari sumber – sumber yang halal dan baik, tak masalah apapun karirnya. Begitu pula dengan prasyarat karir. Apapun itu boleh selama ia tidak hanya menguntungkan diri pribadi, tapi turut berkontribusi pada banyak kebaikan. 

Tentang mengenal lebih dalam perihal keluarga, nampaknya harus digeser ke pertemuan berikutnya. Kali ini tanggalnya belum ditentukan, tapi kami yakin betul jika waktunya cocok, mungkin tak perlu menunggu lama, forum bisa segera dimulai. 

Beberapa waktu kemudian, saya mendapat tugas perjalan dinas untuk kedua kalinya,  ke NTT. Namun, forum perkenalan keluarga belum juga berlangsung. Kami belum menemukan jadwal yang cocok. Saya mulai urung niat akan perkenalan keluarga dan fokus kembali pada tugas saya yang di “extend” karena kebijakan terbaru pemerintah benar – benar menyulitkan. Pun bahkan sudah antri menginap dihalaman salah satu RS terkenal di ibu kota Provinsi NTT demi mendapatkan test RT-PCR, saya masih harus tertahan disana. Karena saya belum bisa pulang ke Jawa, maka tugas saya diperpanjang, dari Ibu Kota Provinsi NTT berkendara selama 7 jam perjalanan menuju kota perbatasan Indonesia-Timor Leste saya tempuh.

Di Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Qodarallah, H-1 keberangkatan menuju Atambua-Belu, NTT. Forum keluarga berubah format sementara menyesuaikan kondisi, malamnya saya langsung menelpon Ayahanda calon istri untuk kemudian berkenalan lebih lanjut dan sapa – sapa menyampaikan maksud. 

Malam itu saya ditemani satu orang yang menjadi teman perjalanan saya di NTT, ia sibuk memasak makan malam untuk kami berdua, sedang saya fokus berbincang dengan seorang ayah hendak tawar menawar seorang anak perempuannya untuk saya pinang. Saya kenalkan diri dan maksud saya dengan singkat padat jelas, ala-ala pitchdeck (tapi via telpon), selanjutnya saya ditanya seputar prinsip hidup yang kemudian berujung closing ideas, semua kembali kepada niat saya dan calon pendamping hidup, juga kehendak Allah SWT.

Sejujurnya setelah pertemuan malam itu, saya semakin yakin bahwa ini karunia yang Allah berikan, dan saya harus menghadirkan sikap dan kesyukuran versi terbaik. Saya benar – benar merasa baru kali itu dalam waktu singkat menyelami diri sendiri, lantas dengan lantang dan penuh percaya diri menyampaikan pada suara di ujung telepon bahwa saya punya banyak kelebihan. Meski setelah telepon ditutup, semua kekurangan saya tampak, semua aib kembali teringat, saya menuruni tangga dari ruang lantai dua dengan penuh haru bercampur syukur.

Rere

Awal Juli, kami kembali melangsungkan pertemuan virtual. Kami membicarakan kekurangan dan kelebihan kami masing-masing. Perantara kami membersamai di forum ini.

“Jujur, aku perfeksionis. Kalo ga dikerjakan sempurna, rasanya gimana gitu”.
“Aku bawel, tapi perempuan umumnya ngomong 20.000-40.000 kata/hari, sedangkan laki-laki cuma 4000-10.000 perhari. Tapi kalau perempuan gak bawel, siapa yg ngajarin kosakata untuk anak-anaknya”

“Aku gampang nangis, cengeng”. 

Setelah diskusi malam itu, banyak insight yang kami dapat, juga nasihat dari usatdz ustadzah yang mendampingi kami. It was an amazing moment. 

Setelah diskusi beberapa waktu, Azzam melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan, “Mba Rere kapan siap di khitbah?”. 

“Yhhaaaaaaa kapan kamu siap?” Jawab saya sok santuy padahal rasanya seperti mau pingsan. Wkwkwk.

Bagian Keempat; Menyelam Lebih Dalam

Rere

Pertengahan Juli, Azzam tugas ke NTT, sedangkan saya sibuk mengurus administratif qurban di kantor. Kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Akhir Juli, saya mengenalkan Azzam ke keluarga saya lewat video call, demikian sebaliknya. 

Setelah berdiskusi dengan kedua orangtuanya, saya menyimpulkan bahwa dia seorang pekerja keras. Ia tumbuh dan dibesarkan dari banyak perjuangan, inilah yang memberikan saya keyakinan bahwa dia bukan laki-laki biasa. Saya harus mempertimbangkannya. Dibalik diskusi dan momen saling memperkenalkan, saya mencari tau lebih jauh tentang dirinya lewat orang-orang terdekatnya. Tujuan saya : mencari segala kekurangannya. 

Bagi saya, kelebihan pada dirinya adalah bonus, sedangkan kekurangannya adalah kepastian yang akan saya hadapi, maklumi, juga lengkapi.  Tetapi, semakin saya bertanya tentang segala kekurangannya, saya justru menemukan begitu banyak kelebihannya.

Azzam

Kurang lebih 20 hari berada di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, sadar tak sadar, ternyata saya banyak berinteraksi dengan keluarga besar Baptua Em (orang disana memanggil Ayah dengan istilah Baptua). Dari mulai kakek hingga cucu-cucunya, semuanya ada. 

Baptua dan keluarganya merupakan penduduk lokal yang pertama kali menyambut saya ketika menapakkan kaki di Atambua-Belu. Mereka bukan orang tajir apalagi pejabat tinggi, tapi hampir semua orang di Atambua mengenali keluarga besar ini, rupanya yang membuat mereka bisa ‘seterkenal’ itu karena mereka memang sibuk menjadi pelayan setia masyarakat disana, dengan segala kemampuan dan keterbatasan yang mereka miliki. Meski mayoritas penduduk katolik, namun keluarga muslim ini tak pandang bulu, mereka tetap paling terdepan membantu banyak orang disana. Bahkan tak sedikit dari kehadiran mereka, atas izin Allah SWT, saudara-saudara muslim disana bertambah dari waktu ke waktu (convert to islam from catholic).

Pada saat perjalanan pulang dari NTT menuju Bandung, pesan mereka pada saya, bahwa apa yang mereka lakukan semuanya atas izin Allah dan demi mencari ridho-Nya. Maka sepanjang jalan saya berdzikir dan semakin yakin serta terus berprasangka baik pada Allah SWT, bahwasanya proses yang  sedang dijalani ini sudah berada pada jalan yang benar. Termasuk berkeyakinan untuk melanjutkan pada tahap yang lebih serius lagi, yakni bertemu langsung dengan calon pendamping setia seumur hidup, ketika nanti kembali ke tanah Jawa.

Satu hal yang menjadi penanda penting bagi saya untuk semakin yakin adalah bahwa apa yang telah Baptua Em beserta keluarga besarnya lakukan itu sejalan dengan tulisan pada lembar formulir CV-nya, ucapan atas visinya pada pertemuan virtual kala itu serta tindakan-tindakan yang selama ini ia jalani. Itulah gambaran masa depan yang ingin calon istri wujudkan, senantiasa melayani khalayak masyarakat, begitu juga visi saya (calon suaminya). 

Beberapa waktu kemudian kami bertemu di Yogyakarta. Dirumah ustadzah yang menjadi pendamping sekaligus mentor sang calon. Lagi–lagi saya gugup, tiba – tiba tenggorokan gatal bukan main, inginnya batuk terus ketimbang mengenal sang calon.

Setelah acara di buka, disampaikan maksud dan tujuan bertemu, ia mengeluarkan banyak berkas, yang sungguh membuat saya sangat terkejut. Ternyata ia telah menyiapkan banyak hal untuk proses panjang ini. Nyata bagi saya, bahkan sampai tulisan ini dibuat, saya masih sangat kurang persiapan, tapi begitu besar keinginan untuk segera menyempurnakan separuh agama. Bagaimana bisa? 

Saya terkejut bukan main. Di dalam berkas yang tersusun rapi dalam sebuah file map itu berisi draft rancangan kurikulum pendidikan keluarga berserta weeding agreement. Saya fikir saat itu sedang berhadapan dengan sebuah entitas, entitas yang serius untuk berkolaborasi jangka panjang, bahkan mungkin juga kolaborasi yang melintasi ruang dan waktu.

Ketika berkas dibuka dan beberapa dokumen disodorkan, saya melihat jarinya bergetar, mungkin ia juga nervous dan terkejut ketika melihat saya, meskipun raut ekspresi saya tampaknya terlihat biasa-biasa saja. Lagi-lagi saya menyadari bahwa hari itu saya sangat kecolongan, mengapa saya luput dengan hal-hal seperti ini?

Rere

Awal agustus, kami bertemu (nazhor) di Jogja. Saya didampingi ustadzah, Azzam didampingi rekan-rekannya dari Bandung. Seminggu sebelum pertemuan ini, saya menyiapkan banyak hal, mulai dari rekam medis kesehatan saya, wedding agreement, kurikulum semasa hamil, kurikulum anak, kurikulum keluarga sampai format/design undangan. Semuanya saya susun rapi dan akan saya sampaikan detailnya kepada Azzam saat kami bertemu nanti.

Menjalani tes pre marital check up di lab

Hasil Tes Pre Marital Check-Up

Kalau teman-teman bertanya tentang detail berkas-berkas tersebut, sedikit saya beri bocoran ditulisan ini. 

Pertama, rekam medis kesehatan. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kejujuran saya ke Azzam, bahwa dia berhak tau kondisi kesehatan saya. Saya punya hasil tes HIV, USG Rahim, USG abdomen (ginjal, limfa, hati, kantung empedu, usus, lambung), hasil tes urin, tes darah, bahkan hasil tes thalasemia. Sebut saja, pre marital check-up (check kesehatan sebelum pernikahan). Alhamdulillah hasilnya baik, tidak ada masalah. Khusus tes ini, masih kurang 1 tes lagi, yakni TORCH. 

Kedua, wedding agreement. Perjanjian selama pernikahan. Poin yang saya tuliskan sebanyak 10 poin. 

Bunyi poin pertama, “Selama saya masih dapat melaksanakan kewajiban saya sebagai seorang istri dan ibu, maka saya adalah satu-satunya istri sah suami”. 

Poin kedua, ketiga, seterusnya, dirahasiakan. 

Saya gemetar manakala menyodorkan berkas-berkas ini. Namun sesuatu berbisik, “It’s okay Rere, all is well”. Saya menarik nafas dalam.

Design undangan pernikahan yg saya tawarkan ke Azzam

“Bismillah, saya mau menyampaikan empat hal, masing-masing saling berkaitan, kalau kamu tidak setuju dengan poin pertama, maka engga bisa lanjut ke poin kedua, begitu seterusnya”. 

Dia terlihat kaget dengan apa yang saya sampaikan, juga sodorkan kehadapannya. Di momen pertemuan ini, kami pun saling melempar pertanyaan,  berdiskusi beberapa hal, dan sedikit menambahkan hal-hal yang akan kami bicarakan kedepannya. Pertemuan yang tidak lama, namun sangat bermakna. Sore harinya, Azzam dan rekan-rekannya pamit pulang ke Bandung, sementara saya kembali ke Solo naik motor sendirian. (Oh ya, pertemuan kami hanya berempat, sedangkan rekan-rekannya dari Bandung menghabiskan waktu berkeliling Jogja).

Kesan pertama saya berjumpa dengannya? Dia terlihat kaku, malu-malu, dan nuansa hatinya merendah. Terdengar sok tau memang, tapi begitulah yang saya rasakan.  

Bagian Kelima; Tawakkal

Rere

Setelah malam pertemuan dengan kedua keluarga, saya bertanya kepada Azzam di grup.
“Setelah mendengar banyak hal dari Bapak Ibukku, kamu masih yakin kah?”.

“Bismillah, isyarat lanjut”. 

Jujur, saya sangat senang jika Allah menyatukan kami, namun jika Allah berkehendak lain, saya sudah amat sangat bersyukur dengan proses ini. 

Saya berusaha tampil jujur  apa adanya. Sayapun berpesan ke orangtua untuk tidak menutupi apapun tentang keluarga kami. Bapak Ibu saya menceritakan latar belakang keluarga kami yang pernah menjadi korban perang, harta kami di jarah, rumah kami dibakar, kami mengulang segalanya dari nol.

Saya melihat Azzam “fine-fine” saja dengan masa lalu saya, dengan segala masa kelam, segala skenario hidup yang seperti …..“roller coaster”, saya melihat dia santai dengan kalimat-kalimat yang saya sampaikan tentang keluarga saya. 

Disinilah, letak kesyukuran saya.

Manakala Allah mempertemukan saya dengan seseorang yang menerima saya, yang tidak ambil pusing dengan harta jabatan kedudukan orangtua saya, yang tetap stay cool meski Bapak Ibu saya hanya seorang petani di desa, yang tetap tersenyum meski Bapak saya bilang kalau saya bandel, petakilan, tidak bisa diam. 

Saya sungguh bersyukur, Allah  mengirimkan seseorang yang tulus. 

Allah seperti ingin bilang, “Tenang, masih ada kok hamba-Ku yang menerima kamu dengan segala masa lalumu itu, don’t worry, aku punya caraku sendiri”.

Duh pedes banget nih mata.

Azzam

Segala yang berkecamuk dalam hati dan pikiran rasanya ingin saya luapkan seketika agar hati ini kembali menemui ketenangannya. Tetapi hal itu rasanya masih belum memungkinkan untuk saat ini, saya masih belum sanggup hati untuk menceritakan segala yang bergejolak sebab barangkali saya masih harus sabar menunggu momentum yang tepat untuk menceritakannya.

“Semua akan indah pada waktunya”, bagai indahnya pelangi dan kehangatan surya yang muncul setelah badai besar terjadi. 

Paska pertemuan di Jogjakarta kala itu, kami bersepakat untuk segera membahas rencana waktu dan tanggal lamaran kepada kedua orang tua masing - masing. Pagi berganti siang, sore menjelang malam, pertanyaan tentang masa depan yang tiada satupun manusia mengetahui apa yang akan terjadi, traffic-nya terlalu tinggi, hampir setiap malam memadati lintasan fikiran. Untuk mengurai kepadatannya, istikhoroh beserta usaha pengokohan ruhiah terus digencarkan. 

Di salah satu malam, saya tiba – tiba teringat sebuah ucapan penuh hikmah didalam Qur’an, tentang kepasrahan yang begitu sempurna dari seorang manusia kepada rabb-Nya, ialah kisah tentang Ayahanda Ya’qub yang diuji oleh beratnya suasana yang menimpanya kala itu, “Innama asyku batsi wa huzni ila-LLAH” -sungguh aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah semata. Memang sudah sewajarnya manusia kembali kepada rabb-Nya, kala ia menghadapi kebuntuan dalam segala hal.

Jika kembali pada persoalan berkecamuknya hati dan pikiran yang begitu hebat di awal perjalanan waktu menuju agenda lamaran, atau kapanpun itu, sungguh penyelesaiannya sangat sederhana, cukup dikembalikan kepada Allah SWT. Karena takdir-Nya tak perlu dirisaukan, cukup dijalani, toh sejatinya manusia yang mencoba untuk menghindari jalan takdir-Nya, maka ia sebenarnya hanya beralih dari satu takdir ke takdir-Nya yang lain.

Adapun tentang usaha mengokohkan segala keputusan merupakan tahapan berikutnya setelah fokus menjalani ketetapan takdir-Nya. “Aladziina qoolu Robbuna Allah, tsummastaqamuu..”. 

Bagian Keenam; Lamaran dan Keberkahan

Azzam

Alhamdulillah, tanggal beserta teknis lamaran sudah disepakati, acaranya akan dilaksanakan di Jogjakarta. Waktu–waktu menuju hal besar lainnya dalam hidup saya akan segera tiba, saya akan segera (benar–benar) hidup berumah tangga didampingi seorang wanita yang statusnya kelak adalah istri saya. Teman – teman biasa memanggilnya Rere. Mengingat kondisi kedua orang tua Rere yang berdomisili jauh dari pulau Jawa, maka Ustadzah yang menjadi mentornya saat itu, bersama suaminya bersedia untuk menjadi wali Rere, kala saya hendak melamarnya di Jogjakarta. 

Saya sangat yakin bahwa keberkahan adalah kunci dari setiap kemudahan dan kelancaran suatu aktivitas. Bagi saya, keberkahan juga merupakan satu tanda bahwa Allah SWT ridho dengan apa yang kita ikhtiarkan. Ketika keberkahan terkumpul, semua sebab-akibat kebaikan, termasuk bertumbuhnya kebaikan tersebut membuat apapun menjadi lancar, penuh ketenangan dan ridho akan segala keputusan-Nya. Sulit atau mudah justru ini menjadi relativitas atas realita dari keberkahan. Sesuatu bisa saja mudah, namun tidak berkah, seringkali berujung kesulitan, sebaliknya sesuatu bisa saja sulit namun penuh berkah, lancar hingga akhirnya.

Satu bulan menjelang lamaran, Rere mengusulkan lokasi tempat khitbah, dan kami sepakat akan melaksanakannya di Masjid Muslim United. Suatu keberkahan, para penjaga masjid mengizinkan, tak perlu surat menyurat apalagi biaya ini itu.

Masih dibulan yang sama, tiba – tiba muncul rencana ekspedisi pendakian bersama rekan-rekan alumni program beasiswa asrama RK. Rupanya Rere juga menjadi salah satu yang akan berangkat dalam ekspedisi itu. Padahal, kami masih dalam proses ta’aruf menuju khitbah. Laa hawla wala quwwata illah billah. 

Beriringan datangnya rencana eskpedisi itu, datang pula ujian covid-19, selama 14 hari saya isolasi mandiri. Saya pasrah dan saya memohon ampun, Jangan – jangan sebab rencana eskpedisi itulah covid-19 mengenai saya, padahal dua dosis vaksin sudah masuk ke tubuh saya, qodarallah akhirnya saya terdampak juga.

Demi menjaga keberkahan, sebagaimana niat diawal beserta keyakinannya, saya hanya bisa pasrah, dan memohon yang terbaik pada Allah SWT. Terlebih pada masa – masa kritis saat terkena covid-19. “Apapun yang terjadi saya ridho ya Allah”, bahkan saya membayangkan saya gugur dan tercatat sebagai syuhada karena covid. 

Jalan masih panjang terbentang, rupanya. Hari ke-12 kondisi saya benar-benar membaik, dan ketika antigen tes dihari ke-14, status covid-19 saya sudah negatif. Kembali ke ekspedisi, saya tidak berharap apapun dan tidak begitu antusias, yang ada rasa semakin khawatir kala pendakian nanti kami berkholwat yang tidak – tidak. Hingga satu hari menjelang ekspedisi pendakian, saya tak menyiapkan satu peralatan apapun, saya ingin menjaga keberkahan. Cukup itu saja. Namun justru takdir berkata lain. 

Singkat cerita, saya tetap berangkat dan menjadi porter dalam ekspedisi itu. Rupanya Allah SWT mengizinkan saya untuk menguji langsung kondisi fisik saya sebakda covid-19 pekan lalu. Sepanjang perjalanan saya hanya fokus pada diri saya sendiri bersama lantunan do’a dan dzikir memohon perlindungan pada Allah SWT agar saya selamat dari hal – hal buruk yang menjadi sebab  hilangnya keberkahan. Alhamdulillah saya benar-benar sehat dan fit kala itu. 

Seminggu setelahnya, menjelang waktu lamaran akan tiba, Masjid Muslim United dikabarkan membatalkan izinnya untuk kami. Maka Rere mulai mencari alternatif masjid lain. Hampir saja saya bersu’udzon pada diri saya sendiri. Suatu keberkahan, ternyata Masjid Muslim United kembali mengizinkan kami menggelar khitbah disana. berikut juga semua hal yang mengarah pada hari itu terasa sangat mulus, meski pada hakikatnya banyak hal yang membuat saya terbebani, tapi itulah keberkahan, semoga Allah SWT ridho, sehingga lancar semua urusan.

Rere

Kami merencanakan khitbah pada bulan September setelah berdiskusi antar kedua keluarga besar. Ibu saya  menyarankan agar prosesi lamaran dilaksanakan di Pulau Jawa karena masih PPKM dan kondisi pandemi yang memprihatinkan. Kamipun setuju. 

Pertengah Bulan September, saya memutuskan untuk ikut naik Gunung Sindoro bersama rekan-rekan RK lainnya. Azzam juga ikut pendakian ini. 

Saya sedikit khawatir teman-teman mencurigai kami, maka saya berusaha agar terlihat biasa, dan tidak banyak interaksi dengan Azzam selama perjalanan. Azzam sepertinya juga menjaga, dan hanya sesekali bicara jikalau ada perlu penting. 

Dia teruji secara klinis di alam. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin dia yang baru saja sembuh dari covid-19, membawa beban banyak, jalan begitu cepat didepan. 

“Zam, jangan lari ya”. Kata rekan kami. 

Sewaktu kami summit attack pukul 3 pagi, Azzam masih tetap berjalan didepan membawa logistik, sementara kami dibekalang tidak membawa apa-apa. Dia begitu cepat. Entah terbuat dari apa fisiknya. 

Pendakian ke Gunung Sindoro bersama rekan-rekan RK

Pantas saja ketika dia bertanya, “Kamu punya ekspektasi tentang suamimu nanti bagaimana?”. 

Saya menjawab, “Enggak ada sih, paling kalopun ada, ekspektasinya cuma naik gunung bareng suami”. 

Dia tersenyum simpul. Mungkin dalam hatinya bilang begini, “Ahhhhhh… itumah urusan keciiiiiill…..”

Acara khitbah dilaksanakan dengan sederhana di Masjid Muslim United, Yogyakarta. Saya bersama Ustadz dan Ustadzah , seorang sahabat, perantara, sementara Azzam diantar oleh Ustadz Ustadzahnya dan Razi (Prabu 8) teman dekatnya Azzam. 

Sewaktu dilokasi, Razi bertanya kepada saya. “Rere, kok disini? Nemenin temen?”. Wajahnya tampak bingung. Saya lantas menjawab, “Kamu belum tau? Belum dikasih tau Azzam?”
“Ohhh kaliaaaaaaan….”. Dia terlihat sangat kaget. wkwk.

Meskipun sebentar, acara lamaran terasa khidmat. Saya berusaha semaksimal mungkin menyusun acara ini dengan matang, apalagi status saya sebagai tuan rumah.

Alhamdulillahnya, tim Masjid MU sangat totalitas membantu acara lamaran kami.
“Mbak Reni Anggraini, Saya mewakili Mas Azzam Mohamad Hafidz, menanyakan kepada Mba Reni, apakah bersedia menerima lamaran dari Mas Azzam?” Kalimat Ustadz tegas dan jelas.

Sedang menjawab pertanyaan lamaran

“Bismillah dengan izin Allah dan restu Bapak Ibu, InsyaaAllah saya menerima pinangan dari Azzam”. 

Nafas saya tersengal. Begitu rupanya rasanya dilamar. 

Sepanjang perjalanan naik KRL kembali ke Surakarta, hati saya berbunga-bunga. Belum pernah saya merasakan sebahagia itu. Rasanya seperti mau terbang.

Lantas, bagaimana dengan Azzam?

Tidak tau. 

Saya tidak menanyakan tanggapannya tentang khitbah yang sesingkat itu, apalagi dia masih harus kembali ke Bandung sesegera mungkin. Tapi yang jelas, kami lega. Setidaknya tahap yang satu ini telah terlaksana, selanjutnya adalah persiapan menuju hari-hari yang lebih “menantang”.

Bagian Ketujuh; Menjelang Hari Bersejarah 

Rere

Manusia berencana, Allah berkuasa.

Sepanjang menuju akad, ada banyak hal yang kami siapkan. Mulai dari kesepakatan tanggal, lokasi pernikahan,  konsep, teknis acara, hingga kesepakatan-kesepakatan sebelum sah. 

Kami membuat google sheet dan google drive bersama,  isinya segala tentang persiapan yang kami butuhkan. Diantaranya ialah  itinerary, budgeting, alur mengurus berkas KUA, rumah kontrakan, kesepakatan pra-akad, dana yang kami siapkan, berkas, project sosial sebagai bentuk syukuran pernikahan dan lain sebagainya.

Link gdrive untuk monitoring progress acara kami


Link google sheet untuk detail keperluan acara pernikahan

Project Social di agenda akad nikah kami

    Ada banyak diskusi yang hadir. Salah satu yang masih saya ingat adalah ketika kami berdiskusi tentang value keluarga. Azzam bilang, “Kita harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pondasi rumah tangga kita”. 

Saya jadi ingat kalimatnya Buya Hamka dalam buku Falsafah Hidup, "Al-Qur'an menjadi dasar pemikiran yang tercerminkan dalam tingkah laku dan konsep hidup manusia, ia menjadi pedoman, nafas, dan..."

Intinya, Azzam ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai “way of life” di keluarga ini.  Menjadikan rumah tangga yang akan kami bangun sempurna bersandar kepada Allah, Al-Qur’an, dan hadits. 

Jleb. Tertamparrrrr. 

Selepas diskusi itu, saya sempurna tidak bisa tidur. Kalimat itu sederhana, tapi mampu  menghantui malam-malam saya. 

“Gimana ya caranya supaya keluarga ini senantiasa bersandar pada kalam Allah”

“Berat ga Re?”

Gatau wkwkwk. Belum dijalani. 

Menjelang hari bersejarah ini, kami menjadwalkan untuk membuat agenda diskusi menjelang segala hal menuju pernikahan. Hal ini bertujuan untuk mengukur segala persiapan, apa-apa yang kurang, apa-apa yang harus ditambahkan, disempurnakan. 

“Undangan digitalnya aku pilih yang ini, nanti gallery fotonya dan deskripsi project nikah kita diskusikan lebih lanjut”.
“Aku udah pesen gaun buat akad dan buat adat, menurut kamu baiknya yang ….”
“Aku udah bikin list perlengkapan rumah tangga, kalo ada yg mau ngasih kado, bisa liat list itu”
“Kapan bahas tulisan? aku bikin daftar tamu”
“Tolong dipastikan nanti acaranya…”
“Fotografernya temen SMA ku”

Hari berganti hari, terasa amat cepat bagi mereka yang menikmati. Saya berulang kali bertanya kepada diri sendiri. “Beneran mau nikah nih? beneran sama dia? hidup sama stranger? Kamu yakin dia yang terbaik?”

“Rere, is he the one and only?”

Suara entah dari mana menjawab, “Jika kamu masuk kedalam hutan untuk mencari kayu, inilah saat dimana kamu telah menemukan kayu yang kamu butuhkan”. 

Sering terbesit dihati untuk mundur, merasa ragu, merasa tak pantas, merasa kecil, merasa bukan orang yang layak bersanding dengannya. Ah, mengapa setan lihai sekali menggoda manusia untuk melaksanakan ibadah terpanjang? 

“Wahai Allah, jika dia yang terbaik untukku, untuk keluargaku, agamaku, masa depanku, tolong dekatkan, lancarkan, mudahkan. Jika bukan, tolong jauhkan, dan hadirkan yang terbaik. Aamiin”. 

Azzam

Saya masih tak menyangka, tiba – tiba hari lamaran itu selesai dilalui dan dua keluarga besar sepakat menggelar tanggal pelaksanaan akad pernikahan. Naluri seorang anak saya pun ikut terkejut dan meronta-ronta mempertanyakan jalan yang saya pilih kali ini. Saya fikir jika saya mengikuti suara hati itu, tentulah saya masih sebagai kanak-kanak yang belum siap dengan segala proses ini, tetapi pada dasarnya memang saya tetaplah seorang anak dari kedua orang tua saya. Suara hati ini ternyata lebih ingin meyakinkan dan menguatkan kembali atas pilihan yang saya ambil, agar kedewasaan dalam beribadah karena sempurna separuh agama menjadikan saya dan Rere kelak justru semakin jauh  lebih berbakti kepada kedua orang tua kami.

Hari demi hari berlalu, waktu menuju akad semakin dekat, sungguh masih banyak hal yang belum siap apalagi berharap sempurna. 

Wahai Allah, sesungguhnya aku berpasrah dan memohon sebaik-baik petunjuk pada-Mu, aku memohon dengan segala ilmu-Mu, berikan aku keterang-benderangan atas kegelapan dan kebodohon diri ini sehingga suatu perkara menjadi jelas. Aku memohon dengan segala kuasa-Mu atas kehendak dan ketetapan-Mu, tetapkan aku dan hendaki aku berada pada jalanmu, sehingga tenang jiwa ini. Maka apabila urusan pernikahanku dengannya adalah baik bagiku, agamaku dan masa depanku, mudahkan dan dekatkan aku padanya, begitu juga dirinya. Tetapi apabila hal ini buruk bagi ku, buruk bagi agamaku, dan masa depanku, maka jauhkan aku darinya dan jauhkan ia dariku”

 

Azzam dan Rere

Bismillah, kami melangkah. 

 


You Might Also Like

16 comments

  1. Masyaa Allah Reree, soo inspiring! Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakumaa fii khoiriin. Yasarallahu fiik .. πŸ™♥️

    BalasHapus
  2. MasyaAllah Reniii
    Sangat menginspirasi sekali πŸ₯ΊπŸ˜
    Barakallah Ren πŸ’—

    BalasHapus
  3. Ren... Speechless akutuh.. keren ren, sgt menginspirasi.. sehat selalu ya orang baik, semoga di lancarkan segala urusan dan niat baik nya

    BalasHapus
  4. Masya Allah kak so inspiring, barakallah semoga Allah lancarkan segala urusannya hingga hari H❤

    BalasHapus
  5. MasyaAllah Reni, terimaksih Uda buat tulisan ini,Sangat menginspirasi :). Barakallah Reni, semoga segala niat baik nya dilancarkan...

    BalasHapus
  6. Masyaa Allah mba reni dan mas azzam, kerenn banget, semoga Allah lancarkan sampai hari H...

    BalasHapus
  7. MasyaAllahhh. sungguh kisah yang penuh inspirasi. barakallah mas azzam dan mba reni.. semoga Allah berkahkan setiap prosesnya

    BalasHapus
  8. Masyaa Allah kisaa menginspirasii .Barakallahh Ka Azzam semoga dimudahkan sampai akad

    BalasHapus
  9. Masyaallaahu tabaarakallaah... Yassarallaahu lanaa wa lakum

    BalasHapus
  10. Gileee jaaam, ane berasa baca novel ini ondangan. Barakallah mas ajjam dan mbak rere 🀍

    BalasHapus
  11. Masya Allah tabarakallah sangat menginspirasi sekali..semoga dilancarkan dan dimudahkan segala urusan nya ya kk bg aamiin

    BalasHapus
  12. Masyaallah,,, takjub sama mas azzam dan mba rere 😒

    BalasHapus