Safarnama #1 : Dunia Backpaker yang kembali!

 

Perjalanan adalah proses penumbukkan fantasi dan realita.

Perjalanan adalah eksplorasi menemukan ‘dunia’ lain.

Perjalananku adalah penulisan lembar sejarah.

Perjalananku, suatu hari akan menjadi perjalananmu, perjalanan kita.

Foto 1: Kapal yang siap melakukan perjalanan
 
Selasa, 22 Agustus 2018.

Waktu menunjukkan pukul 09.03 WIB. Kutatap diriku dalam sebuah cermin yang terpampang di kamar. Hampa, sesuatu telah hilang. Kutatap semakin dalam, membiarkan pasang mata bertatapan, aku sedang melihat diriku dalam sudut yang lain.


Besok Idul Adha, baiknya kemana? Simbah apa kabar?

Ah.. sudah lama ‘puasa’ naik gunung, backpakeran, traveler-an, motoran antar kota. Rindu untuk melakukannya. Sungguh rindu.

Detik berlalu.

Atom-atom keberanian dan kenekatan sempurna membulat dihati. Oke, Ayo pergi!

Tas sudah, berkas sudah, masih ada hampir 2 jam untuk menyelesaikan segala urusan dikampus, bagian akademik, lalu  menuju ke terminal, membeli tiket. Jam keberangkatan pukul 15.58 WIB, maka dalam 1-2 jam  saya kemasi dua helai gamis, kerudung, alat-alat mandi, buku, dan beberapa keperluan lain.

Saya  berangkat diantar salah satu srikandi, Ana. Tentu saja setelah melewati drama ngebut naik motor.

Sejujurnya, kondisi keuangan saat itu sangat menipis-untuk tidak dikatakan memprihatinkan. Uang di dompet hanya cukup untuk ongkos pergi dan pulang, ditambah sebungkus roti cokelat untuk buka puasa hari itu.

Selebihnya, saya tidak mungkin memakai uang yang tersisa untuk hal lain. Bisa jadi gelandangan nanti.

Sementara gajian masih bulan depan.

Tak apa, ada Allah yang Maha Kaya. 

Terminal Jombor sudah dipadati manusia-manusia rindu rumah, manusia-manusia realistis yang tak akan menggadaikan keluarga demi harta dunia. Benarkah?

Saya lantas bergegas menaiki bus, kursi no 24.

Dibagian depan, seorang mas-mas berjaket biru donker berdiskusi dengan seorang mbak yang telah merampas tempat duduknya, tentu saja itu bukan kesalahan si Mas atau si Mbak, itu mutlak kesalahan petugas. Maka demi meredam persengketaan didalam bus, pak kondektur meminta si Mas duduk di kursi kosong no 25. Tepat disebelah saya.

Dan siapakah gerangan mas-mas berjaket biru donker itu? Dia adalah kakak kelas diasrama, Nakula angkatan 7.

Apa ini? Mengapa Allah menyusun skenario seperti ini? Positif saja, Allah hanya ingin menjaga seorang anak perempuan lewat orang baik. Insyaa Allah.


Sebut saja Mas A.

Eh, kamu srikandi 8, bukan?” tanyanya sembari duduk dan meletakkan barang-barang.

“Iya Mas, Mas mau kemana? Kali ini sambil merapikan posisi.

“Oh, saya mau pulang kerumah, Ke Kudus, kamu kemana?”

“Saya ke Kudus juga, kerumah Simbah”.

Bus berjalan pelan, lalu setelah memasuki kota, bus mulai berkecepatan sedang. Satu jam kemudian, bus berhenti di terminal Magelang. Sebagian penumpang turun, sebagian naik.

“Kutulis kenangan tentang, caraku menemukan dirimu, tentang apa yang membuatku mudah,….jreng jreng”

“Arem-aremnya 5000 dapet 3”

“Teh panas nya mbak, mas, untuk buka puasa”

“ Ya kacang, tahu bakso, kacang, tahu bakso”

“Bila musim berganti, sampai waktu terhenti, bila dunia …..”

Misi mas, arem-arem niki untuk buka puasa”

Saya membenamkan wajah ke kursi depan, mengapa orang-orang ini berisik sekali? Ah perut saya tiba-tiba mual. Maka setelahnya adalah membiarkan waktu merenggut kesadaran, bolehkah tidur menjelang buka puasa?

Bus kembali berjalan, tidak akan berhenti lagi, karena tujuan akhir adalah Kudus dan Pati.

“Sudah azan belum, Mas?”

“Kalau di jadwal sholat Magelang, magrib jam 17.43 WIB, ini jam 17.40 WIB, tadi samar-samar Mas dengar suara azan. Gimana kalau kita tunggu sampai jam 17.43 WIB?”

Saya mengangguk.

Tak lama, azan berkumandang.

“Re, ini arem-arem buat kamu, tadi aku beli 5000 dapet 3”

Saya menerimanya. Sesungguhnya saya sedang tak berniat melahap apapun, kecuali seteguk air putih yang sudah disiapkan sejak di Jogja. Namun demi menyenangkan hatinya, saya putuskan untuk memakan arem-arem itu perlahan. Sungguh perut ini sedang tak bisa diajak berdamai.

Setelahnya, saya habiskan waktu dengan tidur. Bus akan sampai di Kudus pukul 21.05 WIB. Cukup untuk membiarkan mimpi menjadi teman setia selama sisa perjalanan.

Setengah jam sebelum sampai, saya terbangun. Mas A sepertinya sudah sejak tadi terjaga.

Kami akhirnya berdiskusi beberapa hal, mulai dari ekonomi kapitalis-sosialis, pasca kampus, membangun daerah, kota-kota di Jawa Tengah, dan beberapa hal lainnya.

“Kamu sudah bilang Simbahmu? Sepertinya ini sudah lewat Demak”.

“Belum, ini baru mau saya hubungi”.

“Tapi sudah bilang Ibu-Bapakkan? Kalau kamu ke rumah simbah?”

“Belum juga. Nanti saja bilangnya”.

Lah, kok ndak izin dulu?”

“Soalnya kalau bilang diawal, biasanya ndak diizinkan, jadi bilangnya kalau sudah sampai, Mas. Emmm….. Saya sebenarnya lupa-lupa ingat rumah simbah dibagian mana, terakhir kesana 2015 lalu. Nanti kalau ndak ketemu, saya tidur di Mesjid. Ndak papa, kan?”

Hahahahaha. Ya ndak papa”.

Percakapan selesai.

Mas A membuka HP, belakangan saya tahu kalau beliau menghubungi srikandi 7 yang sedang di Kudus. Sepertinya meminta si Mbak untuk menghubungi saya. Supaya apa? Supaya saya tidak tidur di Mesjid. Haha.

Jazakallah khairon katsir atas usahamu, Mas.

Saya membuka HP, meminta keluarga di Medan mengirim kontak simbah, lalu menelepon satu persatu.

“Asaalamualaikum, Mbah, ini Rere, Mbah, saya sudah hampir sampai di Kudus”

Maaf. Salah sambung.

“Mbah, niki Rere. Mbah saya di Kudus”.

Siapa ya? Simbah siapa? Maaf ini siapa?

 Keriwehan akhirnya berakhir setelah Pakde Ji menjemput di pom bensin. Maka malam itu, edisi menghebohkan keluarga di Medan dan di Kudus berakhir tanpa penyelesaian.

Bapak saya? Sudah panik sejak tahu kalau saya ke rumah simbah.

“Jadi tadi waktu nelponBapak, itu udah di Bus? Kok nggak bilang mau keluar kota? Ya Allah nak“

hehehehe”.

“Yaudah istirahat, salam untuk semua, baik-baik ya disana” Bapak mulai tenang.

“Siap Bos”.

Saya akhirnya  memutuskan untuk istirahat dirumah Pakde Ji dan Bude Ti.

Beberapa jam kemudian, Adzan subuh berkumandang, Bude membangunkan saya.

Rasanya tulang saya patah-patah setelah semalaman tidak bisa tidur nyenyak.

Kami bersiap-siap untuk melaksanakan Solat Idul Adha di Mesjid terdekat. Waktu itu pukul 05.33 WIB. Jawa dan Sumatera memang berada dalam waktu yang sama, namun suasananya yang berbeda.  Solat idul adha berakhir pukul 07.13 WIB. Saya, Bude, dan Rama kembali ke rumah.

Foto 2: Sepulang Sholat Idul Adha


Foto 3 (Ki-ka) : Pakde Ji - Bude Ti - Bude Yan - Rama

Kata Bude, Pakde Ji (suaminya Bude) menjadi panitia di Mesjid yang lain, sehingga tidak bersama kami pagi itu.

Saya mengemas beberapa barang dan merapikannya, lalu bergegas pergi ke Bude Win. FYI, Keluarga Simbah dari Bapak yang di Kudus adalah simbah tidak langsung. Simbah Amah adalah adik Simbah saya. Jadi, anak simbah Amah adalah sepupu bapak saya. Ah ya, mereka tinggal berdekatan, satu komplek masih saudara dengan Bapak saya, meski silsilahnya teramat rumit.

Sewaktu di rumah Bude Win, saya terlelap.

Hari Raya Idul Adha dan kau  membuang waktu dengan tidur?

Maka demi melihat keponakan ‘jauh’ yang sudah dibuai mimpi, Bude Ti membangunkan saya. mengajak pergi melihat penyembelihan hewan qurban.

Di Kudus, hewan yang di qurbankan biasanya adalah kambing, domba, dan kerbau. Sapi adalah hewan yang tidak boleh disembelih. Mengapa? Menurut sejarahnya, Sunan Kudus sewaktu memimpin Kudus dimasanya, beliau sangat menghormati rakyat yang beragama hindu. Sehingga, demi menjaga nilai-nilai toleransi beragama, sapi yang dianggap suci oleh pemeluk agama hindu menjadi hewan yang juga harus dihormati. Tidak disembelih.

Baiklah, saya mencoba memahami dan menghargai itu.

Selama melihat Pakde Ji membersihkan jeroan, saya dan Bude duduk di pinggir jalan, menatap mereka

Foto 4: Pakde Ji dan Bapak-bapak petugas penyembelihan hewan qurban.

Foto 5: Seekor kerbau yang sedang di kuliti.

Pikiran saya melayang, Idul Adha adalah ajang ‘perbaikan’ gizi untuk seluruh rakyat Indonesia yang konsumsi daging nya masih dalam kategori terendah di Asia Tenggara. Faktanya, basis peternakan di Indonesia 98% adalah peternakan rakyat, tujuan utamanya adalah tabungan, pekerjaan sampingan, pendapatan tambahan. Peternakan rakyat belum bertujuan untuk produksi skala besar. BPS menyebutkan bahwa angka pemenuhan kebutuhan daging sapi di tahun 2018 menyentuh angka 60,4%. Data inipun, masih diragukan kebenarannya.

Meski sebenarnya, sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan kaum akademisi. Mulai dari satu betina satu anak, Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Betina Wajib Bunting), pengembangan Sapi Belgian Blue, sampai ke Sistem Integrated Farming.

Sayangnya, upaya-upaya itu memang belum memberi titik terang dan perubahan yang signifikan. Lalu solusi dariku? Adalah menjadi bagian dari solusi.

Sabar, saya sedang mempersiapkan. Mohon doanya ya.

Bude Ti mengajak kembali kerumah, kata Bude kami akan berkunjung kerumah adik-adiknya Bude Ti. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Bude, sekitar 10 menit perjalanan naik motor.

Saya , Rama, Bude Ti, dan keluarga lainnya berkumpul dirumah Sasa, agenda kami hari itu adalah bakar-bakar sate, bermain, tidur, makan sate,

Foto 6: Prosesi pemanggangan sate

Tengah hari, Ayah Sasa mengajak pergi ke pantai. Maka 3 mobil yang diisi keluarga Bude Ti, keluarga Sasa, dan keluarga lainnya berangkat ke Rembang, Jawa Tengah. Kami menuju ke Pantai Karang Jahe yang berada di bagian utara Rembang. Untuk menuju Rembang, perjalanan yang ditempuh menyita kurang lebih 2,5 jam setelah melewati Kabupaten Kudus dan Pati.

Sepanjang perjalanan memasuki wilayah Rembang, mata ini disuguhi pemandangan tambak-tambak garam yang luasnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan hektar. Cara yang digunakan petani garam adalah dengan penguapan melalui sinar matahari di tambak.

Betapa pemandangan ini membuat mata saya berbinar-binar. Kalau saya punya kamera, saya akan ambil foto sebagus mungkin.

Foto 7: Tambak garam.

Foto 8: Tambak garam ketika senja

Garam tak hanya tentang komponen air laut yang menguap ke udara, evaporasi. 

Garam tak hanya tentang baume dan Kristal-kristal didalamnya. 

Garam adalah persoalan cita rasa. Bayangkan saja masakan tanpa garam? 

Tidak akan ada telur asin, tidak akan ada asinan?

Tiidak akan ada kalimat ‘sudah makan garam kehidupan’.

Garam lebih dari sekedar rasa. 

Garam adalah persoalan kekayaan bangsa.

Bagaimana mungkin negeri dengan luas lautan 2/3 dari daratannya masih mengimporgaram?

Saya menatap sepanjang jalan, indah sekali.

Tak lama kami sampai di pantai, kondisinya ramai dan lumayan banyak kendaraan.

Kami berlari kegirangan menuju bibir pantai. Beberapa kapal bertengger ditepian, sudah tidak melayani penumpang. Sudah hampir magrib.

Foto 9: Pintu masuk pantai

Foto 10: Bermain di pantai

Foto 11: Salah satu pemandangan di pantai.

Beberapa menit kemudian, tentu saja yang terjadi adalah puluhan jepretan foto. Bude dan keluarga yang lain memilih duduk-duduk di gazebo, mengeluarkan semua bekal makanan.

Saya? tentu saja bermain dipantai, mengambil beberapa foto, menikmati desiran angin yang mengajak terbang.

Satu lagi, membiarkan mas-mas yang bersuit-suit sambil menggoda ‘adek manis, foto yuk’.


Apa? Adek manis? Awas diabetes Mas. Haha.

Diseberang sana, petugas pantai mulai berduyun-duyun berjaga dipintu keluar.

“Kepada seluruh pengunjung, pantai akan ditutup dalam 20 menit. Silahkan bersiap-siap untuk meninggalkan lokasi karena…… “

Apa? Ditutup? Saya bahkan belum menyelesaikan hunting foto ini.

Foto 12: Sunset di Pantai Karang Jahe.

Foto 13: Kapal-kapal di pinggiran pantai.

“Kepada seluruh pengunjung, pantai akan ditutup dalam 10 menit, lalu muncul suara sirene…”

Bisakah kalian diam sebentar?

Kami akhirnya menyudahi kunjungan singkat di pantai Karang Jahe ini. Selanjutnya adalah momen keluarga besar, kami mampir disebuah restoran makanan khas dan olahan ikan

Foto 14: Tempat kami singgah

Foto 15: Makan bersama.

 They are so nice.

 So happy for having them, my family.

Setelah sesi makan besar selesai, saatnya kembali ke Kudus. Sudah bisa ditebak selama perjalanan apa yang akan saya lakukan. Sudah pasti tidur. Hehe.


Malam itu, ditengah keriuhan pertanyaan yang berjejal dikepala saya. saya memutuskan untuk membuka twitter, scroll up scroll down kata-kata puitis di akun seseorang.

Sampai akhirnya, saya menemukan sebuah kesimpulan atas pertanyaan saya.

Allah selalu punya skenario paling indah, meski sebelumnya kamu tidak menyukainya.

Keesokan harinya, hari kamis.

Setelah subuh usai.

Bude Yan mengajak saya ke Pasar Kliwon. Sebuah pasar tradisional yang menjadi sentral ekonomi masyarakat Kudus.

Tradisional? Sebagai seorang anak yang lahir dan tumbuh di Sumatera, pasar ini lebih layak disebut modern. Namun, dikarenakan roda perputaran jual beli dijalankan oleh rakyat ringkih kalangan menengah kebawah, maka kata tradisional-lah yang melekat dan pantas disematkan untuk mereka.

Sekali-kali tidak, bangunan yang bagus dan penataan pasar adalah cerminan kepedulian pemerintah pada orang-orang bawah.

Foto 16: Membeli cabai untuk membuat pecel


Foto 17: Kondisi Pasar Kliwon lantai atas

Kalaulah dibandingkan dengan Pasar di Langkat, saya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Selain jauh perbandingannya, menurut saya, ada indikator yang tidak bisa dibandingkan begitu saja.

“Kita makan soto ya, Re. kamu mau minum apa? Teh Hangat?”

“Iya boleh Bude”.

“Sudah pernah makan Soto Kudus? Lentog Tanjung? Dawet Hono Sorong? Dodol Kudus?”

Emm… Lentog Tanjung itu apa? Kayaknya belum, Bude. Kalau Soto Kudus udah pernah, waktu 2015 dulu. Dawet nya sama kayak di Jogja? Dodol nya yang gimana?”

“Oh ya besok kita coba makan Lentog ya”.

Foto 18: Setelah sarapan soto bersama bude.

Waahhh….Pagi yang indah ditemani semangkuk soto ayam bersama telur puyuh, sate kerang, bakwan, dan teh hangat. Backpekarandiluar ekspektasi ini mah.

Subhanallah, Allah Maha Baik.
 
Selain silahturahmi, saya mendapat bonus diajak jalan-jalan, wisata kuliner, wisata budaya, dan lainnya.

Kami akhirnya pulang, Bude Yan mengantar saya kerumah Bude Ti. Rumah mereka sesungguhnya hanya sepelemparan batu.

Entahmengapa, saya merasa ada spesialisasi disini. *pede banget

Bude Ti adalah seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai penjual pecel. Bude berjualan dari jam 6 hingga jam 9 pagi. Bude berjualan di depan rumah, orang-orang yang lapar dan ingin makan pecel yang akan datang kerumah Bude Ti. Omset Bude Ti sehari bisa 300-400 ribu, dengan kisaran keuntungan 100-150 ribu. Belum termasuk jika ada pesanan besar dari perusahaan.


Sewatu saya pulang, Bude sebenarnya sedang mengerjakan pesanan seratus porsi untuk atlet Djarum. Ah ya, kalian harus tahu kalau Kudus adalah kota kecil yang pendapatannya besar dikarenakan ada Pabrik Polytron, Djarum, PLTA, Semen, Makam Sunan Kudus, dan pecel simbah saya.

Pecel? Hehe.

Back toPecel ya.

 Simbah Amah, juga seorang pembuat pecel. Mbah Amah, begitu saya memanggil beliau, sudah bergelut dalam dunia per-pecel-an selama 35 tahun.

Pecel olahan Mbah Amah adalah yang terenak seantero Kudus. Uwak saya pernah bilang begitu, waktu saya buktikan pun, hasilnya sama.

“Pecel Mbah sudah sampai Amerika, Belanda, Mekkah, beberapa negara Eropa lain. Padahal, yang buat pecel belum pernah kesana”. Bude Yan bercerita panjang lebar.

Waaahhhhh iyaaaaaaa???” saya membelalak. Tidak percaya.

“Jangankan dikirim ke seluruh kota di Indonesia, kalo ngirim paketan aja bisa sampai Papua Nugini”. Tambah Bude.

“Whhhhooooooo……. Kerennnnnnn”. saya membayangkan ekspresi orang Papua yang makan pecel Simbah.

Foto 19: Bahan pembuatan pecel

Foto 20: Cabe merah yang sedang dijemur

Memang, dari mulai proses pembuatan, pemilihan bahan, sampai cara mengolahnya, saya menemukan beberapa perbedaan dengan yang sering saya lihat pada kebanyakan orang.

Kabar baiknya, saya sudah menyimpan resep pecel ini. Kabar buruknya, saya belum pernah melihat langsung seluruh proses secara lengkap, pun belum pernah mencoba membuatnya selama di Jogja.

Nanti, dicoba di Langkat saja, bagaimana?

Kalau di pikir-pikir, menyenangkan sekali rasanya bisa tetap menjadi seorang ibu rumah tangga yang full time dirumah, mengurus anak dan suami. Namun, tetap memiliki kiprah dan karya.

Saya berpikir, untuk menjadi seorang Momprenur yang sudah saya gadang-gadang kelak setelah menyandang status istri, hal utama dan terpenting adalah bagaimana meningkatkan kompetensi, skill, pengetahuan, dan pengalaman.

Dari Bude dan Simbah, Allah seperti memberi jalan menuju ke arah sana.

Love it!

Selayaknya yang terjadi ketika perkumpulan keluarga, akan selalu ada pertanyaan-pertanyaan sejuta ummat.

“Jadi kapan wisuda Re?”

“Kamu sudah punya pacar? Atau calon? Mana coba kasih tahu Bude”.

“Kalau wisuda, doakan ya Bude. Kalau pacar, saya ndak punya dan ndak mau juga. Kalau ada yang mau sama saya, nanti langsung kerumah aja”.

“Tapi kalau yang lagi deket sama kamu, ada? Yang kamu suka gitu”.

“Nggak ada”.

“Ah, masa se-ayu kamu nggak ada yang suka” (Re : masa secantik kamu nggak ada yang suka)

Hahahah Bude ada-ada saja”.

Dalam hati, emangnya aku cantik? Heuheu. Sepertinya belum. #apadeh

Pagi itu lebih banyak dihabiskan dengan memotong kacang, bayam, dan cabe merah.

Sekitar pukul 11.00 WIB, saya diantar ole Rama untuk mengunjungi salah satu Srikandi 7 yang sedang di Kudus. Sebelumnya, saya sudah janjian dengan si Mbak untuk berdiskusi strategis.


Mbak Srikandi 7 ini adalah yang pertama menikah di angkatan 7, Alhamdulillah sudah dikaruniai seorang anak perempuan. Sarah namanya.

Diskusi kami seputar khitbah, proses Mbak Zahana dilamar, mengurus anak, dan being am mom, persoalan kiprah seorang perempuan dan seterusnya.

“Jadi Mbak, apasih yang membuat Mbak mantap menikah sama Mas nya?”

“Awalnya ada beberapa yang sering bilang ke aku, kamu udah ada yang ngajak ta’aruf belum? Kalau aku kerumah gimana? Nah, ada kakak kelasku, ada juga temen seangkatanku. Ada yang waktu itu kuliah di luar negeri. Kalau aku dek, sebenernya lebih kearah objektif, kalau memang serius ya kerumah, ketemu Bapakku, karena ini urusan laki-laki. Sambil akupun berdoa, semoga yang datang pertama adalah yang terbaik. Mas yang sekarang jadi suamiku, dia yang datang pertama. Kalau dia telat datang, mungkin aku udah sama yang lain. Karena selang 2 minggu, ada yang ngabarin mau kerumah, terus kujawab, maaf sudah ada yang kerumah”.

Hem… gitu ya Mbak, terus rasanya udah punya anak? Eh, mbak nikah umur 22 tahun kan ya?”

“Iya dek, umur 22 tahun. Rasanya seneng, melatih kesabaran, belajar banyak juga. Kalau aku sebenernya masih pengen S2, pengen punya pengalaman kerja. Tapi dek, temen-temenku yang kerja akhirnya resign karena memutuskan untuk mengurus anak”

Dan masih panjang lagi cerita kami. Saya tidak bisa menjelaskan disini, nanti kalau mau tahu, bisa secara langsung, tapi khusus untuk perempuan.

Siang itu, steakkerbau dan masakan khas Kudus yang saya lupa namanya menjadi teman diskusi. Sarahpun ikut dalam diskusi ini, sesekali Sarah tertawa, menangis, meminta diajak main.

Sore harinya, setelah kenyang dengan diskusi hangat bersama Mbak Zah, Rama menjemput saya. Kami pulang. Seharusnya sore itu adalah waktu untuk mengunjungi Mas Wan, abangnya Rama. Namun karena ada beberapa hal yang tidak memungkinkan, acara kunjungan dimundurkan jadi besok.

Malam harinya, saya dan Rama pergi ke Susu Moeria. Ini adalah salah satu tempat recommendeduntuk nongkrong sembari minum susu sapi segar. Sapi-sapinya sendiri berada di samping kafe ini. Waktu saya amati, sapi yang mereka kembangkan berjenis Peranakan Frisien Holstain (PFH). Jumlahnya ada beberapa, tidak begitu banyak.

Saya dan Rama menikmati malam sambil sedikit berbincang-bincang.

Foto 21: Kafe Susu Moeria

Foto 22: Salah satu sapi di lokasi

Selanjutnya, Rama mengajak saya belanja keperluan bakar-bakar sate esok hari. Maka jadilah kami berkeliling Kota Kudus. Nuansa islami yang kental dapat saya rasakan malam itu.

Alun-alun, menara Kudus, sudut-sudut kota penuh puisi.

Malam itu, saya merasakan bahwa selalu ada cerita hebat dibalik setiap perjalanan penuh keberanian.

Perjalanan mengelilingi dunia? Siapa takut!

Esok paginya, jadwal untuk mengunjungi Mas Wawan meringsek gagal. Maka demi menikmati detik-detik terakhir di Kota ini, Bude Yan mengajak saya menikmati Lentog Tanjung sesuai dengan janji yang kemarin.

Foto 23: Lentog Tanjung

Setelah menikmati Lentog, Bude mengajak saya melihat GOR Kota Kudus. Kalau boleh jujur, GOR ini memiliki beberapa bangunan besar yang lumayan lengkap. Mulai dari lapangan tenis indoor, kolam renang indoor, lapangan skateboard, arena climbing, tempat main sepak bola, tenis, bulu tangkis, musholla, dan lain-lain yang masih dalam tahap pembangunan. Lagi, jika dibandingkan dengan Langkat, saya sudah tidak bernafsu untuk membandingkannya. Teramat jauh.

Foto 24: Lapangan tenis indoor

Foto 25: Lapangan skateboard dari jarak agak jauh

Foto 26: Proses pembangunan gedung

Foto 27: Mushollah

Foto 28: Taman

“Setelah ini kita pulang, kamu beres-beres, mandi, terus nanti Bude anterin ke Makam Sunan Kudus”.

Maka menjelang pukul 9.00 WIB, Bude mengajak saya ke Makam Sunan.

Orang-orang ramai berdatangan, melantunkan bait-bait doa, membacakan surah-surah pilihan, beristigfar, dan yang lainnya dalam kekhusyukan.

“Ya Allah, terimakasih sudah mengirim Sunan ke Tanah Jawa. Berikanlah mereka tempat sebaik-baiknya di sisi Mu. Tolong sayangi mereka. Ya Rabb, jangan siksa mereka jika ada ummatmu yang menyalahi sesuatu dengan berdo’a di makam untuk meminta sesuatu. Sesungguhnya hanya kepada Engkaulah kami berlindung”.

Tidak butuh waktu lama untuk berada di dalam. Perasaan saya sudah tidak nyaman.

“Bude, ini boleh di foto ndak?”

Ndak boleh, Re”.

“Kalau ndak ketahuan?”

“Kalau ndak ketahuan, boleh”.

Seperti tidak mengenal kata ‘tidak boleh’. Maka sayapun mengambil beberapa gambar di makam para pangeran.

Foto 29: Bagian pelataran yang sedang dibersihkan

Foto 30: Makam para pangeran

Sekumpulan batu nisan tertata rapi, memunculkan eksotisme yang menjadi pentas wisata religi paling nyentrik.

Kudus, paket lengkap. Perjalanan ini, paket super lengkap.
Bude dan saya berjalan-jalan di lokasi Makam Sunan, beberapa kali mengambil foto. Lalu bergegas pulang.

Bude Yan masih harus menunaikan janji untuk menikmati dawet khas Kudus. Honestly, es dawet ini adalah dawet terenak yang pernah saya minum. Kelapanya kental, dawetnya kenyal, gulanya manis dan wangi, ditambah es yang diparut saat itu juga

Foto 31: Dawet paling enak


Foto 32: Wajah nggak santai si Mas yang lagi marut es

Setelahnya, saya kembali ke rumah Bude, saya masih sempat bermain dengan Messi dan Liyyah, (cucu Mbah Amah). Mereka menyenangkan dan menenangkan.

Foto 33: Messi, Liyyah, dan Bude Yan

Hari itu, saya pulang diantar oleh Rama ke terminal bus. Bude Ti, Bude Win, Bude Yan, dan Pakde lainnya ikut menunggui saya pulang. Tidak lupa, sebungkus dodol Kudus.

Hari yang tidak akan pernah terlupakan.

Oh Allah, meski aku pernah tidak menerima takdirku. Mengapa aku dan keluargaku yang suku Jawa harus berada di Sumatera? Aku sungguh ingin Jawa. Aku ingin berada di lingkungan para leluhur.

Oh Allah, sekarang aku mengerti mengapa engkau menuliskan takdir seperti ini. Aku paham bahwa sebaik apapun seorang hamba merencanakan, skenario-Mu jauh lebih indah.

Oh Allah, meski aku menyandang gelar krisis identitas, aku paham ada pesan terselip bahwa ini adalah persoalan budaya tak terbatas.

Selamat tinggal Kudus, terimakasih sudah memberiku segenggam tenang. Rasanya damai, sedamai hatiku tanpa gangguan makhluk bernama laki-laki.

Suatu hari, aku kesana lagi.

Kota Rindu,

01.10 WIB

(Sejujurnya masih banyak yang mau ditulis, tapi tampaknya aku harus belajar membuat tampilan blog yang professional)


 

You Might Also Like

1 comments

  1. Wahh, diksinya mirip fiersa besari, tetapi punya cirikhas sendiri..

    Semoga aku juga bisa punya tulisan yang diksinya sebagus ini..

    Makasih mbak sudah mau berbagi cerita..

    In Syaa Allah cerita mbak rere ini selalu bermanfaat untuk para pembacanya, aamiin..

    BalasHapus